tirto.id - Ketua Satgas Kelapa Sawit Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN), Erik Meijaard menyebut pemberitaan sejumlah media massa terkait kelapa sawit memuat kesalahpahaman tentang dampaknya terhadap lingkungan.
Ia juga menambahkan, proses pemberitaan dilakukan seolah-olah dengan emosional, sehingga mengabaikan sejumlah aspek lain yang perlu dipertimbangkan dalam memahami sawit.
IUCN, kata dia, ingin menyuguhkan pemahaman kelapa sawit yang lebih netral sekaligus ilmiah. Dalam pemaparannya, ia menjanjikan akan memaparkan data-datanya secara transparan.
“Saya pikir banyak perhatian media tidak berimbang dan emosional. Sebagai peneliti saya ingin meletakkan fakta yang sesungguhnya,” ucap Erik kepada wartawan usai konferensi pers penyerahan hasil studi IUCN kepada pemerintah Indonesia di Gedung Kemenko Perekonomian, Senin (4/2/2019).
Sebagai peneliti, Erik mengaku bingung dengan perhatian media yang cenderung negatif dan agresif terhadap kelapa sawit.
Ia juga mengklaim, meski kelapa sawit memiliki dampak negatif terhadap lingkungan, ada juga sejumlah orang Indonesia tetap memanfaatkannya.
Menurut dia, saat menghadapi klaim berbagai orang dan lembaga tentang sawit, tidak menutup kemungkinan fakta yang disajikan dibuat-buat baik dari yang mendukung maupun yang menentang. Karena itu, keberadaan studi yang dibuat lembaganya dianggap penting untuk menengahinya.
“Kelapa sawit hanya sebuah pohon. (Memang ada) orang-orang yang sangat menolaknya, tapi yang kami lakukan menunjukkan fakta yang ilmiah. Kami ingin mengajak diskusi dari itu dibanding berdebat emosional,” ucap Erik yang juga merupakan peneliti yang telah bekerja di Indonesia selama 25 tahun di bidang konservasi alam.
Menanggapi hal itu, Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Revolusi Riza mengatakan, sengketa pemberitaan dapat disampaikan langsung kepada media yang bersangkutan sesuai mekanisme hak jawab. Kalau pun tidak mendapat jawaban, langkah ini dapat dilanjutkan dengan mengadu ke Dewan Pers.
Menurut Riza, Dewan Pers merupakan lembaga resmi yang nantinya akan memutuskan suatu media sudah cukup berimbang atau sebaliknya.
“Nanti Dewan Pers yang memutuskan apakah media tersebut memang tidak berimbang atau hanya subjektivitas pelapor,” ucap Riza.
Namun, Riza juga menduga bila keberatan pelapor juga mungkin terkesan subjektif, sehingga menimbulkan kesan tak berimbang, meski media yang bersangkutan sudah berupaya untuk menjalankan kode etik jurnalistik agar berita berimbang.
“Jangan-jangan memang sudah berimbang tapi yang bersangkutan tetap saja merasa keberatan,” ucap Riza.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Zakki Amali