tirto.id - Ketua Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (Kasum) Usman Hamid meminta pihak berwenang untuk menyelidiki penyebab kematian Pollycarpus Budihari Priyanto. Dia merupakan pelaku lapangan dalam kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib.
Pollycarpus meninggal pada 17 Oktober 2020 lantaran mengidap COVID-19. Ia sempat dirawat di rumah sakit selama 16 hari.
“Meninggalnya Pollycarpus perlu diselidiki oleh otoritas yang berwenang, khususnya tentang penyebab kematiannya. Sebagai pelaku lapangan tentu ia mempunyai informasi terkait pembunuhan Munir, terutama informasi tentang orang-orang yang berkepentingan,” ujar Usman dalam acara diskusi daring, Minggu (18/10/2020).
Usman mengatakan otoritas yang berwenang ini mesti menyelidiki secara layak dan objektif. Tujuan penyelidikan ini juga untuk menghindari kecurigaan ihwal kematian Pollycarpus.
Meski Pollycarpus telah meninggal, kata Usman, pengusutan kasus Munir tak boleh berhenti. Ia beralasan banyak penemuan bukti berdasarkan penelusuran kepolisian dan Tim Pencari Fakta, serta fakta persidangan. Hal itu dapat dikembangkan sebagai bukti kelanjutan penuntasan kasus.
“Kendala dalam kasus ini tidak terletak pada teknis pembuktian, melainkan kepada kehendak politik negara dalam mengupayakan langkah hukum penyelesaian kasus,” jelas Usman.
Tindak lanjut dari rekomendasi pertama Tim Pencari Fakta yakni soal pembentukan tim investigasi independen perlu direalisasikan. Tugasnya ialah meneruskan pencarian nama-nama lain yang terlibat dalam kematian Munir.
Bahkan pembentukan tim investigasi dapat dilakukan beberapa kali, misalnya dalam kasus kematian John F. Kennedy yang melahirkan Komisi Warren.
Usman melanjutkan, Polri perlu mengupayakan investigasi baru guna memburu aktor utama kasus Munir. Jaksa Agung pun dapat mengajukan Peninjauan Kembali untuk meneliti ulang berkas Kepala Deputi V Badan Intelijen Negara Muchdi Purwopranjono lantaran vonis bebas terhadapnya ada kejanggalan, kelemahan dakwaan jaksa, maupun teror kepada hakim dan jaksa.
Sementara, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro Pujiyono berpendapat Pollycarpus dianggap sebagai aktor utama pembawa informasi dalam pembuktian perkara.
Aparat penegak hukum, Pujiyono anggap tak perlu terpaku dengan informasi dari Pollycarpus tapi juga mendalami fakta-fakta yang telah ada.
“Bila ini (kasus Munir) dipandang sebagai tindak pidana biasa, bukan sebagai pelanggaran HAM berat, tentu berhadapan dengan aturan kedaluwarsa dalam KUHP. Dalam hal ini ada di Pasal 78 ayat (1),” kata dia. Perkara Munir akan hangus pada tahun 2022 atau 18 tahun usai kematiannya.
Ada empat kategori daluwarsa yakni mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan sesudah satu tahun; mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun; mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun; mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun.
Namun apabila kasus Munir dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat maka tidak ada daluwarsa.
“Meskipun pelaku lapangan sudah tak ada, dalam rangka menjaring soal turut serta atau (mengungkap) aktor intelektual, tentu harus tunduk kepada prinsip ‘dua alat bukti yang cukup’,” ujar Pujiyono.
Perihal pelanggaran HAM berat diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yaitu ihwal genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Sementara Pasal 9 undang-undang itu menyebutkan salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik, yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, salah satunya ialah pembunuhan. Diperlukan filterisasi kasus pelanggaran HAM.
Artinya jika kematian Munir ditetapkan sebagai kasus pelanggaran HAM berat maka ada proses pengadilan yang menggunakan ketentuan selain aturan umum.
“Bila kasus ini berkualitas (divonis) sebagai kejahatan luar biasa, tentu bisa (digiring ke Pengadilan Kejahatan Internasional),” kata Pujiyono. Penuntasan yang tak kalah penting yaitu aspek "sistematis dan meluas".
Penulis: Adi Briantika
Editor: Gilang Ramadhan