tirto.id - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyorot perihal sistem pemilu proporsional tertutup. Ada empat hal yang ditekankan oleh organisasi sipil itu. Pertama, sistem tersebut menjauhkan partisipasi masyarakat dalam menentukan calon wakilnya di lembaga legislatif.
"Penentuan calon anggota legislatif yang akan terpilih bukan berada pada masyarakat, melainkan di internal partai politik," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana, dalam keterangan tertulis, Selasa, 24 Januari 2023.
Kedua, proporsional tertutup sama sekali tidak menghapus tren politik uang, melainkan hanya memindahkan dari calon kepada masyarakat menjadi calon kepada partai politik. Sebab, kandidat terpilih bergantung pada nomor urut calon anggota legislatif yang ditentukan sepenuhnya oleh partai politik.
Tiga, proporsional tertutup membuka ruang terjadinya nepotisme di internal partai politik. Bukan tidak mungkin calon-calon yang memiliki relasi dengan struktural partai dapat dimudahkan untuk mendapatkan nomor urut tertentu.
Empat, sistem proporsional tertutup berpotensi menghilangkan relasi dan tanggung jawab anggota legislatif kepada rakyat.
Kurnia menyatakan penentuan akhir keterpilihan calon berada di bawah kekuasaan partai dan oleh karenanya anggota legislatif terpilih hanya akan bertanggung jawab kepada partai politik.
ICW juga menyorot komentar Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asyari, pada Desember 2022, ihwal proses uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dengan mengatakan bahwa kemungkinan pemilu mendatang akan digelar menggunakan mekanisme proporsional tertutup.
Medio Oktober 2022, Hasyim pun pernah menyatakan dukungan terhadap sistem proporsional tertutup dengan alasan desain surat suara. Padahal KPU sebagai lembaga memiliki mandat menjalankan perintah undang-undangan, bukan justru melontarkan pendapat yang melenceng dari mandat UU Pemilu.
"Pernyataan Hasyim patut diduga melanggar kode etik dalam Pasal 8 huruf c Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017. Aturan itu menyebutkan bahwa dalam melaksanakan prinsip mandiri, penyelenggara pemilu dilarang mengeluarkan pendapat atau pernyataan yang bersifat partisan atas masalah atau isu yang sedang terjadi dalam proses pemilu," terang Kurnia.
Maka atas dasar itu, penjatuhan sanksi merupakan pilihan yang tepat dan rasional diberikan kepada pemimpin KPU. Lantas Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia bersama delapan ketua fraksi di DPR kembali membuat pernyataan bersama menolak sistem pemilu proporsional tertutup.
Pertemuan ini merupakan kedua kalinya setelah dilakukan pernyataan bersama pada 8 Januari 2023. "Komisi 3 sudah rapat dan 8 fraksi sudah setuju akan mewakili itu kepada pemilik suara mayoritas yaitu, Supriansa dari Partai Golkar, untuk memberi penjelasan bahwa sikap DPR tetap menerapkan sistem proporsional terbuka," kata Doli, 11 Januari.
Dia menilai bahwa revisi UU Pemilu sangat membahayakan karena saat ini partai politik sudah memegang nomor urut dan permainan sudah akan dimulai. Doli khawatir partai politik dan penyelenggara pemilu tidak bisa bersiap menghadapi aturan sistem pemilu tertutup bila itu disahkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Fahreza Rizky