tirto.id - Dana Moneter Internasional (IMF) merevisi proyeksi inflasi global sepanjang 2022 menjadi lebih tinggi yakni mencapai 6,6 persen bagi negara maju, atau naik 0,9 persen dari proyeksi di April 2022. Begitu pula inflasi negara berkembang diperkirakan menjadi 9,5 persen di 2022, atau naik 0,8 persen dari proyeksi sebelumnya.
"Inflasi global telah direvisi naik karena kenaikan harga pangan dan energi, serta terjadinya ketidakseimbangan pasokan-permintaan," tulis IMF dalam laporan World Economic Outlook terbaru edisi Juli 2022 yang diterbitkan Rabu (27/7/2022).
Saat ini, AS mencatatkan lonjakan inflasi mencapai 9,1 persen pada Juni 2022, serta Inggris mengalami inflasi sebesar 9,1 persen pada Mei 2022, yang sekaligus menjadi tingkat inflasi tertinggi di kedua negara itu dalam 40 tahun.
Sementara di kawasan Eropa, inflasi tercatat mencapai 8,6 persen pada Juni 2022, level tertinggi sejak lahirnya serikat moneter atau monetary union. Sedangkan, pada negara berkembang diperkirakan inflasi pada kuartal II-2022 akan mencapai 9,8 persen.
Di sisi lain, pertumbuhan rata-rata upah tidak mengikuti inflasi di pasar negara maju maupun negara berkembang, sehingga mengikis daya beli rumah tangga. Merespons data-data yang ada, bank sentral dari negara-negara maju utama menarik dukungan moneter lebih tegas dan menaikkan suku bunga kebijakan lebih cepat dari perkiraan.
Bank-bank sentral di beberapa pasar negara berkembang juga telah menaikkan suku bunga lebih agresif. Peningkatan suku bunga yang agresif tersebut telah membuat biaya pinjaman menjadi lebih mahal, terutama di sektor perumahan.
"Kenaikan terkait biaya pinjaman jangka panjang, termasuk suku bunga hipotek, dan kondisi keuangan global yang lebih ketat telah menyebabkan penurunan tajam dalam harga ekuitas, membebani pertumbuhan," ungkap IMF.
Dari dalam negeri, sampai dengan Juni inflasi Indonesia sudah tercatat 4,35 persen secara year on year (yoy) dan menjadi tertinggi sejak lima tahun ke belakang. Inflasi ini tergolong moderat dibandingkan dengan negara-negara lain. Misalnya saja Amerika Serikat dan Uni Eropa terus mencatatkan rekor baru dalam 40 tahun terakhir, masing-masing mencapai 8,6 persen dan 8,8 persen.
“Dibandingkan dengan banyak negara di dunia, inflasi Indonesia masih tergolong moderat," ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, Febrio Kacaribu.
Dia menambahkan, laju inflasi yang tinggi juga terjadi di sejumlah negara berkembang, seperti Argentina dan Turki. Di mana masing masing-masing mencapai 60,7 persen dan 73,5 persen.
“Pemerintah, melalui instrumen APBN, berhasil meredam tingginya tekanan inflasi global, sehingga daya beli masyarakat serta momentum pemulihan ekonomi nasional masih tetap dapat dijaga,” jelas Febrio.
Dia menuturkan dalam menjaga stabilitas harga pangan, pemerintah akan memberikan insentif selisih harga untuk minyak goreng. Juga mempertahankan harga jual BBM, LPG, listrik (administered price) tidak mengalami peningkatan.
“Ini semua diharapkan dapat menjaga kecukupan pasokan, kelancaran distribusi serta keterjangkauan harga pangan pokok sehingga dapat melindungi daya beli masyarakat, khususnya kelompok berpenghasilan rendah,” ujar Febrio.
Peran APBN 2022 sebagai shock absorber juga diimplementasikan. Terutama dalam menjaga harga energi domestik agar tetap stabil melalui alokasi subsidi energi dan kompensasi yang mencapai Rp502,4 triliun.
“Subsidi dan kompensasi energi diberikan untuk menjaga stabilitas harga, melindungi daya beli serta menjaga momentum pemulihan ekonomi. Mengingat energi merupakan kebutuhan pokok, kebijakan subsidi energi ini vital bagi proses pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung,” tutup Febrio.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang