tirto.id - Korupsi yang melibatkan pejabat negara dan pengusaha sudah biasa. Tapi, bagaimana jika yang terlibat adalah seorang rohaniawan?
Pekan lalu, KPK mencokok Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin dalam operasi tangkap tangan. Pada hari yang sama Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Bekasi Neneng Rahmi juga ditetapkan sebagai tersangka. Neneng Hasanah dan para birokrat di Kabupaten Bekasi ditengarai telah menerima suap terkait pengurusan perizinan proyek pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi.
Pada Senin, 15 Oktober 2018, KPK menangkap si pemberi suap, Billy Sindoro. Selain tercatat namanya sebagai direktur utama Lippo Grup, Billy Sindoro adalah seorang gembala senior (senior pastor) di sebuah megachurch di Tangerang, Banten.
Situsweb Gereja Christ Cathedral Basilea Gading Serpong menyebutkan Billy Sindoro adalah pemimpin umat di gereja tersebut.
Gereja Christ Cathedral Basilea yang bernaung di bawah Sinode Gereja Bethel Indonesia bukanlah gereja Protestan beraliran karismatik biasa. Christ Cathedral bisa dikategorikan sebagai megachurch.
Menurut Hartford Institute for Religion Research, sebuah gereja bisa disebut berskala “mega” jika kebaktian di gereja tersebut dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2.000 jemaat per minggu. Situsweb Christ Cathedral sendiri menyebutkan ruang kebaktian utama gereja ini (Basilea Convention Center) dapat menampung 12.000 jemaat per kebaktian.
Gedung megah dengan tata cahaya dan suara bertaraf ruangan konser internasional itu sudah jadi rumah ibadah terpandang di Tangerang Selatan. Unit pelayanan yang dikerjakan oleh "gereja mega" ini juga sangat luas. Dari pelayanan rohani untuk anak balita dan kalangan lanjut usia, puluhan shuttle bus dengan 60 kursi, hingga pangkalan transportasi daring di gereja.
Dari luas dan besarnya skala pelayanan gerejawi yang ditekuni Pastor Billy Sindoro ini tampak kegiatan gereja bukan sekadar kegiatan spiritual sampingan di akhir pekan, melainkan pekerjaan penuh waktu yang serius.
Pendeta atau Pengusaha?
Salah satu warisan Protestanisme berbunyi: bekerja di dunia sekuler adalah perkara yang sama nilainya dengan bekerja untuk gereja; sama-sama mulia di hadapan Tuhan. Tak ada pembeda derajat kemuliaan pekerjaan. Asal dilakukan untuk memuliakan Tuhan dan manusia, pekerjaan itu halal.
Mungkin karena itulah Gereja Bethel Indonesia tidak melarang pendetanya menjadi usahawan.
Bagaimanapun, pekerjaan menjadi seorang pendeta dan pebisnis sama-sama membutuhkan kemampuan memimpin, manajerial, dan tentu pengaruh serta karisma pribadi.
Yang menjadi masalah, bagaimana jika kedua pekerjaan itu bersinggungan dan terjadi konflik kepentingan?
Pekerjaan sebagai pendeta, misalnya, mengharuskan sang rohaniwan berorientasi pada pelayanan rohani. Seorang pendeta adalah pengayom umat yang dituntut mengalokasikan waktu dan tenaga secara khusus untuk mengelola kegiatan gereja, mempersiapkan khotbah, bahan pembinaan dan katekisasi, hingga mengunjungi jemaat yang sakit atau mengalami pergumulan hidup.
Di sisi lain, seorang pengusaha pada dasarnya mengejar laba. Secara ilmiah, ia akan menautkan diri pada segala aktivitas yang efisien, efektif, terarah pada akumulasi modal, demi meraih profit yang lebih besar.
Pada satu titik, dua pekerjaan ini berpotensi untuk bersinggungan dan sulit didamaikan.
Kasus keterlibatan pendeta cum pengusaha dalam pusaran kasus korupsi juga bukan hanya menimpa Billy Sindoro. Kasus serupa pernah menimpa Pendeta Basuki Hariman pada awal 2017. Basuki terbukti memberikan uang suap kepada Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar. Suap itu ia berikan untuk memengaruhi putusan MK terkait permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Basuki berharap agar Patrialis menghasilkan keputusan yang menguntungkan posisinya sebagai importir daging.
Glorifikasi Kesuksesan
Terlepas dari pelbagai problem integritas moral yang memungkinkan seseorang terjerat kasus korupsi, isu teologis agaknya juga punya andil. Pada 2006, Majalah Time membuat riset kecil tentang kecenderungan megachurch merengkuh Teologi Kemakmuran (Prosperity Gospel).
Teologi Kemakmuran adalah konstruksi ajaran Kristen yang mengajarkan kesalehan ala Kristiani dapat dilihat dari keberlimpahan harta, kepemilikan properti, mobil mewah, kesehatan, dan aneka simbol kesuksesan hidup lain. Time menyebut 17 persen umat Kristen Amerika Serikat yang berafiliasi dengan megachurch telah mengamini Teologi Kemakmuran. Sebanyak 31 persen responden mengatakan: “Jika kita memberikan uang kepada Tuhan [baca: kepada megachurch], maka Tuhan akan kembali memberikan kita berkat kelimpahan uang berlipat ganda." Sebanyak 61 persen dari responden mengatakan Tuhan memang menghendaki umatnya kaya raya.
Teologi Kemakmuran sebenarnya bukan barang baru dalam Gereja Protestan. Bermula dari ajaran yang dikembangkan di kalangan Pentakosta pada 1950-an, Teologi Kemakmuran mekar melalui pertemuan kebaktian kebangunan rohani (revival meeting) di pelbagai kota-kota besar di AS dan disebarkan oleh televangelist seperti Oral Roberts, A.A. Alen, dan T.L. Osburne.
Tak dinyana, ajaran ini direspons secara positif oleh masyarakat Kristiani AS. Dalam konteks situasi pasca-Perang Dunia II, masuk akal jika Teologi Kemakmuran—yang mengkhotbahkan optimisme—diterima sebagai oase di tengah keputusasaan umat.
Meski banyak dikritik oleh pemuka agama Protestan, ajaran Teologi Kemakmuran tampaknya masih digemari dan cenderung menjadi payung ideologis bagi megachurch Protestan Karismatik di seluruh dunia. Nama-mana seperti Jim Bakker sampai Joel Osteen (yang masuk dalam daftar 8 pendeta terkaya di AS, dengan total kekayaan 40 juta dolar) menjadi rujukan utama dan ikon gerakan Teologi Kemakmuran hari ini.
Pakar teologi Oxford Tara Issabela Burton mengatakan Teologi Kemakmuran tidak berakar pada jantung kekristenan. Roh yang menghidupi Teologi Kemakmuran, ujar Burton, berasal dari semangat New Thought, sebuah filosofi yang dikembangkan Ralph Waldo Emerson dan psikolog William James.
New thought menekankan manusia sedalam mungkin menggali potensi dirinya. Apa pun yang kita pikirkan dapat menjadi kenyataan, karena pikiran adalah landasan dari kenyataan material. Dalam imajinasi intelektual New Thought, bahagia adalah tanggung jawab setiap individu.
Walhasil, bagi para pendukung New Thought, orang bisa mengubah kenyataan hidup selama ia mau berpikirpositif. Ketika pemikiran ini dicangkokkan ke dalam kehidupan spiritual Kristen, rumusannya kira-kira seperti ini: jika kita percaya bahwa Allah akan memberikan kita kekayaan, kita akan memperoleh kekayaan; tentu dengan syarat dan ketentuan, misalnya, kewajiban kita menyerahkan minimal sepuluh persen dari total penghasilan bulanan ke gereja.
Semangat self-help yang menjadi jantung dari New Thought ini rupanya memberi karakteristik tersendiri dalam ajaran Teologi Kemakmuran, termasuk dalam pandangan tentang ketimpangan sosial yang diartikulasikan sebagai problem mentalitas belaka. Dus, seorang teolong kemakmuran akan lebih mudah menyalahkan kaum miskin: “Menaburlah di ladang Tuhan, maka kamu akan menuai berkat (uang) berlipat ganda. Jika kamu miskin itu bukan salah Tuhan, itu salahmu karena tidak menabur berkat di jalan Tuhan”.
Dalam praktik Teologi Kemakmuran, Kekristenan yang secara tradisional meletakan ketimpangan sosial-ekonomi sebagai problem struktural justru dibonsai jadi kultus pengembangan diri.
Tak dapat dipungkiri, ide-ide individualisme radikal ini menjadi ladang yang subur bagi manipulasi. Tak sedikit petinggi megachurch yang akhirnya dilaporkan oleh jemaatnya atau terlebih dulu diciduk oleh penegak hukum karena penggelapan dana gereja, bahkan penghindaran pajak.
Mengapa manipulasi ini cenderung terjadi?
Karena Teologi Kemakmuran tidak memberikan hasil yang dijanjikan. Orang-orang yang terus berderma dalam jumlah besar tak kunjung mendapatkan “ganjaran balasan berlipat ganda” seperti yang dijanjikan. Mereka tetap berkubang dalam kesulitan ekonomi, tak berbeda dari orang-orang yang tak pernah datang ke megachurch.
Beberapa orang memang sudah berkelimpahan harta benda sebelum mereka menjadi bagian dari megachurch, dan mungkin akan tetap kaya. Sementara yang miskin akan tetap miskin sekalipun sudah memeluk erat-erat ajaran Teologi Kemakmuran.
Untuk menjustifikasi Teologi Kemakmuran, sang penganjur tentu harus terus terlihat sukses, sehat, dan kaya raya. Para penganjur Teologi Kemakmuran di Indonesia seperti Philip Mantofa dan Gilbert Lumoindong secara vulgar memamerkan kekayaan dan kemewahan hidup mereka di pelbagai platform media sosial. Bagaimanapun, brand image memang perlu dibangun untuk menopang klaim ajaran ini. Di titik itulah pintu menuju manipulasi dan korupsi terbuka lebar.
Celakanya, watak Teologi Kemakmuran—dengan bahan bakar semangat self-help yang cenderung menekankan subjektivitas dan perasaan “nyaman”—membuat kontradiksi-kontradiksi ini tidak disadari penganutnya.
Sangat sulit sejauh ini menemukan data akurat yang bisa menggambarkan penyebaran Teologi Kemakmuran di kalangan Kristiani Indonesia. Namun, jika melihat antusiasme publik Kristiani Indonesia dalam menghadiri, membeli tiket seminar, dan mengonsumsi pernak-pernik Teologi Kemakmuran, bisa diduga jika ajaran ini digemari banyak orang Kristen.
Pertumbuhan Teologi Kemakmuran menemukan ruangnya dalam struktur ekonomi yang memiskinkan, mendorong problem intoleransi, dan konflik agraria. Agama, yang dalam pandangan Marx adalah candu bagi masyarakat, menemukan wujudnya yang paling gamblang dalam kegandrungan umat terhadap Teologi Kemakmuran.
Meski demikian, persemaian Teologi Kemakmuran beserta segala ekses negatifnya mungkin bukan akar masalah. Sama halnya dengan fenomena pendeta sosialita terlibat tindak pidana korupsi. Mereka bukan akar masalah.
Buat saya, Teologi Kemakmuran dan pendeta tajir adalah fenomena gunung es yang menunjukkan kegagalan gereja di Indonesia dalam mengenali dan menjadi bagian dari solusi untuk masalah-masalah sosial yang dihadapi umat.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.