tirto.id - Direktur Eksekutif Institute Criminal anf Justice Reform (ICJR) Anggara menegaskan, koalisi reformasi KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) menolak upaya pemerintah dan DPR untuk mereformasi KUHP lewat Revisi KUHP secara total.
Anggara beranggapan, reformasi total masih mempunyai potensi konflik dalam penerapan pidana.
"Sejak dari awal ICJR dan teman-teman aliansi itu rekomendasi sebenarnya kalau bisa amandemen bertahap bukan perubahan total terhadap KUHP yang ada sekarang. Polemik tentu ada terutama soal pembahasan tipikor karena ada perbedaan prinsip yang dipakai sampai ada perbedaan ancaman pidana," kata Anggara saat memberikan sambutan di daerah Senayan, Jakarta, Senin (24/6/2019).
Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia Siska Trisia pun memaparkan sejumlah temuannya dalam penelaahan RKUHP dan berkesimpulan ada sejumlah permasalahan dalam perumusan pasal dan ketentuan pidana.
"Masih terdapat banyak permasalahan mengenai pengaturan tipikor itu sendiri baik dari segi rumusan pasal hingga ketentuan peralihan yang kurang menjawab permasalahan yang ada," kata Siska dalam memaparkan temuan penelaahan RKUHP dari tim aliansi reformasi KUHP di Senayan, Jakarta, Senin (24/6/2019).
Siska memandang, permasalahan RKUHP yang ada perlu penjelasan lebih lanjut untuk core crime (pidana utama) dalam pemberantasan korupsi.
Sebab, penentuan pidana utama di RKUHP dapat berdampak dalam pasal-pasal di Undang-Undang 31/1999 sebagaimana diubah 20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi (UU Tipikor). Apalagi, RKUHP berusaha mengakomodir United Nation Convention for Anti Corruption (UNCAC) lewat UU No 7 tahun 2006.
Dalam temuan ICJR dan MaPPI, perlu ada penjelasan 5 poin. Pertama, RKUHP masih belum bisa menyelesaikan tumpang tindih dalam UU Tipikor seperti pasal 12 huruf a dan b dan pasal 5 ayat 1 a dan b, yakni bentuk perbuatan yang sama tetapi besaran pidana berbeda.
Kemudian, ada definisi yang belum diatur secara spesifik seperti pasal 695 RKUHP tentang makna frasa ketentuan penyuapan pejabat publik asing dan penyuapan pejabat organisasi publik di internasional.
Selain itu, ada tumpang tindih makna pasal penggelapan dalam UU Tipikor dan pasal 688 RKUHP. Karenanya, perlu ada penjelasan agar tidak ada benturan. Hal yang sama juga terjadi pasal 21-24 UU Tipikor dengan RKUHP.
Pasal tersebut dikategorikan sebagai contempt of court dan perlu ada pengaturan lebih komprehensif tentang aturan pencucian uang sebab pasal 697-699 yang mengatur soal pencucian uang.
Selain itu, MaPPI juga meminta pemerintah memperjelas soal perdagangan pengaruh dalam pasal 694 RKUHP.
Pihaknya menyoal isi yang mirip dengan tindakan suap pejabat publik nasional yang berusaha mengakomodir pasal 18 UNCAC.
Siska memandang, perlu ada Pengaturan delik yang lebih memperjelas tentang peningkatan pendapatan secara signifikan dari masing-masing pejabat publik dan bagaimana memastikan pendapatan tersebut adalah sah untuk menjerat seseorang yang menjual pengaruh (illicit enrichment).
Ia mencontohkan perlu LHKPN atau laporan keuangan sebagai acuan, serta perlu ada aturan spesifik tentang uang pengganti sebab RKUHP tidak mengatur seperti di UU Tipikor pasal 18.
Kemudian, perlu ada pengaturan serius dalam penyuapan di sektor swasta maupun pertanggungjawaban korporasi. Dalam penyuapan di sektor swasta, sebelum adanya pasal 696 RKUHP, perlu kajian lebih dalam mengenai batasan dan urgensi dikriminalisasinya suatu perbuatan penyuapan di sektor swasta.
Sebab, lanjutnya, UU Suap yang pernah ada tentang aturan ini menyatakan, hanya penyuapan yang menyangkut kepentingan umum sajalah yang dapat diproses secara pidana.
Sementara itu, dari sisi pertanggungjawaban Korporasi, pasal 52-57 RKUHP masih perlu penjelasan lebih lanjut. Sebagai contoh, Pasal 52 RKUHP menyatakan penegasan eksistensi korporasi sebagai subjek hukum yang memiliki hak dan tanggung jawab dalam lintasan hukum pidana, dan cakupan jenis perusahan yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Namun, apabila terpidana adalah BUMN/BUMD yang masih dalam rezim keuangan negara, maka logika pihak yang mengembalikan kerugian negara adalah negara sendiri. Definisi tersebut perlu diperjelas dalam pertanggungjawaban korporasi.
Terakhir adalah permasalahan pencucian uang. Dalam RKUHP pada Bab XXXVIII Tindak Pidana Khusus, Bagian Keempat mengenai TPPU, pasal 697-699 memuat isi sesuai UU TPPU tanpa melakukan perubahan. Akan tetapi, bukan keseluruhan delik melainkan yang bersifat “core crime” saja.
Menurut Siska, ada masalah muncul karena rumusan Pasal RKUHP tidak tegas mengatur jenis tindak pidana asal (predicate crime) sebagaimana diatur pasal 2 UU TPPU. Lalu, pasal 144 ayat 1 huruf b RKUHP mengatur, salah satu sebab gugurnya hak penuntutan adalah karena terdakwa meninggal dunia.
Padahal, dalam pasal 79 TPPU sekarang walaupun terdakwa meninggal dunia, perkara tetap bisa dilanjutkan dengan mekanisme penuntutan atas harta kekayaan yang patut diduga berasal dari tindak pidana.
Dari permasalahan-permasalahan tersebut, Siska mengatakan, tim peneliti merekomendasikan agar ada penyesuaian antara RKUHP dan UU Tipikor. Ia pun memandang perlu ada perbaikan dalam aturan yang ditemukan bermasalah. Selain itu, pemerintah juga harus membuat RKUHP mengakomodir UNCAC secara tepat.
"Sudah seharusnya aturan yang dibuat di Indonesia sekarang dan ke depan RKUHP disesuaikan dengan UNCAC mengingat Indonesia sudah meratifikasinya dan itu sebagai bentuk komitmen dari pemerintah Indonesia untuk pemberantasan korupsi di dalam tataran internasional," pungkasnya.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno