tirto.id - Usia yang tergolong senja, nampaknya tidak memengaruhi kinerjanya. Gaya bicara dan tutur katanya masih sangat tegas. Cara berpikirnya amat runut. Ia masih energik. Selalu energik. Semangatnya berbicara berbanding lurus dengan semangat memperjuangkan kebenaran dan keilmuan yang dikuasainya. Ia tidak pernah sungkan dan ewuh pakewuh untuk menyampaikan pendapat yang berbeda dengan siapapun.
Di usia yang hampir sama dengan usia kemerdekaan Republik ini, Huzaemah Tahido Yanggo masih terlihat memiliki gairah keilmuan yang bukan main segar. Wanita kelahiran Donggala, Sulawesi Tengah, 30 Desember 1946 ini adalah guru besar di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, sekaligus pakar fikih perbandingan mazhab.
Sebagai doktor jebolan Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, Huzaemah menjadi gilang gemintang kejora di antara sedikit intelektual perempuan di Indonesia. Huzaemah bahkan tercatat sebagai perempuan pertama—tahun 1981-- yang berhasil meraih gelar doktor dari Al-Azhar dengan predikat cumlaude pula.
Usai menggondol gelar doktor, Huzaemah bergegas mewarnai diskursus dan perdebatan hukum Islam di Indonesia. Pendapatnya sering dikutip, dikutip, dirujuk, bahkan dibuat dasar argumen oleh generasi-generasi setelahnya. Ini membuktikan bahwa Huzaemah bukan intelektual medioker, ia adalah intelektual papan atas di kalangan akademisi dan pemikir hukum Islam.
Dalam karier akademiknya, Huzaemah tercatat pernah memegang pelbagai jabatan bergengsi: Pembantu Dekan I di Fakultas Syariah dah Hukum, Universitas Islam Indonesia (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Direktur Program Pascasarjana Institut Ilmu al-Quran (IIQ) dan sekaligus Rektor Institut Ilmu Alquran 2014-2018. Ia juga menjadi anggota Komisi Fatwa MUI sejak tahun 1987, menjadi anggota Dewan Syariah Nasional MUI sejak 1997 dan sejak 2000.
Huzaemah juga tercatat aktif berkiprah di pelbagai macam organisasi, antara lain: Ketua Pengurus Besar Persatuan Wanita Islam al-Khairat di Palu, sejak 1996, Ketua Pusat Pembelajaran Wanita IAIN Jakarta pada tahun 1994 hingga 1998, anggota Pokja MENUPW tahun 1992 hingga 1996, dan A’wan pengurus Besar Nahdlatul Ulama 2015-2020.
Sebagai seorang pendidik, Huzaemah juga memiliki kepekaan batin dan naluri penuntun. Naluri ini mengantarkannya untuk membimbing dan memotivasi murid-muridnya untuk terus berjuang melanjutkan studi ke jenjang paling tinggi. Nadirsyah Hosen, profesor di Monas Law School, dalam prolog bukunya yang bertajuk Dari Hukum Makanan Tanpa Label Halal Hingga Memilih Mazhab yang Cocok (2015) mengakui bahwa karier intelektualnya sangat dipengaruhi oleh Huzaemah.
Darinya, Nadirsyah memperoleh motivasi kuat untuk melanjutkan studi sampai tingkat paripurna. Kepada Nadirsyah, Huzaemah berpesan “Ujang—panggilan untuk Nadirsyah—dalam A-Quran (QS: Al-Rad: 11) telah disebutkan bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri mau mengubah nasibnya. Kalau Allah saja tidak bisa mengubah nasib kamu, bagaimana kamu berharap saya akan membantu kamu untuk mengubah nasib kamu, kalau kamu sendiri tidak mau mengubahnya?” (Hosen, 2015: xvii).
Soal peran dan kiprah perempuan, Huzaemah memiliki pandangan sangat tegas: peran domestik perempuan harus dijaga. Meskipun gelombang perempuan yang bekerja di sektor publik semakin kuat, namun bagi Huzaemah peran domestik perempuan harus mendapatkan posisi yang tidak lebih sedikit dibandingkan peran publiknya. Ia dengan tegas menolak gerakan-gerakan yang ingin menggeser perempuan sepenuhnya agar keluar dari sektor domestik. Hal ini pernah ditulis oleh Jajat Burhanuddin dan Oman Fathurrahman (ed) dalam Tentang Perempuan Islam: Wacana dan Gerakan (2004).
“Jadi, Islam mentolerir adanya wanita sebagai tenaga baru dalam mencari nafkah dengan adanya perkembangan zaman yang memengaruhi tatanan kehidupan. Dalam hal itu, wanita harus membantu suaminya untuk menjaga kelestarian dan kewajiban keluarga serta kesejahteraan anak-anak di kemudian hari. Wanita boleh memasuki berbagai profesi, asal tugasnya diselaraskan dengan sifat dan kodrat mereka, dan ia tidak meninggalkan kewajiban-kewajiban sebagai Ibu rumah tangga, serta tetap mempertahankan hukum-hukum yang ditentukan agama," ujar Huzaemah.
