tirto.id - Tanggal 8 September 1945, hari ini tepat 75 tahun silam, tujuh sosok lelaki asing berbadan tegap mendarat di Kemayoran. Tidak ada bunyi desing pesawat atau keriuhan suara manusia. Dari angkasa, mereka menapak tanah Jakarta dengan tenang. Deretan parasut yang mengembang di udara pun satu persatu mulai menyusut.
Seolah menerapkan operasi senyap, ketujuh orang tak dikenal itu mulai menjalankan tugas. Cheong Yong Mun dalam H.J. Van Mook and Indonesian Independence: A Study of His Role in Dutch-Indonesian Relations 1945-1948 (1982) mencatat, mereka mengemban misi rahasia: menyelidiki dan menelisik informasi tentang situasi di Indonesia terkini sejak menyatakan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945.
Informasi yang diperoleh bakal sangat berguna bagi Sekutu mengenai apa yang akan dilakukan terhadap Indonesia. Ya, sepekan ke depan, rombongan perwakilan pemenang Perang Dunia II itu berencana datang untuk menerima kekuasaan atas Indonesia dari Jepang sebelum diserahkan kepada pemerintah sipil.
Kedatangan Sekutu tak sendiri, Belanda ikut menumpang. Penjajah lama itu telah beralihrupa menjadi NICA (Nederlandsch-Indische Civiele Administratie). NICA inilah yang pada akhirnya mengacak-acak bumi pertiwi hingga membuka jalan perang demi mempertahankan kemerdekaan.
Peran Terselubung Belanda
Tujuh pria sangar yang bergentayangan di Kemayoran pada 8 September 1945 itu adalah para perwira Inggris terpilih AFNEI (Allied Forces for Netherlads East Indies) yang dipimpin Mayor A.G. Greenhalgh. Tentunya bukan tanpa alasan Sekutu mengirimkan pasukan khusus ke Indonesia. Ternyata, Belanda juga turut bermain dalam rencana misi pendaratan awal tersebut.
Adi Nusferadi melalui tulisan berjudul “Konteks Internasional Pasca-Perang Dunia II dan Langkah Awal Perjuangan Diplomasi RI” mengutip Oey Hong Lee dalam War and Diplomacy in Indonesia 1945-1950 (1981) menjelaskan, pada 3 September 1945, Hubertus Johannes van Mook--Wakil Gubernur Hindia Belanda sebelum masuknya Jepang--menghadap Laksamana Lord Louis Mountbatten.
Kepada Mountbatten selaku pimpinan SEAC (South-East Asia Command) atau Komando Pasific Asia Tenggara milik Sekutu yang berpusat di Singapura, van Mook mengatakan bahwa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan yang dimotori Sukarno bersama panglima militer Jepang.
Masih menurut van Mook, intelijen NICA memperkirakan bahwa jika Belanda datang ke Indonesia, maka mereka akan menghadapi perlawanan dari 40.000 hingga 45.000 pasukan Republik.
Laporan van Mook itu, sebut F. S. V. Donnison dalam buku British Military Administration in the Far East 1945-1946 (1956), tidak menyinggung beberapa hal penting lainnya, termasuk perkembangan politik terakhir di Indonesia.
Sekutu mengumpulkan informasi tentang Indonesia sebagai langkah antisipasi untuk menghindari sesuatu yang tidak diinginkan, meskipun sudah terjalin kesepakatan dengan otoritas Jepang terkait penyerahan kekuasaan.
Di sisi lain, van Mook membutuhkan informasi yang sama demi memuluskan niat NICA atau Belanda kembali ke bekas wilayah jajahannya. Bukan hanya orang-orang lokal saja yang menjadi ancaman bagi Belanda, sisa-sisa tentara Jepang yang masih berada di Indonesia juga berpotensi mengacaukan ambisi untuk kembali.
Atas pengaruh van Mook itulah Laksamana Lord Louis Mountbatten mengirimkan tujuh perwira terpilihnya yang dipimpin oleh Mayor A.G. Greenhalgh untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya mengenai keadaan sosial-politik di Indonesia setelah memproklamasikan kemerdekaan.
