Menuju konten utama

Imam Suyuthi, Ia yang Menyempurnakan Karya Sang Guru

Salah satu karya Imam Suyuthi yang terkenal adalah Tafsir Jalalain (Tafsir dua Jalal). Ia meneruskan karya gurunya yang wafat pada tahun 864 H.

Imam Suyuthi, Ia yang Menyempurnakan Karya Sang Guru
Header Mozaik Imam Suyuthi Mujtahid. tirto.id/Tino

tirto.id - Imam Suyuthi lahir pada awal bulan Rajab tahun 849 H di pedalaman Mesir bernama Suyuth. Ia lahir dari keluarga sederhana dengan nama Jalaluddin Abdurrahman bin Kamal Abu Bakar as-Suyuti. Umumnya dipanggil dengan Jalaluddin Suyuthi atau cukup dengan julukannya saja, Imam Suyuthi.

Ayahnya merupakan keturunan Persia, sementara ibunya berdarah Turki. Keduanya mendidik as-Sayuthi dengan bekal ilmu agama yang layak.

Dikisahkan saat menjelang kelahirannya, ayahnya tengah mempelajari sebuah kitab. Kemudian ibunya mencarikan kitab yang dimaksud di perpustakaan pribadi ayahnya. Saat itulah ibunya merasakan rasa sakit dan melahirkan dirinya di antara kitab-kitab yang berserakan.

Sejak itu Imam Suyuthi mendapatkan julukan “Ibnul Kutub” yang berarti anak kitab-kitab. Julukan yang pantas mengingat sepanjang hidupnya tak pernah jauh dari kitab-kitab yang ia pelajari dan yang menjadi karyanya.

Menginjak usia 8 tahun, ia sudah hafal 30 juz Al-Qur’an. Saat itu ia sudah menjadi yatim setelah ayahnya wafat saat dirinya berusia 5 tahun. Namun, itu tak menyurutkan langkahnya menuntut ilmu.

Kenangan bersama ayahnya adalah sering diajak menghadiri majelis-majelis keilmuan, seperti majelisnya Ibnu Hajar, Saifuddin al-Hanafi, Muhyiddin al-Kafiyaji, Syekh Syihabuddin asy-Syarmasahi, dan banyak lagi. Sehingga kecintaan akan ilmu agama sudah tertanam sejak dini.

Majelis-majelis tersebut juga kerap didatanginya saat ia sudah dewasa dan memiliki keilmuan yang layak.

Dari sana pula ia mulai mengenal beberapa ulama terkemuka saat itu, seperti Jalaluddin al-Mahalli, yang kelak ia estafetkan karyanya menjadi salah satu kitab tafsir paling masyhur, yakni Tafsir Jalalain (Tafsir dua Jalal).

Selain menjadi hafiz di usia belia, kitab-kitab besar seperti Alfiyah karya Ibnu Malik, Minhaj At-Thalibin karyaImam Nawawi, Umdatul Ahkam karya Ibnu Daqiqi al-‘Id, dilahapnya dalam waktu singkat.

Memasuki usia remaja, Imam Suyuthi terus menempuh perjalanan menimba ilmu dengan berguru kepada para ulama, seperti ‘Alamuddin al-Bulqini, seorang ulama ahli fikih putera Syekh Sirojuddin al-Bulqini, pengarang kitab At-Tadrib.

Ia lalu belajar ilmu hadits dan sejarah kepada Syekh Syarafuddin al-Munawi. Darinya, ia belajar kitab Syarah Al-Bahjah dan Tafsir Al-Baidhowi.

Ia kemudian melakukan perjalanan ke berbagai tempat untuk menambah pengetahuan soal sanad dan riwayat-riwayat hadits, seperti ke Syam, Hijaz, Yaman, India, dan Maroko.

Selain berguru kepada guru laki-laki, dia juga berguru kepada guru perempuan, seperti Ummul Khoir, ahli hadits yang juga periwayat Sahih Bukhari dari ulama Hijaz. Lalu ada Amatul Aziz binti Muhammad Yunus Al-Amani, Ummul Fadhl binti Muhammad Al-Mishriyah, dan banyak lagi.

Jika ditotal, jumlah gurunya sekitar 150 orang.

Melahirkan Ratusan Karya

Menurut Bahrudin Fuad dalam Rumus Fathul Muin,Imam Suyuthi menguasai tujuh cabang ilmu agama, mulai dari tafsir, hadits, fikih, nahwu, ma’ani, bayan, dan badi’. Ia juga menguasai ushul fikih, jadal (metode diskusi), tashrif (cabang ilmu bahasa Arab), insya’ (metode penulisan), faro’idh (ilmu warisan), qira’ah (tata cara pemcaaan Qur’an), serta ilmu kedokteran.

Meski begitu, ada satu ilmu yang dirasakannya cukup sulit dipelajari, yakni ilmu hisab (berhitung).

Karya pertamanya adalah catatan pendek berjudul Syarh al-Isti’adzah wal Basmalah yang ditulis saat berguru kepada Syekh Syihabuddin asy-Syarmasahi. Usianya saat itu sekitar 15 tahun.

Imam Suyuthi kerap diundang oleh para pemimpin pemerintahan maupun orang terpandang. Namun, karena sifatnya yang zuhud, ia selalu menolak dengan alasan tidak mendatangi mereka diibaratkan menyelamatkan agama seorang muslim.

