tirto.id - Pendiri WatchdoC Dandhy Dwi Laksono mengatakan rencana pemerintah mengandalkan sektor pariwisata sebagai penyumbang devisa sebenarnya bermasalah.
Hal itu ia ketahui dari cara pemerintah yang ingin menggenjot pariwisata dengan menciptakan 10 bali baru.
Menurutnya, proses membangun Bali seperti yang sekarang dimulai sejak 1926 dan dimulai dari wisata antropologi dalam skala kecil. Hal ini menjadi tidak masuk akal saat di berbagai wilayah itu, masyarakat telah membangun ekonominya sendiri seperti lewat pertanian.
Namun, di saat yang sama realisasi itu menuntut pembangunan infrastruktur dalam jumlah besar yang berujung pada perampasan lahan dan pengusiran masyarakat dari tempat tinggalnya.
“Istilah industrinya aja yang dipindahkan [dari ekstraktif ke pariwisata]. Tapi polanya sama. Tentara, beco, polisi dan politikus lalu perampasan lahan yang sama,” ucap Dandhy dalam diskusi bertajuk Wonderful Indonesia : Kerusakan dan Pelanggaran HAM di Sektor Pariwisata” di KeKini pada Sabtu (16/2/2019).
Sektor pariwisata digadang-gadang pemerintah sebagai penyumbang devisa terbesar bahkan diyakini mampu mengalahkan sumber lain dari ekspor komoditas seperti batu bara dan migas.
Hasil devisa sektor ini pada tahun 2018 saja mencapai 17 miliar dolar AS, hanya satu tingkat di bawah CPO.
Menurut Dandhy pencapaian pemerintah dengan nilai devisa itu patut diapresiasi. Hanya saja prosesnya tidak dapat dilakukan dalam tempo yang sesingkat 5 tahun masa kepemimpinan.
“Yang terjadi adalah mengulang kesalahan sawit dan batu bara pada pariwisata,” kata Dandhy.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Dipna Videlia Putsanra