tirto.id - Penerapan PPKM Darurat di Jawa-Bali diikuti dengan terbitnya Surat Edaran Satgas Penangangan Covid-19 Nomor 15/2021 tentang Pembatasan Mobilitas Masyarakat Selama Libur Hari Raya Idul Adha 1442 H. Tujuannya bukan untuk melarang ibadah, tetapi bentuk adaptasi terhadap pandemi Covid-19.
“Perlu ditekankan bahwa hanya caranya saja yang disesuaikan dan diadaptasi dalam kondisi pandemi ini," papar Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, Asrorun Ni'am Sholeh dalam Webinar Relawan Berperan: Menegakkan Protokol Ibadah Iduladha di Era Pandemi pada Minggu (18/7/2021).
"Hal ini adalah keseimbangan antara menjaga tegaknya agama dengan tetap mengikuti kaidah keagamaan, namun di titik lain tetap berkomitmen menjaga jiwa di dalam pelaksanaan aktivitas ibadah dengan tidak menyebabkan kerugian bagi orang lain,” tambahnya.
Penerapan protokol kesehatan masyarakat termuat dalam Surat Edaran (SE) Menteri Agama Nomor 16 Tahun 2021, SE Menteri Agama Nomor 17 Tahun 2021, Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2021, dilanjutkan SE Satgas Nomor 15 Tahun 2021.
Peraturan yang diterbitkan tersebut merinci ketentuan ibadah dalam penyelenggaraan malam takbiran, Salat Iduladha pada 10 Zulhijah H (20 Juli 2021), dan Pelaksanaan Kurban Tahun 1442 H pada 11-13 Zulhijah 1442 H (21-23 Juli 2021).
Terkait salat Iduladha, dalam SE 16/2021 dan SE 17/2021 Menag Yaqut Cholil Qoumas menekankan bahwa Salat Hari Raya Idul Adha 1442 H/2021 M di masjid/musala yang dikelola masyarakat, instansi pemerintah, perusahaan atau tempat umum lain ditiadakan di seluruh kabupaten/kota dengan level asesmen 3 dan 4 yang diterapkan dalam PPKM Darurat.
Sementara itu, terkait penyembelihan hewan kurban, selain waktunya ditetapkan pada hari tasyrik (21-23 Juli 2021), Menag juga menekankan penyembelihan itu dilakukan di Rumah Pemotongan Hewan Ruminasia (RPH-R).
Namun, jika terjadi keterbatasan jumlah dan kapasitas RPH-R, pemotongan hewan kurban dapat dilakukan di luar RPH-R dengan ketentuan protokol kesehatan yang mencakup penerapan jaga jarak fisik (physical distancing), protokol kesehatan petugas dan pihak yang berkurban, dan kepastian penerapan kebersihan alat untuk pemotongan hewan kurban.
MUI sendiri menerbitkan Tausiyah Nomor KEP-1440/DP-MUI/VII/2021. Salah satu poinnya adalah, pelaksanaan ibadah kurban harus dipastikan sesuai syariah dan menerapkan protokol kesehatan untuk mencegah terjadinya penularan Covid-19.
Soal salat Id, Asrorun Ni'am Sholeh menyebutkan, dalam kondisi normal umat Islam disunahkan untuk pergi ke masjid atau ke tanah lapang untuk melaksanakan Idul Adha. Akan tetapi, dalam situasi pandemi Covid-19 di wilayah dengan bahaya penularan yang tinggi, pola pelaksanaan dapat dialihkan ke rumah atau tempat terbatas.
“Setiap orang wajib melakukan ikhtiar menjaga kesehatan dan menjauhi setiap hal yang dapat menyebabkan potensi paparan penyakit karena hal itu merupakan bagian dari menjaga tujuan pokok beragama (al-Dharuriyat al-Khams). Terlebih lagi, tiap-tiap orang wajib menjaga dan mengisolasi diri agar tidak terjadi penularan bagi orang lain," paparnya.
Masyarakat diminta untuk dapat memandang pelaksanaan salat Idul Adha dan penyembelihan hewan kurban ini dari kondisi faktual di lapangan. Level asesmen daerah yang diberikan pemerintah semestinya dapat dijadikan untuk skala prioritas penerapan kebijakan.
Penerapan PPKM Darurat dan aturan yang mengikat masyarkat di dalamnya, tidak dimaknai sebagai upaya menghalangi pelaksanaan ibadah Iduladha dan ibadah keseharian di tengah masyarakat. Sebaliknya, ini adalah langkah pencegahan agar mata rantai penyebaran Covid-19 terputus.
Pemerintah tengah menggalakan upaya 3T (testing, tracing, dan treatment) di samping vaksinasi Covid-19. Sementara itu, masyarakat dapat berupaya dengan penerapan 5M, yaitu memakai masker dengan benar, menjaga jarak, menghindari kerumunan, mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, juga membatasi mobilitas.
Editor: Iswara N Raditya