Alasan inilah yang menyebabkannya mengarang kitab Ma Rowahul Asathin Fi ‘Adamit Taroddud ‘Alas Shalatin, kitab yang menceritakan bagaimana ulama-ulama salaf terdahulu telah mengurangi undangan para pemimpin.

Menurut ulama Kurdi, Syeikh Said Mursi, Imam Suyuthi telah menulis 600 kitab.

Beberapa karya Imam Suyuthi yang jumlahnya ratusan, termasuk di antaranya yang populer ialah kitab Tafsir Jalalain dan Al-Itqan fi Ulum al-Qur'an, kitab hadits berjudul Ad-Dibaj ‘Ala Tashhihi Muslim bin Hajaj, dan kitab fikih berjudul Al-Washailu ila Makrifati al-Awaail.

Selain itu, ia juga menulis karya-karya dalam bidang nahwu, balaghah, adab, tasawuf, dan tarikh.

Karier intelektual Imam Suyuthi sebagai ahli ilmu dan muhaddis mulai terlihat ketika ia diberikan gelar oleh para cendekiawan setempat sebagai Syekhul Islam di Kairo menjelang usia 40 tahun. Menjadikannya memiliki wewenang sebagai mujtahid mutlak.

Menurut KH. Abdul Munim Cholil, dosen tasawuf STAI Al-Fithrah Surabaya, mujtahid mutlak yang disandang Imam Suyuthi meliputi tiga kategori keilmuan, yakni hukum syariat, hadits, dan ilmu bahasa Arab.

“Lebih tepatnya sebagai mujtahid mutlak muntasib (seorang mujtahid mutlak tapi masih menyandarkan pendapatnya pada mazhab Syafi’i), bukan mustaqil (independen seperti empat imam),” tuturnya.

Tafsir Jalalain

Kitab ini memiliki nama asli Tafsir Al-Qur’an al-‘Adhim, terdiri dari tiga puluh juz yang mencakup seluruh surat Al-Qur’an dan dibagi ke dalam dua jilid sesuai dengan penulisnya.

Menurut Umdatul Fadhillah, redaktur majalah Tebuireng, kitab tafsir tersebut awalnya ditulis Jalaluddin al-Mahally karena melihat perkembangan bahasa Arab yang saat itu mengalami kemerosotan parah yang dilatari intensnya hubungan bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang ikut menggunakan bahasa Arab, seperti bangsa Persia, Turki, India, dan bangsa lainnya yang telah memeluk Islam.

“Pembauran tersebut memengaruhi bahasa Arab yang benar, karena yang digunakan sehari-hari hanyalah bahasa yang sederhana dan mudah tanpa mengindahkan citra bahasa Arab yang asli,” ujarnya sebagaimana dilansir majalah Tebuireng edisi 73 yang terbit bulan Maret-April 2021.

Faktor tersebut yang menyebabkan Jalaluddin al-Mahally menyusun tafsir sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, baik ilmu nahwu maupun sharaf yang terbentuk berdasarkan referensi bahasa Arab asli.

Infografik Mozaik Imam Suyuthi Mujtahid

Infografik Mozaik Imam Suyuthi Mujtahid. tirto.id/Tino

Proses penulisan kitab oleh Jalaluddin al-Mahally dimulai dari surat Al-Baqarah hingga surat Al-Isra’. Penulisan sempat terhenti karena guru Imam Suyuthi tersebut terlanjur wafat pada tahun 864 H.

Butuh waktu enam tahun bagi Imam Suyuthi meneruskan karya gurunya setelah didesak berbagai kalangan. Konsepnya diselesaikan hanya dalam waktu 40 hari, mulai dari awal Ramadan hingga 10 Syawal 870 H.

Imam Suyuthi meneruskan penulisan Tafsir Jalalain mulai dari surat Al-Kahfi hingga surat An-Nas dan sempurna diselesaikan pada tahun 871 H.

Tafsir Jalalain memuat penjelasan tentang ayat-ayat Al-Qur'an dengan mengkaji segi-segi linguistik, sejarah, konteks sosial, dan aspek-aspek lainnya. Kitab ini juga disusun dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami sehingga dapat diakses oleh semua kalangan.

Dalam penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an, kedua ulama tersebut menekankan pada penjelasan makna ayat dengan berpegang pada metode-metode penafsiran akademik yang diajarkan di madrasah dan perguruan tinggi Islam. Selain itu, mereka juga memadukan penjelasan ayat dengan hadits-hadits dan perkataan para sahabat Nabi.

Tafsir Jalalain juga terkenal dengan penjelasannya yang tidak membahas berbagai pendapat fuqaha atau ahli tafsir yang berbeda, sehingga mampu memberikan penafsiran yang jelas dan mudah dimengerti oleh pembaca awam.

Selain itu, kitab ini juga menampilkan sinonim redaksi dalam Al-Qur’an sebagai teknik penafsiran dan menyajikan analisis sederhana tentang nahwu, qira’at, hukum Islam, dan akidah.

Imam Suyuthi meninggal pada tahun 911 H pada usia 62 tahun di kota Kairo, Mesir. Karya-karyanya masih sangat dihargai dan dijadikan referensi oleh para ulama dan peneliti Islam hingga saat ini.

Baca juga artikel terkait TAFSIR AL-QURAN atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi