tirto.id - Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) buka suara terkait kasus produk suplemen makanan merek Viostin DS dan Enzyplex yang dinyatakan positif mengandung babi oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Kedua jenis merek tersebut pun telah diminta ditarik dari peredaran dan dihentikan produksinya.
Viostin DS yang dimaksud BPOM adalah produksi PT Pharos Indonesia dengan nomor izin edar SD051523771. Sementara untuk Enzyplex diproduksi oleh Medifarma Laboratories dengan nomor DBL7214704016A1.
Wakil Sekretaris Jenderal IAI, Dra. Aluwi Nirwana Sani, M.Pharm., Apt mengatakan, pihaknya menyayangkan produsen yang tidak terbuka kepada masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim. Seharusnya, produsen harus memberitahukan kepada konsumen bila produk yang dibuatnya itu mengandung DNA babi.
“Sebagai pengusaha sekaligus sebagai anggota IAI untuk apotekernya, kejujuran adalah mutlak untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat, konsumen, profesi dan pemerintah,” kata Aluwi kepada Tirto, Jumat (2/2/2018).
Aluwi menegaskan, semestinya produsen obat-obatan seperti PT Pharos Indonesia mematuhi Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Halal. Dalam regulasi yang terdiri atas 68 pasal itu ditegaskan, bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.
Menurut Aluwi, UU No. 33/2014 seharusnya juga berlaku sebaliknya, yaitu produk halal ditandai dan yang mengandung fragmen darah dan babi juga ditandai. Ia mencontohkan, kalau sirup mengandung alkohol diberi persentase kandungan alkoholnya.
“Memang betul, kalau halal bisa diberi label halal, akan tetapi kalau mengandung bahan dari babi juga harus dilabel, bukan diam-diam. Di luar negeri seperti Australia, kemasan mengandung pork diberi label dan ada list di masyarakat emulgator mana yang mengandung pork,” kata Aluwi mencontohkan.
Hal senada diungkapkan Ketua Komite Nasional Kajian Obat Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Masfar Salim. Menurut dia, semua produk obat-obatan dan suplemen harus mencantumkan label jika memang mengandung DNA babi. Konsumen harus mengetahui jika produk tersebut mengandung babi atau tidak.
“Saya kira harus ya itu [mencantumkan label], supaya masyarakat tahu bahwa obat ini halal atau enggak, terutama bagi umat Muslim,” kata Masfar kepada Tirto, Kamis kemarin.
PT Pharos Indonesia, produsen suplemen makanan merek Viostin DS pun membenarkan ada kandungan kontaminan pada produknya. Kontaminan adalah zat yang muncul bukan pada tempatnya dan dapat membahayakan kesehatan.
Direktur Komunikasi Korporat PT Pharos Indonesia, Ida Nurtika mengatakan, selama ini pihaknya menggunakan bahan baku dari sapi yang dipasok oleh pemasok dari Spanyol yang telah memiliki sertifikat halal dari Halal Certification Services/ HCS.
Menyikapi temuan BPOM pada akhir November 2017, kata Ida, pihaknya telah melakukan penarikan produk Viostin DS secara bertahap, serta menghentikan produksi dan penjualan produk Viostin DS.
“Kami telah mengganti pemasok bahan baku yang juga telah mendapatkan sertifikat halal dari negara asalnya. Semua masalah ini terjadi karena adanya indikasi pencemaran dari DNA porcine pada bahan baku dan tidak terkait dengan efikasi atau efek samping,” kata Ida kepada Tirto, Jumat (2/2/2018).
Apa Fungsi DNA Babi pada Obat-obatan?
Temuan BPOM soal produk suplemen makanan merek Viostin DS dan Enzyplex yang mengandung DNA babi ini memunculkan pertanyaan apa sebenarnya fungsi DNA babi untuk obat-obatan, karena hal ini bukan yang pertama kali muncul ke publik.
Aluwi Nirwana dan Masfar Salim satu suara terkait ini. Keduanya menyebut bahwa fungsi DNA babi untuk obat-obatan tidak ada. Masfar berkata, dari sisi khasiat tidak ada pengaruh apapun, apakah obat tersebut harus menggunakan DNA babi atau tidak.
Menurut Masfar, penggunaan DNA babi oleh produsen biasanya digunakan untuk cangkang kapsul, bukan isinya. “Kalau yang dibuat produsen obat itu, kan, yang mengandung babi itu kapsulnya, tepatnya selaput gula kapsulnya itu yang mengandung babi, jadi bukan isi kapsulnya,” kata pria yang berprofesi sebagai dokter ini.
Hal senada juga diungkapkan Aluwi yang menyebut bahwa babi biasanya digunakan dalam obat sebagian besar adalah gelatinnya. Menurut Aluwi, gelatin dibuat dari kulit, tulang rawan dan tulang dari binatang dengan proses tertentu.
“Guna gelatin dalam dunia farmasi adalah untuk pembuatan cangkang kapsul, emulgator (membatu pencampuran zat aktif yang tidak saling campur) dan stabilisator pada sediaan obat agar tidak mudah rusak dan dapat memberikan efek dengan baik,” kata Aluwi.
Menurut Aluwi, kalau gelatin diambil dari DNA babi, maka dalam pemeriksaan bisa dideteksi. Alasannya, karena gelatin biarpun sudah dilakukan berbagai proses sehingga sulit diidentifikasi, tetapi dengan alat yang tepat, asal usul zat tambahan tersebut bisa terdeteksi, seperti DNA.
Dalam dunia farmasi, kata Aluwi, tidak ada istilah khusus untuk menyebut DNA babi ini. “Tidak ada, karena gelatin dari babi (porcine) itu sebagai bahan tambah, bukan bahan aktif,” kata dia saat ditanya soal istilah khusus menyebut DNA babi dalam obat-obatan.
Namun demikian, kata Aluwi, meskipun tidak ada nama khusus “tetapi dalam produk obat, roti, es krim umumnya muncul nama emulsifier atau emulgator.”
Karena itu, Aluwi menyarankan agar setiap produsen obat-obatan dan suplemen makanan untuk menaati regulasi yang ada, seperti mencantumkan label babi jika memang mengandung DNA babi tersebut. Aluwi berkata, pencantuman label babi di kemasan ini sangan penting mengingat penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam.
Selain itu, Aluwi juga menolak anggapan BPOM kecolongan dalam kasus ini. “Deteksi adanya fragmen babi perlu alat yang tepat dan ilmu yang tinggi. Jadi, harus ada timbal balik, seharusnya industri jujur dan BPOM melakukan tugasnya sebagai inspektor dan menjaga kepastian kualitas produk yang beredar di Indonesia,” kata dia.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz