Menuju konten utama

Ibnu Parna Menghimpun Angkatan Komunis Muda

Kelompok kiri yang berseberangan dengan PKI bikin kelompok sendiri. Salah satunya Ibnu Parna yang mendirikan Angkatan Komunis Muda (A.Koma).

Ibnu Parna Menghimpun Angkatan Komunis Muda
Ibnu Parna angkatan komunis muda

tirto.id - Selain Partai Komunis Indonesia (PKI), di Indonesia pernah ada Angkatan Komunis Moeda (A.Koma). Partai ini tak sebesar PKI yang berhasil nangkring di urutan ke-4 pada Pemilu 1955. Pendiri dan pemimpin partai ini adalah Ibnu Parna.

A.Koma hanya mendapat 64.514 suara (0,17 persen) pada Pemilu 1955 dan hanya sanggup menempatkan satu wakilnya di parlemen yang tidak lain adalah Ibnu Parna sendiri. Menurut buku Hasil Rakjat Memilih Tokoh-tokoh Parlemen: Hasil Pemilihan Umum Pertama, 1955 di Republik Indonesia (1956), Ibnu Parna “dilahirkan pada tanggal 26 September 1920 di Surabaya”. Pendidikan terakhirnya setingkat SMP kolonial untuk anak petinggi pribumi, Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO).

Baca juga:Sekolah-sekolah di Zaman Hindia Belanda

Menurut Ben Anderson dalam Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 (1989), Ibnu Parna adalah adik dari Krissubanu, salah satu pendiri Pemuda Republik Indonesia. Kakek mereka, Tumenggung Pusponegoro adalah orang pertama yang membangun masjid di Gresik, Jawa Timur. Menurut buku Wawancara dengan Sayuti Melik (1986) yang disusun Arief Priyadi, pada zaman penjajahan Belanda, Ibnu Parna pernah mendirikan organisasi bawah tanah juga.

Pemuda Kiri yang Militan

Jelang proklamasi kemerdekaan Indonesia, Parna berada di Jakarta. Di kota itulah dia bertemu Soekarni. Seperti terungkap dalam Sukarni Dalam Kenangan Teman-temannya (1986) yang dicatat Sumono Mustoffa, bulan-bulan sebelum Jepang menyerah di tahun 1945, mereka berbincang soal apa yang akan terjadi setelah Jepang kalah.

“Siapa kiranya yang patut kita jadikan presiden dan wakil presiden dalam negara Republik yang hendak kita bangun nanti?” tanya Soekarni kala itu.

Ibnu Parna sosok yang terkenal konyol itu menjawab: “Bung Karni presiden dan Ibnu Parna wakil presiden?” Soekarni menganggap usulan itu gila.

Mereka teringat kekosongan kekuasaan tahun 1942 jelang masukanya Jepang dan kekalahan Belanda. Mereka berdua berpikir keras siapa orang berpengaruh yang cocok memimpin Indonesia, setidaknya yang akan membacakan proklamasi.

Baca juga: Cara Belanda Merespons Proklamasi 1945

Setelah pusing dengan masalah yang tidak ringan itu, Ibnu Parna mengajukan pilihan yang belakangan menjadi kenyataan, “Bagaimana kalau kita usulkan Sukarno-Hatta saja?”

Soekarni pun bertanya pada Parna apa alasannya. Ibnu Parna menjelaskan, “Mereka masih berpengaruh, sekalipun mereka tampaknya lebih banyak sebagai 'tawanan Jepang' daripada tokoh yang berdaulat. Pada saatnya nanti kewajiban kita ialah merebut Sukarno-Hatta dari tangan Jepang, agar Jepang tidak berkesempatan menyerahkan Sukarno-Hatta sebagai inventaris kepada Sekutu.”

Sebulan setelah obrolan itu, mereka bertemu lagi di rumah Soekarni di Jalan Padang, Jakarta, sekitar awal Agustus 1945. Mereka lalu berbagi tugas.

“Serahkan Jakarta kepada saya. Masalah Sukarno-Hatta menjadi tanggungjawab saya. Malam ini selambat-lambatnya besok pagi kau sudah harus meninggalkan Jakarta. Kau harus mengambil posisi di daerah. Rebutlah basis di daerah. Itu yang perlu, itu yang pokok,” kata Soekarni pada Parna.

Baca juga: Tiada Proklamasi Indonesia tanpa Wikana

Malam itu juga, dengan uang seadanya dari Soekarni yang hanya cukup buat naik becak ke Stasiun Senen dan makan, Ibnu Parna memulai aksinya.

“Saya keluarkan dari dalam saku wadah kaca mata yang berisi beberapa cincin yang bermata batu murah gosokan Garut dan Karawang. Malam itu saya beroperasi mencari pembeli. Untung ada yang laku,” aku Ibnu Parna dalam suratnya kepada Soekarni.

