Menuju konten utama
Direktur CITA:

Ide Prabowo Naikkan Tax Ratio untuk Gaji ASN Sulit Terwujud

Saat debat Pilpres 2019, Prabowo punya ide menaikkan gaji PNS dengan memperbesar tax ratio. Tapi pengamat menilai, ide itu sulit terwujud.

Ide Prabowo Naikkan Tax Ratio untuk Gaji ASN Sulit Terwujud
Pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto (kiri) dan Sandiaga Uno mengikuti debat pertama Pilpres 2019, di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (17/1/2019). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Pada debat pertama Pilpres 2019 di Hotel Bidakara Jakarta, Kamis (17/1/2019) malam kemarin, Prabowo Subianto menyatakan akan menaikkan gaji pegawai negeri sipil (PNS) dengan tax ratio.

Pernyataan Prabowo itu disampaikan saat menjawab pertanyaan panelis soal cara mewujudkan birokrasi yang bebas dari korupsi.

"Berkali-kali saya sampaikan di ruang publik. Akar masalahnya adalah bahwa penghasilan para pegawai negeri, para birokrat-birokrat itu kurang. Tidak realistis. Kalau saya memimpin pemerintahan, saya akan perbaiki kualitas hidup semua birokrat dengan realistis. Kemudian bertanya, uangnya dari mana? Saya akan tingkatkan tax ratio yang sekarang berada di 10 persen, bahkan lebih rendah," ungkap Prabowo.

Namun menurut Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo, ide Prabowo itu sulit terwujud. Alasannya, tax ratio senilai 16 persen memerlukan peningkatan pendapatan negara hingga 48 persen dari 2014 atau setara Rp663 triliun dengan GDP 2018 senilai Rp14.745 triliun.

Padahal pada 2018, penerimaan negara baru meningkat 20 persen sejak 2014. Tepatnya senilai Rp1.664 T atau setara 11,6 persen tax ratio.

“(Penerimaan negara) naik 20 persen itu aja butuh 4 tahun dalam situasi ekonomi dan bisnis yang serba tidak pasti,” ucap Yustinus kepada reporter Tirto, Jumat (18/1).

Yustinus menilai rencana kenaikan gaji ASN yang diambil dari kenaikan tax ratio merupakan rencana jangka pendek yang berisiko. Sebabnya, dalam jangka waktu relatif singkat terdapat penarikan pajak dalam jumlah lebih banyak dari biasanya.

Ia memprediksi, sejumlah wajib pajak akan terdampak kebijakan tersebut. Namun, belum tentu menyasar mereka yang belum patuh membayar. Sebaliknya malah berpotensi tidak adil bagi wajib pajak.

Kendala lain, ia menilai langkah ini dapat mengganggu perekonomian. Saat jumlah pajak yang diserap pemerintah naik dengan sendirinya konsumsi dan daya beli masyarakat akan menurun.

Akibatnya, pertumbuhan ekonomi yang bergantung pada konsumsi masyarakat akan turut melambat. Dengan demikian, kenaikan pajak yang ditujukan untuk menggenjot pendapatan negara dalam waktu singkat menjadi bumerang bagi perekonomian.

“Ini bisa menyebabkan economic shortage. Pertumbuhan ekonomi bisa turun,” ucap Yustinus.

Sebaliknya, Yustinus mengingatkan bahwa tax ratio merupakan out put dari berapa banyak penerimaan negara yang dapat diperoleh. Penerimaan negara itu katanya tidak dapat dilepaskan bagi kepatuhan masyarakat.

Karena itu, peningkatan tax ratio lebih cocok dijadikan target jangka panjang dan sifatnya gradual. Penyebabnya, perlu waktu untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak sekaligus tidak mengagetkan dunia usaha dan masyarakat lantaran adanya kenaikan tarif.

Baca juga artikel terkait DEBAT CAPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Politik
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Agung DH