Menuju konten utama
Misbar

12 Monkeys: Sci-fi Klasik tentang Paradoks Predestinasi

Hampir tiga dekade berlalu, 12 Monkeys tetap menjadi film sci-fi terbaik tentang perjalanan waktu.

12 Monkeys: Sci-fi Klasik tentang Paradoks Predestinasi
Header Misbar 12 Monkeys. tirto.id/Parkodi

tirto.id - 12 Monkeys semula terinspirasi oleh film pendek La Jetee (1962) karya Chris Marker. Film yang disutradarai oleh Terry Gilliam ini mengisahkan perjalanan ke masa lalu menelusuri asal muasal virus mematikan yang memusnahkan hampir 99 persen populasi manusia di Bumi.

Gilliam merangkai elemen perjalanan waktu, dunia distopia, dan drama manusia dengan sudut pandang yang berbeda. Ia mendebarkan sekaligus menggugah pikiran. Berkat itu semua, 12 Monkeys kemudian didapuk para penikmat film sebagai klasik, bahkan dikategorikan cult.

Menurut saya pribadi, ia memang yang terbaik di antara sekian banyak film yang mengeksplorasi tema time travel.

Dampak Psikologis Perjalanan Waktu

Plot 12 Monkeys dipenuhi konsep-konsep berbobot, seperti kausalitas dan fatalisme, yang coba dihindari oleh banyak film bertema sejenis. Film ini telah memberikan ketakutan yang nyata dan plot twist yang tidak bisa ditemukan pada film sci-fi lain, semacam waralaba Star Trek, Back to the Future, atau Terminator sekalipun.

Latar awal 12 Monkeys adalah tahun 2035, kala umat manusia hampir musnah gara-gara suatu virus mematikan. Dalam adegan pembuka, penonton diperkenalkan pada karakter James Cole (Bruce Willis) yang seorang tahanan kriminal kelas berat. Dia lalu dikirim kembali ke masa lalu untuk mengumpulkan informasi tentang virus yang merebak pertama kali pada 1996.

Cole hanya diberi petunjuk berupa pesan suara yang sudah rusak dan coretan grafiti pada kaca sebuah toko yang ditengarai berada di Kota Philadephia. Kedua petunjuk itu mengarah pada keterlibatan kelompok yang disebut sebagai pasukan 12 Monkeys.

Namun, bukannya tiba di tahun 1996 seperti yang direncanakan, Cole malah tiba di tahun 1990. Dalam keadaan bingung, Cole tiba-tiba berada di sebuah rumah sakit jiwa. Dia dinyatakan sebagai pasien gangguan mental karena pernyataannya yang memperingatkan akan datangnya kiamat pada 1996. Pernyataan itu dianggap lelucon oleh para dokter dan ilmuwan.

Di tempat ini, Cole bertemu dengan Jeffrey Goines (Brad Pitt) yang nantinya akan memimpin pasukan 12 Monkeys dan seorang psikiater bernama Dr. Kathryn Railly (Madeleine Stowe). Cole lantas berusaha keras meyakinkan Dr. Kathryn bahwa dia waras dan kiamat itu benar adanya.

Seiring berjalannya kisah, karakter Cole perlahan kehilangan harapan akan misinya. Dia putus asa lantaran menyadari tak akan bisa mengubah kejadian di masa lalu atau mencegah penyebaran virus mematikan tersebut. Namun, dia toh tetap mencoba mengungkap sesuatu yang terbukti penting bagi masa depan umat manusia.

12 Monkeys dengan cerdas mengeksplorasi dampak psikologis dari perjalanan waktu. Karakter Cole yang semula optimistis berubah menjadi rapuh dan kehilangan akal pada akhir cerita.

Dari aspek style, penggambaran dunia pada 2035 adalah bukti sahih dari kreativitas dan estetika seorang Gilliam. Alih-alih lanskap dan bangunan futuristik nan canggih, Gilliam justru membangun dunia yang hancur dan dikuasai oleh binatang. Manusia terpaksa hidup di bawah tanah karena udara di permukaan sudah tercemari oleh virus yang mematikan.

Menonton kembali film ini sekarang, kita mungkin akan merasa familier dengan narasinya. Virus mematikan, dunia yang tak baik-baik saja, dan manusia yang terisolasi kiranya cukup menggambarkan apa yang kita semua pernah alami saat Pandemi COVID-19 mulai merebak empat tahun lalu.

