tirto.id - Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz menyebut hak angket DPR untuk penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah premanisme politik. Tindakan premanisme ini merupakan intimidasi terhadap penyidik KPK agar mau membuka rekaman pemeriksaan Miryam S Haryani, tersangka kasus kesaksian palsu.
Dalam diskusi bertajuk “Pelaporan Fahri Hamzah ke KPK”, Donal menilai bahwa hak angket tersebut sebagai pintu masuk DPR untuk memperlemah KPK menangani korupsi.
"Ini bentuk yang jelas dari premanisme politik oleh orang-orang yang membidik oleh KPK. Dilakukan dengan sistematis. Padahal hanya segelintir orang yang mendukung hak angket ini," kata Donal di Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu, (3/5/2017).
Menurut Donal, sikap Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang mengetuk palu tanda persetujuan DPR terhadap hak angket KPK sebagai indikasi perlindungan terhadap anggota DPR periode 2009-2014 yang menerima dan menikmati aliran dana korupsi e-KTP.
Apalagi, kata Donal, hak angket DPR lahir dari dugaan keterlibatan rekan sejawatnya Ketua DPR Setya Novanto yang diduga kuat menerima aliran dana sebesar Rp 574 miliar dari kebocoran anggaran Rp 2,3 triliun.
"Kalau premanisme fisik itu dialami penyidik KPK Novel Baswedan. Sedangkan yang saat ini berlangsung ada premanisme politik dengan hak angket," kata Donal Fariz.
Hal lain yang membuat Donal kembali mempertanyakan kapasitas Fahri Hamzah sebagai pimpinan DPR yang diketahui pada 2016 lalu sudah dipecat secara tidak hormat oleh PKS. Pemecatan itu, kata Donal, bisa diartikan bahwa PKS tegas tidak mengakui Fahri sebagai salah satu kadernya.
"Fahri tidak diakui PKS. Sementara di Dapilnya di NTB akan cabut mandat mengatakan bahwa Fahri tak lagi bisa mewakili konstituennya di Provinsi tersebut sebagai Kader PKS. Jelas itu tidak bisa melegitimasi," tutur Donal.
Ia menilai saat sidang paripurna DPR Jumat, (28/04/2017) Fahri sebagai pimpinan sidang paripurna begitu bersemangat mendorong hak angket DPR. Terlebih sebagai pimpinan sidang Fahri sampai bisa mengetuk palu tanpa mendengar aspirasi peserta sidang paripurna.
"Fahri mengatakan akan memperjuangkan nasib anggota DPR. Tapi siapa yang diperjuangkan Fahri Hamzah? Kepentingan apa yang diperjuangkan bersangkutan," ucap Donal.
Melihat geliat intervensi yang bertubi-tubi dilakukan Fahri dan dua pimpinan DPR lain seperti Fadli Zon dan Setya Novanto, maka ICW beserta lima penggiat anti korupsi, seperti Formappi, Pukat UGM, Perludem, PUSaKO Unand dan Kopel berniat memperkarakan Fahri Hamzah ke lembaga anti rasuah.
Pelaporan Fahri oleh lembaga sipil anti hak angket kepada KPK lantaran adanya Obstruction Of Justice dengan melanggar Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi Nomor 31/1999 juncto Pasal 20 tahun 2001 terkait dengan penghalangan prosedur peradilan.
"Hal yang paling penting adalah upaya Fahri melakukan obstruction of justice. Upaya pengahalangan proses peradilan dan pengungkapan kebenaran," kata Donal.
Namun saat disinggung apakah nantinya sikap Fahri Hamzah akan dilaporkan kepada Mahkamah Dewan Kehormatan (MKD), Donal justru tak ingin melakukan.
"Dilaporkan ke MKD tidak lah. Karena MKD menurut saya justru bagian dalam dagelan politik DPR. Ini sudah kebablasan, Jadi sulit mempercayakan MKD bekerja secara objektif dagelan politik seperti ini," tutup Fariz.
Sebelumnya, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang berlangsung pada Rabu (19/4/2017) lalu, sejumlah fraksi di DPR, seperti PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat, PPP, dan Nasdem telah menyetujui penggunaan hak angket tersebut. Sementara PAN, PKS, dan Hanura menyatakan mendukung dengan catatan akan berkonsultasi dengan pimpinan fraksinya, sedangkan PKB abstain karena wakilnya tidak hadir saat rapat.
Belakangan diberitakan Partai Gerindra, Demokrat, PKS, dan PKB ramai-ramai meminta anggota-anggotanya di DPR untuk menolak hak angket tersebut. Hal ini diperintahkan langsung oleh pimpinan partai masing-masing, seperti pimpinan Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pimpinan Gerindra Prabowo Subianto, dan Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini.
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Alexander Haryanto