Menuju konten utama
Misbar

Immersion: Premis Menarik, tapi Terjebak Formula Horor Biasa

Immersion menjanjikan ketegangan dengan cara mencampurkan kisah hantu klasik dengan teknologi virtual.

Immersion: Premis Menarik, tapi Terjebak Formula Horor Biasa
Header Misbar Immersium. tirto.id/Fuad

tirto.id - Popularitas film horor Jepang atau J-horror telah mengglobal. Ring (Ringu, 1998) karya Nakata Hideo dan Ju-on: The Grudge (Ju-on, 2002) karya Takashi Shimizu adalah dua karya horor Jepang yang mendapat apresiasi internasional. Kedua film tersebut bahkan telah di-remake oleh studio besar Hollywood, yaitu Coloumbia Pictures (The Ring) dan Dreamwork Studio (The Grudge).

Dalam dua dekade terakhir, dua film tersebut telah menjadi signature di genre horor dan memicu gelombang besar kebangkitan film-film horor di Asia, khususnya Indonesia. Namun, sebelum mencapai titik itu, film horor Jepang sebenarnya memiliki sejarah yang cukup panjang.

Beberapa film bisu pada awal abad ke-20, di antaranya film Kaidan: Ikiru to Iu Chikara (1908), dianggap sebagai pendahulu genre ini karena berfokus pada tema supranatural.

Pada 1960-an, studio Shochiku memopulerkan genre kaidan eiga atau film cerita hantu. Film horor jenis ini biasanya mengambil tema cerita hantu klasik dari zaman Edo (1603-1868).

Dari zaman itu, muncul film Kwaidan (1964) oleh sutradara Masaki Kobayashi yang mencapai popularitas tinggi dan mendapat apresiasi positif dari para kritikus film. Ia juga memenangkan penghargaan Special Jury Prize di Festival Film Cannes dan masuk nominasi Academy Award untuk Film Berbahasa Asing Terbaik pada 1965.

Genre kaidan eiga kemudian menjadi pelopor sinema komersial di Jepang pada era 60-70-an dan memberikan pengaruh besar pada film-film J-horror.

Baru-baru ini, sutradara Takashi Shimizu kembali dengan karya terbaru berjudul Immersion. Film ini tayang eksklusif di Indonesia melalui jaringan bioskop Cinepolis dan CGV sejak 22 November lalu.

Immersion bercerita tentang seorang ilmuwan neurologi berbakat, Tomoniko Kataoka (Daigo Nishihata), yang datang ke sebuah pulau terpencil untuk bergabung dengan kelompok bernama New World.

Kelompok ini melakukan penyelidikan tentang hubungan antara teknologi realitas virtual dan neurologi. Namun, proyek ilmiah dengan pencapaian yang menjanjikan itu segera berubah menjadi petaka berselubung misteri.

Saat membuat replika pulau, Tomoniko menghadapi masalah yang berakibat fatal. Seorang wanita misterius bergaun merah tiba-tiba muncul pada layar dan kemudian terjadi kematian yang aneh pada salah satu kru. Peristiwa ini lantas mengarahkan kelompok New World pada seorang dukun.

Kisah takhayul yang mengakar di pulau itu tampaknya menjadi satu-satunya kunci untuk mengungkap kutukan mengerikan yang akan merenggut nyawa siapa saja yang tinggal di pulau itu. Kutukan yang berumur ratusan tahun itu terkubur di bawah permukaan laut.

Beberapa Kelemahan

Immersion mengusung premis yang menggabungkan teknologi modern dengan kisah hantu kuno. Hal itu sebenarnya bukan sesuatu yang baru lantaran sudah sering dilakukan oleh pembuat film horor di Negeri Sakura. Yang membuatnya segara adalah keterampilan Shimizu memadukan elemen kisah klasik zaman Edo ke dalam wilayah teknologi virtual.

Dia terbilang berhasil mengaburkan batas di antara dua unsur yang sekilas bertolak belakang itu dan meramunya menjadi kisah horor yang menegangkan.

Namun, film ini bukan tak punya cela. Yang paling terlihat adalah Shimizu yang kurang efektif dalam menggunakan durasi filmnya yang hanya 109 menit. Ia terlalu lama bergumul dengan pergulatan protagonis dalam menelusuri misteri perempuan bergaun merah daripada mengeksplorasi kisah latar belakangnya.

Pengungkapan misterinya terkesan agak dipaksakan dan dibangun dengan malas. Penonton mulanya diajak menyaksikan segala upaya penelitian dan pencarian fakta di hampir seluruh durasi. Namun, plot misteri yang berkelok itu tiba-tiba dipungkasi dengan pengungkapan yang “begitu saja” lewat penuturan seorang dukun setempat.

Padahal, Immersion punya kesempatan untuk menjauh dari jebakan tipikal jika proses pengungkapannya dibangun dengan lebih sabar.

Menurut saya, formula yang dipakai oleh film-film J-Horror sejak meledaknya Ringu dan Ju-on dan diikuti oleh film-film Asia setelahnya sudah mulai basi. Ia seakan menjadi pemeo bahwa film horor mesti menggunakan formula itu jika ingin sukses. Padahal, film horor tidak selalu harus menakutkan.

Immersion mengikuti formula itu dan hasilnya lemah dalam membangun karakternya. Terutama, bagian hubungan karakter si Kakek dan Gadis Kecil. Meskipun memiliki peranan penting dalam alur film, Shimizu terlalu bertele-tele dalam menyampaikannya sehingga membuat 50 menit pertama terasa membosankan.

Lazimnya film horor yang menyajikan kisah hantu, Immersion juga dipenuhi oleh adegan jumpscare yang bisa diantisipasi lewat bunyi gemercik air. Itu adalah pertanda bahwa perempuan berbaju merah akan datang dan siap memakan korbannya sebagai wujud dendam kesumat.

Sosok hantu film ini juga sebenarnya klasik belaka. Namun, hal ini masih bisa dimaafkan lantaran folklor hantu Negeri Sakura memang hampir semuanya mengusung sosok wanita pendendam. Dari sisi komersial, pertimbangan ini juga lumrah belaka.

Film Ringu yang terkenal itu, misalnya, melahirkan sosok hantu perempuan ikonik bernama Sadako. Dalam folklor Jepang, entitas seperti Sadako disebut Onryō, yaitu jenis hantu yang menyimpan dendam karena pernah diperlakukan secara tidak manusiawi semasa hidupnya.

Onryō memang seringkali digambarkan sebagai sosok perempuan bergaun putih dan berambut panjang. Ia menyimpan dendam dan amarah pada dunia karena pernah ditindas dan dibunuh. Karenanya, ketika bangkit sebagai hantu, ia berniat membalaskan dendam dengan cara meneror manusia.

Oleh Shimizu, onryo diwujudkan sebagai perempuan bergaun merah dan latarnya dibangun dari folklor tentang hantu orang tenggelam atau disebut funayūrei. Kisah ini menceritakan tentang arwah orang yang meninggal akibat tenggelam dan rohnya bangkit kembali untuk membalas dendam atau mencari keadilan.

Sekali lagi, meski sebenarnya tak mengusung sesuatu yang benar-benar baru, dengan kreativitas, ia masih punya kans untuk lepas dari jebakan formulaik. Namun, Shimizu entah mengapa malah terkesan enggan menggali lebih dalam.

Karenanya, premis yang cukup menarik jadi tersia-siakan. Immersion, menurut saya, menjadi sekadar film horor biasa dan sedikitpun tidak menakutkan. Bagi seorang Shimizu yang telah menelurkan karya masterpiece seperti Ju-on, hal ini terang amat sangat disesalkan.

Kasus Immersion ini, menurut saya, mestilah jadi perhatian para sineas horor. Bahwa film horor sudah saatnya untuk melepaskan diri dari jerat formulaik seperti itu. Kesuksesan para pendahulu harusnya dilampaui, bukan ditiru dan diulang-ulang hingga jadi formula yang membosankan.

Salah satu nilai lebih dari Immersion adalah penggunaan salah satu elemen dari Shogun’sJoy Of Torture (1968) karya Teruo Ishi’i, maestro Ero-Gro (erotic-grosteque), subgenre dari pinku eiga. Elemen yang saya maksud adalah berbagai macam metode penyiksaan dari masa Edo yang digunakan sebagai twist di babak akhir film.

Shimizu menggunakan teknik penyiksaan dan eksekusi yang akurat secara historis. Di sini, Shimizu juga masih “berbaik hati” dengan mengurangi level ekstremnya sehingga film ini lebih bisa menjangkau pasar penonton dewasa yang lebih luas.

Selain itu, efek visualnya dibuat dengan sangat baik. Bidikan gambar dan transisinya berjalan dengan tempo yang terbilang pas. Tata suaranya yang atmosferik dan imersif juga sangat efektif menghadirkan keganjilan.

Semua sound effect di dalamnya terasa sangat cocok untuk mengiringi dunia virtual yang kemasukkan roh dari dunia lain yang tak kalah ganjilnya. Rasanya terdengar asing, seakan tidak berasal dari dunia yang kita kenal, dan tentu saja terasa sangat mengancam.

Hadirnya suara-suara ini memberi kesan bahwa dunia virtual yang menjadi masa depan manusia nantinya tidak akan luput dari serangan entitas yang berasal dari suatu tempat di luar realitas yang kita pahami.

Baca juga artikel terkait MISBAR atau tulisan lainnya dari Wiwid Coreng

tirto.id - Film
Kontributor: Wiwid Coreng
Penulis: Wiwid Coreng
Editor: Fadrik Aziz Firdausi