tirto.id - Dalam tataran naratif, agama digunakan sebagai sekadar perangkat plot seperti deus ex machina. Agama, secara ironis, benar-benar digunakan untuk menghindarkan tokoh utama dari petaka.
Pada tataran tematik, agama dalam film horor digunakan sebagai alat, sebatas ikonografi saja. Contohnya, kehadiran sosok pemuka agama seperti ustad/kyai, atau gestur keagamaan seperti sholat atau mengaji.
Agama sebagai instrumen dalam film horor tidak sepenuhnya menyatu dalam cerita. Alhasil film tidak mampu memperlihatkan agama sebagai sebuah dikursus yang kompleks soal keyakinan, ketakutan, atau penyerahan diri. Agama menyusut menjadi simbol-simbol belaka.
Kecenderungan ini sebenarnya berakar pada hubungan perfilman indonesia dan rezim pemerintahan Orde Baru.
Seperti yang telah dicatat oleh Quirine Van Hereen dalam disertasinya, "Contemporary Indonesian film: spirits of reform and ghosts from the past", sebetulnya yang memegang tanggung jawab mengapa sosok religius hadir dalam film horor ialah ditahbiskannya Kode Etik Produksi Film di Indonesia pada tahun 1981 oleh Jenderal Ali Murtopo sebagai Menteri Penerangan.
Meski demikian, kehadiran ikonografi agama dalam film horor sudah muncul satu dekade sebelumnya. Pentahbisan tersebut berujung pada adanya semacam otosensor dalam industri perfilman Indonesia. Produksi film dengan sendirinya menyelipkan simbol-simbol agamis agar dengan mudah lulus sensor BSF (Badan Sensor Film) terlepas dari jalan ceritanya seperti apa.
Krishna Sen dalam bukunya Indonesian Cinema: Framing The New Order, menjelaskan bahwa kasus pencabutan atau pelarangan tayang untuk film yang melanggar kode etik sebetulnya hanya sedikit. Tetapi hal tersebut malah menunjukan bagaimana efektifnya sensor bekerja.
Dengan demikian agama lewat representasinya sekali lagi hanya sebatas alat formalitas agar lulus sensor. Maka tidak aneh ketika agama dalam film muncul dan hilang tiba-tiba.
Tren pencatutan agama di film horor mulai hilang seiring Reformasi. Bahkan film horor Indonesia awal 2000an mulai terlihat menjadi “sekuler” dengan sama sekali tidak menampilkan unsur agama.
Namun van Heeren, masih dalam disertasinya, menjelaskan bahwa simbol dan peran agama tidak serta merta hilang begitu saja. Ia mencatat ada pola yang dikotomis, ketika film menampilkan latar kelas menengah urban simbol agama seringkali absen, sedangkan sebaliknya ketika latar filmnya berada di wilayah periferi. Hal demikian ini menunjukan bahwa agama selalu ada namun bukan bagian dari ‘kemajuan’ peradaban.
Sekarang, dua dasawarsa setelah turunnya Orde Baru penggambaran agama dalam film horor sudah berubah drastis. Sebagian kecil pola turunan bekas orde baru masih tetap berlanjut.
Corak film horor “sekuler” yang muncul selepas reformasi pun sama. Namun ada corak lain yang saya rasa perlu dibincangkan yakni film horor yang secara naratif dekat dengan agama. Sebut saja film seperti Makmum, Makmum 2, Qorin, Qodrat, Menjelang Magrib, dari judulnya sudah terlihat anasir Islam.
Tidak hanya film feature, film pendek horor bercorak Islami pun marak bermunculan di YouTube menggunakan bermacam ritual agama Islam titik fokusnya. Sahur (2021), Sholat Sendirian (2021), dan Buka Puasa (2022) diproduksi oleh DDG Production kemudian ada juga Imsak dari Retorika Films yang rilis di tahun yang sama. Film-film pendek tersebut dibuat dengan biaya produksi sederhana dan struktur cerita minimalis.
