tirto.id - Indonesia Mining and Energy Forum (IMEF) meminta pemerintah untuk memberikan insentif bagi pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Pasalnya, pengembangannya masih seringkali terganjal oleh masalah perhitungan investasi yang dinilai tak menguntungkan.
Anggota IMEF, Fabby Tumiwa menyayangkan kebijakan insentif untuk energi terbarukan, yang pernah dirancang pemerintah pada 2015-2016, diubah.
“Pada 2015-2016, pemerintah berjanji memberikan insentif sesuai amanat UU dan PP. Tapi pas akhir tahun 2016, katanya (Presiden Jokowi) tidak butuh insentif,” kata Fabby saat konferensi pers bertajuk “Outlook Energi dan Pertambangan Indonesia” di Tjikini Lima, Jakarta pada Kamis (17/1/2019).
Fabby mengatakan saat ini kapasitas energi terbarukan di Indonesia masih 8 persen. Angka itu jauh di bawah target bauran energi nasional, yakni 23 persen dari total energi di Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan 16 persen menurut RPJMN 2015-2019.
Agar target suplai listrik berbasis energi terbarukan sebesar 45 giga watt pada 2025 tercapai, kata dia, pemerintah harus menggenjotnya setiap tahun. Minimal, 5-6 giga watt per tahun.
Fabby mencatat, berdasar Laporan Kementerian ESDM, perkembangan investasi bidang Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Indonesia hanya mencapai 110 juta dolar AS.
Padahal, menurut dia, rata-rata investasi energi terbarukan di dunia kini mencapai 300 miliar dolar AS. Sementara Indonesia diprediksi memiliki potensi energi terbarukan mencapai 600 gigawatt.
“Ini harus dipikirkan. Dari 2015-2018, pertambahan energi terbarukan hanya 200 mega watt padahal kita butuh 5 gigawatt per tahunnya,” ucap Fabby.
Anggota IMEF lainnya, Fauzi Imron menilai pemerintah terkesan membiarkan energi terbarukan untuk bersaing dengan energi fosil. Ia mencontohkan investor masih diharuskan menetapkan biaya pemakaian listrik berbasis energi terbarukan semurah yang dihasilkan batu bara.
Disamping itu, Fauzi juga mengkritik inkonsistensi kebijakan pemerintah terkait energi terbarukan. Dia menilai ada ketentuan yang tidak konsisten dalam UU Nomor 30 Tahun 2007, Permen ESDM Nomor 50 Tahun 2017 dan PMK Nomor 21 Tahun 2010. Inkonsitensi dalam regulasi-regulasi itu, kata Fauzi, menyebabkan investor asing enggan menggarap potensi energi terbarukan di Indonesia.
Dia berpendapat, karena pemerintah memerlukan bantuan swasta di pengembangan energi terbarukan, kepastian investasi dan insentif harus diberikan.
“Ada 5-6 forum internasional, mereka give up [menyerah], katanya ‘kami tidak tertarik lagi investasi di renewable energi [energi terbarukan] Indonesia. Akhirnya ke Vietnam dan Thailand,” ujar Fauzi.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Addi M Idhom