Selain mengumpulkan informasi, Mayor A.G. Greenhalgh dan keenam anak buahnya juga punya sejumlah tugas lain di Jakarta. R.P. Soejono dalam Sejarah Nasional Indonesia: Volume 6 (1981) menyebutkan, para perwira Inggris itu bertugas mempersiapkan pembentukan markas besar perwakilan Sekutu di Jakarta.
Informan sekaligus narahubung Greenhalgh bukan tokoh-tokoh terkemuka Indonesia seperti Sukarno, Mohammad Hatta, dan lain-lainnya. Ia menjalin relasi dengan Letnan Jenderal Moichiro Yamamoto, Komandan Angkatan Darat Pemerintahan Militer Jepang atau Gunseikan di Jawa yang tinggal di Jakarta.
Taktik Bulus van Mook Berjalan Mulus
Setelah menjejakkan kaki di Kemayoran pada 8 September 1945, seperti terdapat dalam Indonesia Merdeka: 30 Tahun, Volume 1 (1995) terbitan Sekretariat Negara RI, Greenhalgh segera mengadakan hubungan dengan Yamamoto.
Misi pun dijalankan dengan saksama dan seefektif mungkin. Berkat bantuan Yamamoto beserta jejaringnya yang masih tersebar luas di berbagai wilayah di Jawa, diperoleh informasi yang amat berguna bagi Sekutu, juga Belanda, sebelum datang seminggu kemudian.
David Wehl lewat The Birth of Indonesia (1948) merumuskan ulang rangkaian informasi berharga yang berhasil dikumpulkan oleh tim AFNEI pimpinan Mayor A.G. Greenhalgh, antara lain:
Pertama, kaum nasionalis di Indonesia memimpin gerakan rakyat dan menyebarkan gerakan anti-Belanda maupun Jepang.
Gerakan ini sepertinya kurang terorganisasi, tapi terlihat ada upaya dari para pemimpinnya untuk mengarahkan rakyat agar tidak memperlihatkan sikap memusuhi Sekutu demi mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan.
Kedua, APWI (Allied Prisoners of War and Internees) atau para tahanan perang dan orang-orang Eropa yang ada di Indonesia membutuhkan bantuan secepatnya melalui misi RAPWI (Recovery of Allied Prisoners and War Internees).
Dan ketiga, disarankan agar rombongan perwakilan Sekutu yang akan ke Indonesia tidak menyertakan Belanda karena berpotensi memicu polemik dari rakyat.
Secara khusus, seperti dikutip Nusferadi dari War and Diplomacy in Indonesia 1945-1950 (1981) karya Oey Hong Lee, Letnan Jenderal Yamamoto mengingatkan kepada Sekutu bahwa terdapat sentimen anti-Belanda di kalangan penduduk lokal yang siap mempertahankan kemerdekaan Indonesia kendati harus menumpahkan darah.
Jenderal Yamamoto juga menyarankan kepada Sekutu agar tidak mengusik Sukarno, Hatta, atau tokoh-tokoh nasional berpengaruh lainnya karena bisa membuka konflik langsung dengan penduduk lokal atau rakyat Indonesia.
Dimohonkan pula supaya Sekutu tidak menurunkan bendera Indonesia. Sebaliknya, bendera Belanda sebaiknya jangan dikibarkan lantaran dapat memicu kemarahan rakyat.
Kendati telah diingatkan agar tidak melibatkan pasukan Belanda dalam rencana ke Indonesia, namun Sekutu, khususnya Inggris, juga berada di bawah tekanan karena banyaknya kepentingan yang ingin bermain di kawasan Asia Tenggara usai Perang Dunia Kedua.
Maka, tanggal 16 September 1945, berlabuhlah rombongan AFNEI di Tanjung Priok pada pukul 10 pagi. Pasukan NICA turut menumpang di Kapal Perang HMS Cumberland itu. AFNEI dipimpin oleh Laksamana Wilfried R. Patterson, sedangkan NICA dikomandani oleh C.H.O. van der Plas yang mewakili atasannya, van Mook.
Di sana, di seberang lautan di suatu tempat yang aman dan nyaman, van Mook tersenyum puas. Sejauh ini, taktiknya berjalan sesuai rencana. Hasrat Belanda wajib terpenuhi kendati harus membuka jalan perang--fisik maupun diplomasi--melawan rakyat Indonesia yang tidak ingin menjadi bangsa terjajah lagi.
Editor: Irfan Teguh