Pada level permukaan terkesan moralis tetapi bila dicermati lebih seksama, penggambaran agama di dalamnya bukan sekadar simbol belaka.
Untuk melihat evolusi ikonografi Islam dalam film horor Indonesia kontemporer maka akan dibahas dua film, Buka Puasa dan Qodrat. Lewat dua film tersebut seharusnya cukup menggambarkan sikap film produksi independen dan mayor terhadap ikonografi Islam.
Buka Puasa, Horor yang Agamis
Penggambaran agama yang bertolak belakang dari film horor era Orde Baru terlihat dari Buka Puasa. Film pendek berdurasi enam menit ini menceritakan Mirna yang mendapat kiriman makanan dari Yuni untuk berbuka puasa.
Yuni berpesan untuk menyebarkan kabar makanan buatannya itu di media sosial supaya masakannya dikenal. Mirna dengan senang hati menuruti permintaan Yuni. Ketika adzan magrib, Mirna langsung memotret makanannya kemudian menyantapnya.
Ketika hendak melahap santapannya tiba-tiba mulut Mirna tidak bisa ditutup. Mirna mengangap dan panik setengah mati. Ia segera menelfon Yuni untuk minta tolong namun tidak diangkat.
Kemalangan Mirna berlanjut dengan munculnya sosok hantu di depannya. Namun bukannya menakut-nakuti, hantu tersebut malah mengucapkan doa berbuka puasa. Mirna akhirnya bisa menutup mulutnya lagi. setelah menenangkan dirinya ia kembali menyantap makanan dari Yuni dengan membaca doa buka puasa terlebih dahulu. Kemudian melakukan salat magrib. Tanpa diketahui Mirna, hantu yang tadi muncul di hadapannya ikut salat di belakangnya.
Hal yang kentara dari film pendek ini tentu gambaran dan penggunaan hantunya. Genre horor menggunakan hantu selain untuk menakuti dan meneror tetapi juga untuk mengungkap dan memulihkan trauma masa lalu atau pengingat atas terjadinya pelanggaran norma sosial.
Dalam film ini hantu perempuan bermukena motif batik tampak mengerikan tetapi menolong Marni yang tidak bisa menutup mulutnya. Hantu tersebut seperti hadir untuk membetulkan praktik agama.
Hantu seakan menggantikan sosok ustad atau kyai yang biasanya hadir untuk menjaga ‘moral’ dalam film. Pola seperti ini tidak terjadi pada film horor era Orde Baru. Tentu saja ini menunjukan perkembangan penggambaran agama dalam film horor yang cukup pesat. Horor dan agama menjadi dualitas. Dua sisi mata koin yang berdampingan.
Dualitas agama dan horor sebetulnya sudah mulai tampak di dekade 2010an. Bila diperhatikan, terlihat adanya gambaran agama yang menakutkan atau mungkin horor yang agamis pada tayangan di televisi.
Hal tersebut dapat terlihat dalam 282 episode Film Televisi Hidayah (2005–2007 di Transtv dan 2013–2016 di MNCTV). Tayangan serupa dengan label drama religi muncul juga dalam stasiun televisi lain seperti Azab (2018–2019 di Indosiar).
Dari tayangan FTV tersebut agama tidak ditampilkan kompleksitasnya. Ganjaran langsung ditimpakan kepada karakter jahat asalkan ia sudah jadi jenazah. Setiap hukuman ditampilkan fantastis terhadap jenazah namun cukup menjadi teror kepada orang-orang yang masih hidup. Dualitas agama dan horor jadi sebatas fearmongering saja.
Film pendek Buka Puasa tidak hanya menunjukan dualitas agama dan horor yang sebatas bertujuan menakut-nakuti untuk melakukan ibadah.
Ketakutan terbesar dalam film tersebut sebetulnya bukan kemunculan hantu bermukena batik, melainkan ketidakmampuan Marni untuk mengkonsumsi atau berbuka puasa.