“Dengan uang itu saya menepati janji meninggalkan Jakarta, menjalankan misi sejarah, merebut basis di daerah. Dengan mampir dan berhenti di beberapa tempat secara beranting, akhirnya saya tiba di Semarang.” Dia tetap berada di sana hingga Proklamasi dibacakan, setelah Soekarni dan kawan-kawan pemuda lainnya di Jakarta bergerak.

Baca juga: Pemuda Kiri Mendesak Proklamasi

Kian Militan di Zaman Revolusi

Sejak 14 September 1945, suasana Semarang panas. Para pemuda di bawah komando Ibnu Parna dan S. Karno mulai mengibarkan bendera Merah-Putih di gedung-gedung pemerintahan. Ribuan pemuda terkumpul dan siap mengobarkan revolusi. Belakangan, Ibnu Parna menjadi ketua Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) Semarang; sementara abangnya, Krissubanu, menjadi Ketua Pemuda Republik Indonesia (PRI) Surabaya.

“AMRI (akan) berperan besar dalam peristiwa Pertempuran Lima Hari, antara pemuda Semarang dengan pasukan Jepang (15-19 Oktober 1945),” tulis Norman Joshua Soelias dalam Pesindo: Pemuda Sosialis Indonesia 1945-1950 (2016).

Organisasi-organisasi pemuda itu terhimpun ke dalam Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Pada 1946, Parna menjadi wakil Pesindo di Persatuan Perjuangan (PP)—yang di dalamnya ada Tan Malaka dan Jenderal Soedirman.

Baca juga:

Ibnu Parna dianggap dekat dengan Tan Malaka. Menurut Ben Anderson, Pesindo kemudian menarik Ibnu Parna dari PP sekitar 6 Maret 1946. Menurut Norman Joshua, Parna kemudian dipecat. Setelahnya, Ibnu Parna dan beberapa pengikutnya mendirikan Angkatan Komunis Muda (A.Koma).

Harry Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 2: Maret 1946 – Maret 1947 (2008) menyebut A.Koma sebagai “pecahan Pesindo yang didominasi Ibnu Parna.” Ada pertikaian antara Ibnu Parna dengan kawan-kawan lamanya di PKI. “

A.Koma didirikan secara rahasia dalam bulan Juni 1946. Tetapi sesudah bulan Juli 1946, A.Koma terpaksa menjadi setengah legal dan setengah ilegal. A.Koma juga sudah mempersiapkan diri untuk itu, dan bagi anggota-anggota baru yang militan ilegalitas ini memperlihatkan daya tariknya.

Baca juga: Parade Paramiliter dalam Sejarah Indonesia

infografik akoma

Menurut Poeze di buku lainnya, Madiun 1948: PKI Bergerak (2011), A.Koma menjadi pendukung pemerintah Republik di masa Revolusi bersama kelompok Murba Tan Malaka setelah 1946. Menurut Sayuti Melik, “A.Koma itu adalah semacam gerakan komunis juga yang pernah berdiri di Indonesia tetapi tidak seiring dan sejalan dengan PKI bawah tanah yang di bawah Mr. Amir Syarifuddin.”

Akoma aktif sebagai partai politik di tahun 1950-an dan menjadi peserta Pemilu 1955. Partai ini bermarkas di Jalan Kasin Kulon No. 26, Malang. Di tahun-tahun tersebut, Ibnu Parna menulis Pengantar Oposisi Rakyat yang diterbitkan atas nama A.Koma pada 1954.

Baca juga: Nasib Suram Partai Gurem dalam Sejarah Indonesia

Dalam tulisan itu, Parna yang masih keturunan priyayi menyinggung masalah kasta dan feodalisme. Dia melihat di masa lalu ketika Islam masuk dan mengganggu kaum feodal Hindu. Rakyat jelata—yang selalu paling direndahkan dalam masyarakat—ditarik masuk sebagai bagian kaum pedagang Islam dan feodal Hindu.

Partai A.Koma tak ada lagi riwayatnya setelah 1965. Meski berseberangan dengan PKI, mereka tetap saja dicap komunis berbahaya oleh Orde Baru. Menurut Robert Jackson Alexander dalam International Trotskyism, 1929-1985: A Documented Analysis of the Movement (1991),Ibnu Parna “ditangkap dalam kudeta Soeharto tahun 1965 dan dibunuh.”

Sementara menurut buku Soekarni, Ibnu Parna berkirim surat padanya setelah tidak bisa hadir dalam acara silaturahim eksponen ’45 di Menteng Raya 31 pada 21 Agustus 1969. Barangkali demi keselamatannya, dia dianggap mati pada 1965.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan