Menuju konten utama

Ibn 'Arabi Sang Muhyiddin dari Murcia

Ibn ‘Arabi dikenal sebagai penulis produktif dengan tingkat kompleksitas karya sangat tinggi.

Ibn 'Arabi Sang Muhyiddin dari Murcia
Header Kronik Ramadan Ibn Arabi

tirto.id - Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Abdillah al-Hatimi at-Ta’i, atau yang sering dikenal dengan sebutan Asy-Syaykh al-Akbar Muhyiddin Ibn al-‘Arabi ra. lahir di Murcia, Andalusia (Spanyol kini) pada malam Senin, tanggal 17 Ramadan 560 Hijriah/1165 Masehi. Ibn ‘Arabi adalah keturunan Hatim at-Ta’i (w. 578 M.), seorang penyair dari Bani Tayy yang tersohor karena kedermawanan dan kekesatriannya.

Menurut Muhammad Yunus Masrukhin dalam karyanya, Biografi Ibn ‘Arabi (2015), bani Tayy adalah suku asli Yaman yang bermigrasi ke pegunungan Arab sebelah utara, lalu berkembang menjadi salah satu suku terbesar di jazirah Arab. Kemudian pada awal penaklukan Islam, sebagian dari mereka bermigrasi ke Andalusia.

Ayah Ibn ‘Arabi adalah seorang pegawai pemerintah yang membantu Muhammad bin Sa’d bin Mardanisy, penguasa Murcia kala itu. Keluarga Ibn ‘Arabi memiliki kedudukan sosial yang tinggi, karena paman dari pihak ibunya adalah seorang penguasa di Tlemcen, Algeria, dan Ibn ‘Arabi memiliki hubungan baik dengan beberapa raja setempat hingga akhir hayatnya.

Tatkala dinasti Almohad menguasai Murcia (567/1173), keluarga Ibn ‘Arabi pindah ke Sevilla, tempat ayahnya kembali menjadi pembantu pemerintah. Ibn ‘Arabi sempat diangkat sebagai sekretaris oleh seorang gubernur (Masrukhin, 2015: 9).

Pada 590/1193, pada usia tiga puluh tahun, Ibn ‘Arabi meninggalkan Andalusia untuk pertama kalinya dan pergi ke Tunisia. Tujuh tahun setelahnya, sebuah visi menginstruksikan untuk pergi ke timur. Dia pergi haji ke Mekkah pada 599/1202, dan dari sana mengadakan perjalanan ke daerah-daerah pusat Islam. Ia menetap beberapa waktu lamanya di Mesir, Irak, Suriah, dan Rum (Turki saat ini), tetapi tidak pernah pergi ke Iran. Tahun 620/1223, dia menetap di Damaskus beserta beberapa orang muridnya hingga akhir hayatnya pada 638/1240 (Masrukhin, 2015: 10).

Dalam tradisi kesufian, Ibn ‘Arabi masyhur dengan julukan Muhyiddin (orang yang menghidupkan–ajaran agama) dan asy-Syaikh al-Akbar (Mahaguru). Terlepas dari kontroversi yang muncul di kalangan intelektual eksoteris, seperti ahli fikih maupun hadis yang sering kali mengaburkan kejernihan pandangan sufistiknya, dua julukan itu menegaskan warisannya di kancah sufisme yang mencerminkan figur tertinggi dalam puncak spiritualitas manusia. Legasi semacam ini tentu tidak serta merta hadir begitu saja, melainkan punya dimensi historis dan memiliki fase-fase (maqamat) tersendiri yang telah dilalui dalam kehidupan spiritual Ibn ‘Arabi.

Karya dan Ajarannya

Syaikh Ibn ‘Arabi menghabiskan masa hidupnya dengan belajar, menulis, dan mengajar. Di saat yang sama, dia juga bertungkus lumus dalam kehidupan sosial dan politik di masyarakat. Ibn ‘Arabi memiliki hubungan baik dengan sekurang-kurangnya tiga raja setempat, yang salah satu di antaranya menguasai dengan baik karya-karyanya.

Dalam sebuah dokumen bertarikh 632/1234, ijazah li al-Malik al-Muzaffar, Ibn ‘Arabi memberi izin kepada Ayyubbid Muzaffaruddin Musa, yang berkuasa di Damaskus antara 627/1229-30 hingga 635/1238, untuk mengajarkan seluruh karyanya yang menurut Ibn ‘Arabi sendiri berjumlah 290 karya. Dalam dokumen yang sama, sang syeikh menyebutkan nama 90 orang guru ilmu-ilmu agama yang dia pernah belajar kepada mereka.

Figur Ibn ‘Arabi dikenal sangat produktif dengan tingkat kompleksitas karya sangat tinggi, yang turut menegaskannya sebagai salah satu penulis Muslim paling rumit dan sulit dipahami. Tidak terdapat keterangan tegas berapa jumlah karya-karyanya secara pasti. Namun pelbagai karyanya, mulai dari teks berjilid-jilid seperti al-Futuhat al-Makiyyah, hingga risalah-risalah kecil, turut mewarnai lokus intelektual peradaban dan kebudayaan Islam. Karya-karya itu ditulis oleh Ibn ‘Arabi selama pengembaraan spiritualnya ke berbagai belahan dunia, dari Barat hingga Timur.

Salah satu kekhasan tulisan-tulisan Ibn ‘Arabi adalah tema-tema yang senantiasa bertautan dengan tasawuf atau ilmu esoteris (‘ulum al-asrar). Tanpa menanggalkan kerangka normatif-doktrinalnya sebagai sebagai muslim saleh, pelbagai disiplin keilmuan Islam, seperti tafsir, fikih, hingga Hadis, selalu dipahami dan diinterpretasikan dalam perspektif esoterisme tasawuf.

Infografik Kronik Ramadan Ibn Arabi

Menurut Fahmy Farid Purnama dalam bukunya, Ontosofi Ibn ‘Arabi (2018), banyak peneliti menganggap Fusus al-Hikam dan al-Futuhat al-Makiyyah sebagai karya terpenting Ibn ‘Arabi. Kedua karya itu memuat banyak detail ajaran tasawuf Ibn ‘Arabi. Kitab al-Futuhat al-Makkiyah merupakan karya paling ensiklopedik Ibn ‘Arabi. Pelbagai detail ajaran‘Arabi, baik terkait ketuhanan, kenabian, metafisika, dan pelbagai detail lainnya, diuraikan secara rinci. Sedangkan Fusus al-Hikam yang banyak diasumsikan ditulis di bawah yudikasi langsung Nabi Muhammad SAW, merepresentasikan intisari dan puncak kematangan sufisme Ibn ‘Arabi yang diuraikan secara lebih padat dan ringkas.

Karya-karya Ibn ‘Arabi telah menjadi sumber inspirasi kesadaran spiritualitas banyak tokoh sufi, baik dari kalangan Arab, Persia, Asia, bahkan Eropa. Tokoh-tokoh sufistik yang terpengaruh ajaran Ibn ‘Arabi adalah Jalaluddin ar-Rumi, al-‘Iraqi, al-Jami’, al-Jili, Shabastari, dan al-Qasyani. Tidak hanya mempengaruhi tradisi mistisisme Islam, Ibn ‘Arabi juga banyak menginspirasi filsuf Kristen dan mistikus Eropa Abad Pertengahan, seperti tercerap dalam pemikiran perenial Raymond Lully dan novel Divine Comedy karya Dante Alighieri (Purnama, 2018: 136-7).

Kehadiran Ibn ‘Arabi–seolah–menjadi ‘provokasi’ di ruang sawala wacana keislaman eksoteris normatif, khususnya DI kalangan fuqaha’ ortodoks. Sering kali uraiannya terkait dengan al-Haqq yang dipadatkan oleh banyak penafsirnya ke dalam istilah Wahdat al-Wujud, memicu polemik tersendiri.

Tak jarang Wahdat al-Wujud banyak diasosiasikan secara sempit dengan ajaran ittahad, hulul, panteisme, monisme eksistensial, panenteisme, ataupun istilah filsafat murni lainnya, yang justru malah mengaburkan spirit monoteistik (tauhid) Islam yang sangat kental dalam pelbagai karya Ibn ‘Arabi. Tak ayal, ketidaksepahaman terhadap ajaran Ibn ‘Arabi itu sering menjurus pada tuduhan-tuduhan zindik dan kafir.

Ibn ‘Arabi wafat pada 22 Rabi’ as-Sani 638 H di Damaskus. Menurut Claude Addas dalam biografinya, Mencari Belerang Merah: Kisah Hidup Ibn ‘Arabi (2004), tidak ada penjelasan yang jernih mengenai peristiwa yang terjadi pada hari kematiannya. Terdapat sebuah legenda yang berkembang secara turun-temurun di Damaskus, bahwa syahdan Ibn ‘Arabi meninggal dunia karena dibunuh oleh fuqaha’ ortodoks yang sangat menentang ajaran-ajarannya. Akan tetapi, tidak satu pun pencatat biografi Ibn ‘Arabi membenarkan legenda ini (Addas, 2004: 287).

Legenda lainnya menyebutkan bahwa di hari Ibn ‘Arabi wafat, seluruh kota Damaskus, mulai dari sultan, wazir, pangeran, bahkan kalangan fuqaha’, mengikuti prosesi pemakaman, serta tidak melakukan kegiatan ekonomi selama tiga hari sebagai simbol berkabung. Hanya saja, legenda ini juga tidak bisa dibenarkan, mengingat Abu Syamah, salah satu pencatat biografi Ibn ‘Arabi paling tepercaya yang menghadiri langsung prosesi pemakamannya, tidak menyinggung peristiwa ini sama sekali. Dia hanya menulis bahwa Ibn ‘Arabi dikebumikan dengan prosesi pemakaman yang laik dan baik-baik (Addas, 2004: 288).

================

Sepanjang Ramadan, redaksi menampilkan artikel-artikel tentang peristiwa dalam sejarah Islam dan dunia yang terjadi pada bulan suci kaum Muslim ini. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Kronik Ramadan". Kontributor kami, Muhammad Iqbal, sejarawan dan pengajar IAIN Palangka Raya, mengampu rubrik ini selama satu bulan penuh.

Baca juga artikel terkait RAMADAN atau tulisan lainnya dari Muhammad Iqbal

tirto.id - Humaniora
Penulis: Muhammad Iqbal
Editor: Nuran Wibisono