Dan hal ini secara tematik erat kaitannya dengan bulan puasa yang berarti bulan menahan hasrat mengkonsumsi ketika puasa maupun berbuka. Dualitas horor dan agama sebetulnya bukan hal yang baru, ketakutan dan keyakinan atas sesuatu yang lebih berkuasa sudah ada sejak munculnya agama itu sendiri.
Qodrat, Agama yang Mengerikan
Film horor meski bentuknya imajinatif dan fiksional, seringkali merupakan kristalisasi dari kegelisahan di dunia nyata.
Contohnya, maraknya film horor berlatar rumah hantu di awal dekade 2010an yang diproduksi Hollywood maupun independen dalam suatu penelitian menunjukan adanya hubungan dengan krisis perumahan di Amerika Serikat.
Pola demikian tampaknya serupa dengan film Qodrat yang dibesut oleh Charles Gozali. Tidak lama sebelum penayangan film tersebut, publik Indonesia dihebohkan oleh berita-berita mengerikan tentang ustadz yang mencabuli santri atau ustadz yang melakukan penipuan atau wanprestasi,
Sejak awal film terlihat mengikuti struktur genre western. Qodrat, protagonis dalam film ditampilkan sebagai seorang penjahat (outlaw) namun pada akhirnya menyelamatkan desanya dan pesantren Kahuripan.
Seiring cerita bergulir, film mengungkap bahwa ustadz Zafar di pesantren tempat Qodrat menuntut ilmu yang ternyata bersekutu dengan setan. Ia ‘menyebarkan’ setan di desa agar banyak warga yang kesurupan meminta dirukiyah olehnya. Bahkan ustadz Zafar meminta tanah warga sebagai imbalan merukiyah untuk memperluas lahan pesantren.
Representasi ustadz dalam Qodrat terlihat sudah melampaui film-film horor pada masa Orba. Film ini menampilkan dua karakter ustadz yang bertolak belakang sifatnya meski karakterisasinya masih satu dimensi, ustadz baik-jahat.
Ketidaksempurnaan karakter ustadz sebetulnya dilakukan juga oleh film horor lain yang sezaman dengan Qodrat misalnya Pengabdi Setan dan Pengabdi Setan 2. Kedua film yang dibuat Joko Anwar tersebut menampilkan sosok ustadz yang kalah melawan setan di film.
Kekalahan dan kelemahan ustadz dalam Pengabdi Setan dan sekuelnya menurut Joko Anwar untuk menunjukkan dominasi setan dalam film. Namun, secara tidak langsung mengomentari trope superioritas tokoh agama dalam film horor era Orde Baru.
Meski demikian, film Qodrat lebih berani karena menunjukkan karakter ustadz yang korup bukan sekadar lemah saja. Dan lebih diskursif karena menampilkan ustadz Zafar yang bersekutu dengan setan dan mencaplok tanah warga di sekitar pesantren.
Qodrat tidak hanya mengembangkan representasi agama lewat penggambaran sosok ustadz yang dursila, tetapi juga melakukan semacam peremajaan karakter ustadz. Qodrat tidak ditampilkan kaku dan stereotipikal menggunakan sarung atau sorban, ia berambut gondrong–hal yang dilarang ketika Orde Baru–dan menggunakan motor gede.
Pilihan karakteristik demikian selaras dengan pola film horor Indonesia yang menempatkan karakter pemuda dalam sorotan setelah Reformasi (Anton Sutandio dalam buku Sinema Horor Kontemporer Indonesia: Sebuah Pembacaan Alegoris)
Sesuai dengan sifat aslinya, film horor akan terus berkembang menyesuaikan perubahan sosiokultural dan politik yang terjadi di luar film.
Ikonografi Islam dalam film horor kontemporer Indonesia bukan sekadar tokenisme seperti yang dilakukan pada era Orde Baru melainkan memiliki signifikansi tertentu dan kontekstual.
Ironisnya, film horor menjadi salah satu medium yang tepat guna untuk menjadi indikator bagaimana diskursus agama dimaknai oleh publik.
Penulis: Alwin Firdaus
Editor: Lilin Rosa Santi