Pandangan Huzaemah soal perempuan ini dipandang sebagai sebuah pandangan yang berdiri di atas dua kaki. Ia modern sekaligus tradisional. Ia menjangkar modernitas, dalam arti merespons perkembangan zaman dengan satu kaki, sementara kaki yang lain kokoh mengakar di tradisi yang dimiliki. Ini latar pemikiran khas yang berkembang dan menjadi tradisi di lingkungan Nahdlatul Ulama yang menjadi tempat kiprah pengabdian Huzaemah.
Jejak keteguhan memegang prinsip dan konsistensi merawat gagasan terekam baik saat Huzaemah secara tegas menolak usulan tim Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam hukum perkawinan di Indonesia. Tim yang dikomandani oleh Siti Musdah Mulia itu mengusulkan beberapa ide yang dinilai sangat kontroversial, meliputi diperbolehkannya kawin kontrak, tidak diwajibkan adanya wali nikah, bolehnya nikah beda agama, larangan poligami, ihwal pewarisan, tentang hak cerai dan juga hak rujuk istri, iddah, dan juga nusyuz.
Huzaemah dengan tegas berpendapat bahwa usulan-usulan tersebut tidak relevan dan keluar dari koridor yang diajarkan oleh Al-Quran dan Hadis. Bagi Huzaemah, Al-Qur’an tidak bisa sembarangan ditafsirkan. Ayat-ayat yang sifatnya qat’iuyyud dilalah (pasti) jumlahnya hanya berkisar lima persen. Sebaliknya, teks-teks yang memiliki dimensi dzannyud dilalah dapat ditafsirkan menggunakan seperangkat metode dan prasyarat-prasyarat ijtihad yang telah dirumuskan dan ditetapkan dalam Islam.
Bagi Huzemah, rumusan-rumusan tim PUG dalam hukum perkawinan justru sangat kontraproduktif dan bertentangan dengan maqashid syari’ah atau penegakan nilai serta prinsip keadilan sosial, kemaslahatan umat manusia, kerahmatan semesta dan kearifan gender, serta telah merusak ajaran Islam itu sendiri.
Huzaemah serta dua rekannya, Nabilah Lubis dan Zakiah Darajat, menulis keberatan itu dengan lugas dan terstruktur dalam buku Kontroversi RevisiKompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. Dalam buku tersebut, mereka, terutama Huzaemah yang memang pakar di bidang perbandingan mazhab memberikan ulasan, penjelasan, kritik, dan kelemahan wacana arus pengutamaan gender dalam Kompilasi Hukum Islam yang dicanangkan oleh Kementerian Agama (Depag pada saat itu).
Dalam sebuah wawancara dengan Republika, 16 Desember 2008, Huzaemah mengatakan bahwa counter legal draft Kompilasi Hukum Islam sekilas tampak seperti pembaharuan hukum Islam. Padahal, ujar Huzaemah, apa yang dirumuskan itu adalah penyimpangan dan perubahan dari hukum Islam, serta mengubah pengertian teks-teks Al-Quran dengan pemahaman mereka sendiri. Hal seperti ini dianggap berada di luar koridor pembaruan hukum Islam, serta bisa merusak ajaran Islam itu sendiri.
"Sejatinya jika mereka lebih mengkaji Islam secara mendalam, khususnya masalah hukum Islam, maka akan ditemukan bahwa hukum Islam itu sangatlah demokratis serta memperhatikan masalah keadilan. Al-Quran dan hadis misalnya, banyak mengajarkan masalah demokrasi dan keadilan, akan tetapi amat disayangkan masih banyak manusia belum memahaminya," kata Huzaemah.
Bagi Huzaemah pembaruan dan modernisasi tidak berarti ia harus memberangus tradisi, apalagi bertentangan dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh Al-Quran dan Hadis. Sebab, jika modernisasi dijalankan dengan mengingkari dan mencampakkan nilai-nilai Quran dan hadis, maka itu bukan modernisasi, melainkan dekadensi yang setara belaka dengan degradasi.
====================
Sepanjang Ramadan hingga lebaran, redaksi menyuguhkan artikel-artikel yang mengetengahkan pemikiran para cendekiawan dan pembaharu Muslim zaman Orde Baru dari berbagai spektrum ideologi. Kami percaya bahwa gagasan mereka bukan hanya mewarnai wacana keislaman, tapi juga memberi kontribusi penting bagi peradaban Islam Indonesia. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Al-Ilmu Nuurun" atau "ilmu adalah cahaya".
Editor: Nuran Wibisono