tirto.id - Setelah VOC alias Kompeni bubar pada 31 Desember 1799, Hindia Belanda dikendalikan secara penuh oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dan berubah ke arah yang lebih positif. Misalnya dalam bidang sains, transportasi, dan kehidupan sosial.
Jika bidang-bidang tersebut hanya dirasakan orang-orang kulit putih, maka politik berbeda. Sebagaimana termuat dalam laporan Komite Kolonial yang disusun oleh Wiselius, Fijnje, Ondaatje, dan von Liebherr, semangat nasional justru mulai mengemuka dalam pribadi-pribadi penduduk pribumi Hindia Belanda.
Namun, karena saat itu Belanda memiliki kekuatan militer yang besar, gerakan politik pribumi yang kian mengemuka berhasil diatasi untuk sementara. Setelah Belanda diduduki Jerman pada Mei 1940, Jepang muncul sebagai kekuatan militer besar lainnya di Hindia Belanda.
Kedatangan Jepang mendorong Belanda mengamankan wilayah koloninya. Terlebih, sebagaimana diutarakan J. H. van Maarseveen sebagai anggota parlemen Belanda, “Hindia Belanda merupakan kebanggaan kami [...] dan kami, tanpa perlu diragukan lagi, memerintah Hindia Belanda dengan cara yang menimbulkan kekaguman di mana-mana.”
Sadar kedatangan Jepang memercik semangat gerakan nasional pribumi yang lebih membara dibandingkan sebelumnya, Belanda mencoba mengambil hati masyarakat Hindia Belanda untuk membantu mereka menyingkirkan Jepang dengan janji manis berupa pemberian kemandirian yang lebih luas.
Kedatangan Jepang pula, tulis H. Arthur Steiner dalam "Post-War Government of Netherlands East Indies" (The Journal of Politics, Vol. 9 1947), membuat “Hindia Belanda dijadikan proyek percobaan 'kebaikan' Belanda dalam memperbaiki kondisi jajahannya dengan misi campuran dari program infrastruktur dan sosial yang konkret.”
Nahas, hampir dua tahun setelah diokupasi Jerman, Jepang berhasil merebut Hindia Belanda. Dari pelariannya di London, Ratu Wilhelmina memerintahkan anak buahnya untuk merebut kembali Hindia Belanda. Perintah tersebut diiringi dengan janji manis kepada masyarakat Hindia Belanda berupa pembentukan persemakmuran.
"Belanda, Hindia Belanda, Suriname, dan Curacau berpartisipasi dengan kemandirian penuh dan kebebasan bertindak di setiap bagian terkait urusan dalam negeri,” tegas Wilhelmina dalam pidatonya pada 6 Desember 1942.
Tangan Inggris dan Perlawanan Kaum Pergerakan
Namun setelah Jepang kalah dan Perang Dunia II berakhir, kaum pribumi yang kian sadar tentang pergerakan nasional tak terpancing janji manis Wilhelmina. Mereka bahkan memproklamasikan kemerdekaan Indonesaia pada 17 Agustus 1945.
Karena pasukan Belanda belum mampu terbang ke Indonesia, sebagaimana diutarakan Charles Cheney Hyde dalam "The Status of the Republic of Indonesia in International Law" (Columbia Law Review, Vol. 49 1949), maka Belanda meminta bantuan seluruh negara-negara Sekutu, terutama Inggris--atas posisinya sebagai pemilik koloni yang bersebelahan dengan Indonesia--untuk mengakui kedaulatan Belanda atas Indonesia.
Pada 3 September 1945, Lord Mountbatten memerintahkan komando militer Jepang yang masih berada di Indonesia pasca kekalahan tak bersyarat untuk membubarkan Republik Indonesia.
Tak lama setelah itu, pasukan Inggris di bawah komando Letnan Jenderal Sir Philip Christison mendarat di Jawa untuk mengambil alih kekuasaan Indonesia dari Jepang atas nama Belanda.
Karena menganggap Indonesia bukan wilayah kerjanya, Letjen Christison tak mau ikut campur membubarkan Republik Indonesia. Terlebih karena kaum pergerakan Indonesia ketiban durian runtuh berupa bedil-bedil yang ditinggalkan Jepang.
Saat NICA menggandeng pasukan militer Area Pasifik Barat Daya pimpinan Jenderal Douglas MacArthur, Indonesia berhasil mempertahankan diri dengan bedil-bedil itu. Sayangnya, senjata tersebut hanya mampu mengamankan wilayah Jawa dan sekitarnya. NICA berhasil mengambil alih kembali wilayah-wilayah timur Indonesia.
Dari sini kemudian muncul pertanyaan, “siapa sesungguhnya pemilik negeri yang terbentang dari Sabang hingga Merauke, baik secara de facto maupun de jure?”
Jika pertanyaan ini diajukan kepada kaum nasionalis pribumi, tentu jawabannya adalah Republik Indonesia. Di sisi lain, sadar bahwa NICA tak berhasil mengambil alih Jawa dan sekitarnya, maka Belanda pada November 1946 mengakui kekuasaan Republik Indonesia dengan Sukarno sebagai pemimpinnya, dengan catatan hanya di Jawa dan sekitarnya.
Sementara wilayah-wilayah timur Nusantara, diklaim Belanda masih menjadi koloninya. Merujuk penuturan Gert Oostindie dalam bukunya Postcolonial Netherlands (2011), muncul dualisme kekuasaan di Hindia Belanda pada akhir 1946.
Menurut Oostindie, “didasari atas kenyataan bahwa Hindia Belanda merupakan 'gabus' yang membuat ekonomi Belanda bertahan/mengambang yang membuatnya tidak terjun selayaknya negara-negara Eropa lain seperti Denmark,” maka Belanda bersiasat untuk melenyapkan eksistensi Republik Indonesia dengan jalan diplomasi.
Ini diterjemahkan dengan menekan Sukarno dan rekan-rekannya untuk mengadakan perjanjian ala Belanda, yakni bersama-sama mendirikan negara baru gabungan Republik Indonesia dan Hindia Belanda dalam bungkus “persemakmuran” dalam kerangka "The Netherlands-lndonesian Union".
Selayaknya Persemakmuran Inggris, konsep “persemakmuran” yang diajukan Belanda secara paksa ini dapat diartikan sebagai upaya tetap menjaga Ratu Wilhelmina dan keturunannya sebagai penguasa.
Sebagai siasat, Republik Indonesia seakan mendiamkan ajakan Belanda. Bukan hanya karena ajakan tersebut berat sebelah, tapi juga justru membuat Indonesia memperoleh senjata baru, yakni pengakuan dari negara lain, terutama Amerika Serikat sebagai satu dari dua kekuataan terbesar di dunia pasca Perang Dunia II.
Namun, aksi diam ini membuat Belanda marah dan akhirnya melakukan agresi militer besar-besaran, mencoba merebut kembali kekuasaan seluruh wilayah Indonesia. Ajakan diplomasi yang dieksekusi lewat Perjanjian Liggarjati itu kemudian berakhir mengenaskan dan coba didamaikan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Singkat cerita, sebagaimana dituturkan Homer G. Angelo dalam "Transfer of Sovereignty Over Indonesia" (The American Journal of International Law, Vol. 44 1950), setelah dilalui dengan ragam perjanjian dan serangan militer, Belanda akhirnya mengembalikan kedaulatan wilayah koloninya kepada Indonesia pada 1949. Uniknya, bukan kepada Republik Indonesia, tetapi kepada Republik Indonesia Serikat.
Dan wilayah yang dikembalikan bukan dari Sabang sampai Merauke, tetapi dari Sabang hingga Maluku karena Papua Barat tak diberikan--buah dari kepercayaan kepada Belanda bahwa administrasi Papua Barat berbeda dengan Hindia Belanda.
Papua Barat baru direbut Indonesia secara resmi pada 15 Agustus 1962. Artinya, selain 1945, secara yuridis kemerdekaan Indonesia sebetulnya berulang pada 1946, 1949, dan 1962.
Dan, di sela kemerdekaan yang berulang ini, merujuk penelusuran yang dilakukan Alec Gordon dalam "Netherlands East Indies" (Journal of Contemporary Asia, Vol. 40 2010), 3,2 persen Produk Nasional Bruto (PNB) Belanda disumbang dari aktivitas ekonominya di Indonesia. Selain dalam rentang 1950 hingga 1953, tambahan pendapatan senilai 100 juta gulden per tahun.
Itulah alasan mengapa Belanda ngotot tak mau melihat Indonesia merdeka. Bukan tentang "pencerahan" apalagi "politik balas budi".
Angkat kaki dari Indonesia, tulis J. A. A. van Doorn dalam bukunya De laatste eeuw van Indie (1994) membuat “Belanda kembali menjadi negara kecil di Laut Utara dengan beberapa wilayah yang tidak signifikan di Amerika.”
Editor: Irfan Teguh Pribadi