Paradoks Perjalanan Waktu

Dalam 12 Monkeys, teori perjalanan waktu yang digunakan adalah varian paradoks predestinasi. Seturut teori paradoks ini, peristiwa di masa lalu sama sekali tidak dapat diubah. Di sisi lain, tindakan seorang penjelajah waktu dapat berkontribusi pada kejadian yang ingin dia cegah. Itu semua lantas menciptakan lingkaran sebab-akibat yang tertutup.

Di sepanjang film, kita diajak mengikuti upaya Cole untuk mengubah jalannya peristiwa yang mengarah pada kiamat 1996. Dia mencoba memperingatkan orang-orang tentang virus berbahaya yang bakal merebak di tahun itu dan melacak orang-orang yang bertanggung jawab atas penciptaannya. Dia bahkan rela mengorbankan dirinya untuk mencegah meledaknya pandemi.

Namun, setiap upaya itu berakhir sia-sia karena virus tersebut tetap dilepaskan dan Cole dikirim kembali ke 2035. Di masa itu, dia menemukan bahwa virus tersebut belum diberantas dan malah bermutasi menjadi lebih ganas.

Paradoks ini semakin tampak pada adegan terakhir film, saat Cole menyadari bahwa dirinya yang masih kecil menyaksikan kematiannya sendiri. Peristiwa itu mengendap menjadi mimpi buruk yang selama ini menghantuinya sekaligus menjadi kausalitas yang mendorongnya menjadi penjelajah waktu. Dengan kata lain, upayanya “memperbaiki” masa lalu ternyata malah menciptakan masa depan yang sebenarnya ingin dia cegah.

Cole menjadi sosok karakter yang tragis. Terjebak dalam siklus peristiwa yang tidak bisa dihindarinya.

Film ini banyak mengangkat pertanyaan-pertanyaan yang menggugah pikiran tentang hakikat waktu dan kausalitas. Ia juga menantang asumsi kita tentang kehendak bebas dan determinisme.

Di internet, kita masih bisa menemukan forum diskusi perjalanan waktu yang secara spesifik membahas film ini. Salah satu yang menarik adalah situs Mark Joseph “Young”. Dia membuat tujuh perubahan garis waktu film ini berdasarkan bukunya yang berjudul The Essential Guide to Time Travel, Temporal Anomalies, & Replacement Theory.

Berambisi Mengalahkan Terminator

Sebelum film 12 monkeys dibuat, telah ada dua film box office bertema perjalanan waktu, yaitu trilogi Back To The Future karya Steven Spielberg dan duologi Terminator karya James Cameron.

Kedua film tersebut sama-sama dipengaruhi oleh film pendek La Jeete karya Chris Marker. Namun, penulis skenario 12 Monkeys, David dan Janet Peoples, tidak ingin menjelajahi waktu seperti kedua film tersebut.

“Bahwa Jim Cameron dengan duologi Terminator-nya telah membuat maha karya hebat tentang perjalanan waktu adalah betul belaka,” ujar David Peoples kepada The Hollywood Reporter saat wawancara merayakan ulang tahun ke-25 film 12 Monkeys di awal 2021. "Jadi, kami tidak perlu membuat film seperti itu,” lanjutnya.

Karenanya, mereka memilih mengadaptasi skenario asli La Jeete dengan gaya yang berbeda. Sementara La Jetee mengeksplorasi kiamat melalui peluncuran nuklir sebagai dampak Perang Dingin, 12 Monkeys mengekplorasi kiamat yang diakibatkan oleh virus.

Itu adalah pilihan yang relevan untuk masa ketika film ini dibuat. Di awal dekade 1990-an, dunia tengah dilanda ketakutan akan virus HIV dan Ebola.

Keinginan David dan Janet lantas dapat dukungan dari produser Chuck Roven. Begitulah awalnya ide cerita 12 Monkeys mulai direalisasikan menjadi naskah dan kemudian diproduksi.

Terlepas dari ambiguitas ending-nya, pesan utama 12 Monkeys sebenarnya terang benderang. Bahwa masa lalu adalah kepastian yang tak dapat diubah. Hal itu juga menyiratkan sebuah pesan yang kuat agar manusia melakukan tindakan preventif di masa sekarang ketimbang menghabiskan waktu dan energi untuk memperbaiki masa lalu.

Teknologi mungkin bakal memampukan kita kembali ke masa lalu. Namun, betapa sia-sianya itu semua lantaran masa lalu tak bisa diubah. Bagaimanapun tindakan preventif harus menjadi langkah pertama.

Baca juga artikel terkait MISBAR atau tulisan lainnya dari Wiwid Coreng

tirto.id - Film
Kontributor: Wiwid Coreng
Penulis: Wiwid Coreng
Editor: Fadrik Aziz Firdausi