Menuju konten utama

Hustle Culture, Revisi, dan AI: Dinamika Penulis Wara Masa Kini

Penulis wara kini harus berkompromi di bawah naungan payung digital yang hiruk pikuk dan tak jarang menuntut kesempurnaan.

Hustle Culture, Revisi, dan AI: Dinamika Penulis Wara Masa Kini
Header Side Job Copywriter. tirto.id/Tino

tirto.id - Ford hanya mampu menghasilkan sekitar 68 ribu mobil dalam setahun pada tahun 1912. Pada saat itu, satu mobil hanya bisa dirakit oleh satu orang. Alhasil, setiap perakit mobil harus menguasai banyak ilmu mulai dari cara memasang ban sampai bagaimana memasang rem. Total waktu yang dibutuhkan untuk merakit satu mobil adalah 12 jam 30 menit.

Ketika model produksi menggunakan teknologi ban berjalan (conveyor belt) ditemukan, perusahaan mobil asal Amerika Serikat itu berhasil memproduksi satu juta mobil pada tahun 1922. Waktu produksi pun terpangkas menjadi 95 menit.

Sama seperti saat teknologi produksi massal pertama kali ditemukan, penemuan internet juga mengubah banyak hal. Akses informasi berubah, media cetak gulung tikar, hiburan berganti bentuk, marketplace menggantikan toko konvensional. Penemuan internet mengubah hampir seluruh aspek peradaban manusia. Industri pun diminta beradaptasi–jika tak ingin tertinggal dan dilupakan–termasuk industri periklanan.

Dulu, perusahaan besar memasarkan produk mereka melalui kanal-kanal pemasaran tradisional: televisi, majalah, surat kabar. Para ahli pemasaran mempekerjakan penulis wara untuk membuat teks wara terbaik yang akan jadi nyawa dalam media promosi andalan mereka. Kini, setelah Instagram lebih populer ketimbang tayangan hiburan di televisi, dan Shopee Live lebih digandrungi ketimbang belanja di mal, iklan mulai berubah bentuk.

Penulis wara bukan hanya mereka yang menciptakan video iklan beken, bukan hanya mereka yang melahirkan slogan-slogan nakal, tetapi juga para penulis konten di media sosial. Mereka yang setiap hari berjibaku dengan content pillar, akrab dengan Google Spreadsheet, Trello, FYP TikTok, algoritma medsos, hingga kaidah-kaidah SEO.

Sebagaimana diungkap oleh Coherent Marketing Insight bahwa penulis wara (copywriter) hari ini termasuk juga penulis konten media sosial, penulis email marketing, hingga penulis konten untuk situs web. Pendeknya, para penulis yang menghasilkan konten yang bisa meningkatkan kesadaran merek dan mendorong penjualan.

Dinamika Penulis Wara Masa Kini

Perubahan digital yang masif telah melahirkan ribuan pekerjaan baru. Sekalipun banyak juga yang tersingkir di tengah jalan. Industri media misalnya, harus beradaptasi setelah majalah, koran, tabloid, dan surat kabar mingguan banyak yang tak mampu bertahan. Media cetak kemudian bergeser menjadi media online.

Di industri periklanan, yang notabene masih saudara dekat dengan industri media, perubahan juga tak terelakkan. Pemasaran konvensional bergeser ke pemasaran digital. Semua orang mengandalkan media sosial untuk berjualan. Pergeseran ini lantas melahirkan anak-anak muda seperti Isthar Pelle dan Ragil Cahya Maulana.

Sehari-hari Pelle adalah seorang Social Media Specialist. Kantornya di Jakarta, tetapi dia memilih bekerja jarak jauh dari kota kelahirannya di Bandung. Bekerja sebagai juru kunci media sosial membuatnya menguasai ilmu pemasaran digital yang kelak membantunya mendapatkan pekerjaan sampingan sebagai copywriter.

Sejak 2021, Pelle yang tadinya mengawali karir sebagai penulis artikel, mulai bekerja dengan Digital MarketingAgency. Seiring waktu, kliennya bertambah. Proyek yang dia tangani di luar pekerjaan utama semakin banyak. Pernah suatu waktu dia menangani lima proyek sekaligus hingga membuatnya roboh dan harus dirawat di rumah sakit.

“Waktu itu emang goblok sih gaya hidupnya makanya sampai sakit. Kerja tuh kalau ditotal gak tahu berapa belas jam sehari soalnya sampai jam 3 pagi gitu aku masih kerja bareng anak-anak,” kata Pelle diiringi gelak tawa.

Profesi yang bersinggungan dengan segala yang berbau digital memang seakan kebanjiran job. Namun, di sisi lain, bagi banyak pekerja digital seperti Pelle, tak sedikit yang berakhir burn out.

Mutiah Nabilla Ulfah dan Muhamad Fadhil Nurdin dalam penelitiannya yang dimuat di Jurnal Politik, Keamanan dan Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran mengatakan bahwa apa yang dialami oleh Pelle dan pekerja digital lainnya adalah bagian dari fenomena hustle culture yang ditandai salah satunya denganjam kerja tinggi.

Jika Pelle harus berhadapan dengan jam kerja tinggi, maka lain halnya dengan yang dialami oleh Ragil. Setelah lulus dari jurusan Sosiologi, Ragil yang selama kuliah telah mengakrabi buku dan perpustakaan, mendapat pekerjaan sebagai editor. Sebagai editor, tugasnya tak cuma mengoreksi naskah, tetapi juga mencari naskah baru yang berpotensi untuk diterbitkan.

Namun, pekerjaan ini nyatanya sebelas-dua belas dengan pekerjaan mencari jarum di tumpukan jerami. Gagal memperoleh naskah, Ragil lantas mendapat tugas baru yang membuatnya berkenalan dengan ilmu penulisan wara.

Menulis konten untuk media sosial ternyata punya kesulitan tersendiri. Berulang kali konten yang dia buat ditolak oleh atasan hingga sempat membuatnya frustasi. Penolakan demi penolakan yang dia terima membuat Ragil mempertanyakan kemampuannya dalam menulis. Dia lantas memilih mengundurkan diri.

Walau demikian, ilmu penulisan wara yang dia peroleh membantunya mendapatkan pekerjaan sampingan sebagai penulis konten untuk proyek peluncuran buku. Di sinilah, titik balik bagi Ragil.

Konten yang dia buat beroleh engagement cukup tinggi. Ragil puas dengan apresiasi yang selama ini tak dia dapatkan, meskipun pendapatan dari proyek ini tak cukup besar. Namun, berbekal pengalaman ini pula, kini dia bekerja full-time sebagai copywriter untuk biro layanan psikologi.

Penolakan yang dialami oleh Ragil adalah persoalan laten yang kerap menghantui para penulis wara. Leo Burnett, pakar periklanan dari Amerika Serikat (AS) yang juga pendiri Leo Burnett Company adalah sosok yang sangat perfeksionis. Dalam biografinya, diceritakan bahwa setelah bekerja 12 jam sehari dalam seminggu, segala macam iklan yang disodorkan oleh para penulis wara dan direktur artistik kerap ditolak mentah-mentah oleh Leo.

“Tidak. Tidak cukup baik,” katanya. Dan ini terjadi 88 tahun yang lalu, jika dihitung sejak Leo membuka biro iklannya sendiri pada tahun 1935.

Bersiasat dengan Upah

Bekerja sebagai pekerja lepas memang menawarkan fleksibilitas, namun di baliknya ada banyak aral melintang yang menuntut solusi dari si empunya termasuk soal upah minimum yang diterima. Pelle pun sadar, posisi pekerja lepas masih sangat rentan di Indonesia.

“Sebagai freelancer, kekurangannya gak ada perlindungan, gak ada undang-undang yang mengatur [kebijakan terkait pekerja lepas–red]. UMR naik, gaji karyawan ikut naik, sementara freelancer enggak padahal inflasi tetep naik, biaya hidup naik juga,” katanya.

Pelle kemudian bersiasat dengan mengupayakan agar upah yang dia terima selalu naik dari tahun ke tahun. Rumus yang dia gunakan adalah dengan memperhatikan tiga variabel berikut.

Pertama, beban kerja. Sebelum membuat kesepakatan dengan calon klien, dia selalu menanyakan terkait kebutuhan apa saja yang diminta oleh calon klien. Semakin kompleks berarti semakin berat beban kerjanya, physical maupun emotional.

“Jadi, aku hitung berdasarkan workload. Kan itu berpengaruh ke stres juga ya, emotional taxing harus dihitung juga.”

Kedua, pengalaman dan keahlian. Saat pertama kali terjun di industri pemasaran digital, kemampuan Pelle tentu berbeda dengan sekarang. Setiap klien punya tantangan tersendiri sekaligus pelajaran yang bisa dipetik yang bisa menaikkan nilainya di dalam industri. Pelle pun mengakui, tanpa pengalaman yang memadai, dia hanya mampu mematok tarif batas bawah.

“Tahun 2021 aku inget banget tuh, baru beres pandemi. Semua proyek beres di waktu yang sama. Bisa dibilang kosong lah, jadi ya udah aku pasang tarif bawah. Tapi ya gak apa-apa karena aku sadar belum pernah handle medsos sebelumnya.”

Ketiga, dalam menentukan besaran tarif atas jasanya, Pelle selalu melihat latar belakang calon klien. Harga yang dia patok untuk klien dengan bisnis berskala mikro dan klien dengan bisnis berskala makro jelas berbeda. Oleh sebab itu, dalam menentukan tarif, Pelle berpesan penting untuk melakukan riset background.

Selain ketiga variabel di atas, menurutnya menghitung upah berdasarkan kebutuhan biaya hidup akan jadi tidak adil bagi pekerja. Sebab, biaya hidup setiap kota berbeda-beda. Terlebih saat ini pasar tenaga kerja semakin fleksibel dengan adanya teknologi yang memungkinkan orang bekerja lintas kota hingga lintas negara. Itu sebabnya, dia tak mematok harga menggunakan variabel ini.

Bersahabat dengan AI

Saat Chat GPT diluncurkan November tahun lalu, banyak orang terkesiap. Ada yang menyambutnya dengan positif, namun tak sedikit pula yang merasa cemas. Copywriter adalah salah satu profesi yang terancam dengan kemunculan teknologi ini.

Pelle mengalami sendiri, proyeknya diputus oleh klien berkat adanya Chat GPT. Namun, Pelle juga tak menampik bahwa teknologi ini membantunya bekerja lebih cepat dan efisien. Dia pun sering menggunakan bantuan AI untuk kebutuhan brainstorming.

“Ibaratnya kita kayak nanya lu punya ide apa. Dan aku kalau kasih prompt tuh detail ya, misalkan aku udah coba nulis ini tapi gak berhasil, coba kalau dari kamu ada ide apa lagi. Itu membantu banget buat brainstorming. Jadi dari AI tuh aku dapet insight baru aku riset sendiri,” katanya.

Setali tiga uang dengan Pelle, Ragil pun menggunakan bantuan AI untuk kebutuhan brainstorming. Dia bahkan memperlakukan AI sebagai teman diskusi. Sebab, selama ini salah satu hambatannya dalam bekerja adalah ketiadaan rekan sejawat untuk bertukar ide. Dengan AI, masalahnya terpecahkan.

“Memudahkan sih ada AI ini. Aku dulu pusing karena nggak ada temen ngobrol. Ketika ada AI, aku merasa nggak ada temen ngobrol pun bisa, ada AI kok yang bisa aku tanya-tanya setiap saat,” kata Ragil.

Walau demikian, dirinya selalu menerapkan disiplin verifikasi dengan melakukan double checking atas informasi yang dia peroleh lewat bantuan AI. Pasalnya, konten yang dia buat bersinggungan dengan disiplin ilmu psikologi yang sangat berisiko apabila terdapat misinformasi.

“Jadi tiap kali bikin konten, aku pasti cek materinya pakai AI. Aku tanya-tanya dia, habis itu aku double checking lagi ke beberapa sumber jurnal. Aku juga tanya lagi ke konselor di klinik dan cek beberapa buku dari perpustakaan di sana, baru setelah itu aku bikin.”

Sambutan positif Pelle dan Ragil terhadap AI membuktikan survei yang belum lama ini dilakukan oleh PwC. Dalam survei Harapan dan Ketakutan Pekerja Global terhadap Teknologi AI tahun 2023, mereka mendapati bahwa sebagian besar pekerja di Asia Pasifik justru optimis dengan adanya kecerdasan buatan.

Pekerja di Vietnam, Indonesia, dan India melihat AI sebagai peluang untuk memperoleh keterampilan baru. Bahkan mayoritas (71%) pekerja Indonesia menganggap keterampilan digital penting untuk menunjang karir mereka.

Dulu, ketika conveyor belt pertama kali ditemukan, revolusi industri baru memasuki babak 2.0. Namun, imbasnya tak kurang-kurang terhadap peradaban hingga mendorong terjadinya Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Pihak pertama yang langsung merasakan dampaknya tentu saja adalah pekerja, para perakit mobil Ford.

Ratusan tahun setelah revolusi industri meletus, dunia yang kita tinggali masih terus berubah. Walau demikian, sejarah agaknya berulang. Jika dulu, para perakit mobil Ford harus beradaptasi dengan sistem baru, kini para pekerja juga harus berkompromi dengan dunia baru di bawah payung digital. Akan kah para pekerja kembali bertahan?

Baca juga artikel terkait FB POST atau tulisan lainnya dari Ruhaeni Intan

tirto.id - Mild report
Kontributor: Ruhaeni Intan
Penulis: Ruhaeni Intan
Editor: Dwi Ayuningtyas