tirto.id - Jumlah debitur yang kesulitan membayar kredit meningkat selama pandemi COVID-19. PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) menyatakan jumlah profil debitur yang masuk kategori high dan very high risk terus bertambah, mencapai 45,2% per Juli 2020, mencangkup Bank Umum, BPR, dan perusahaan pembiayaan.
Sebagai perbandingan, per Desember 2019 angkanya hanya 41,2%.
Direktur Utama Pefindo Yohanes Arts Abimanyu menjelaskan kenaikan signifikan mulai terjadi per Maret atau bulan ketika kasus Corona pertama diumumkan. Selama periode itu juga, jumlah debitur kategori very low, low, dan average risk menurun.
“Pandemi memengaruhi kemampuan pembayaran yang menyebabkan perubahan profil risiko debitur dan menyebabkan peningkatan NPL (non performing loan, kredit bermasalah),” kata Abimanyu dalam webinar IdScore Indonesia, Kamis (15/10/2020).
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan NPL gross per Desember 2019 hanya 2,53% dan naik pada Maret menjadi 2,79%, 3,11% pada Juni, dan 3,22% per Agustus.
Ketua Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) Sunarso mengatakan dampak pandemi COVID-19 pada perekonomian memang cukup serius. Namun efeknya pada kredit dan risiko gagal bayar masih terjaga dengan mencontohkan krisis 1997/1998. Ketika itu NPL pernah menyentuh 48,6% dan krisis 2008 3,2%. Pada 2020, NPL bisa dijaga di kisaran 3,1%.
Lonjakan NPL dan gagal bayar berhasil diminimalisasi melalui restrukturisasi. Himbara sendiri sudah melakukan restrukturisasi kredit dengan total Rp479 triliun.
“NPL masih terkelola di kepala 3. Itu artinya risk management perbankan cukup solid,” ucap Sunarso dalam webinar yang sama.
Dari segi kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR), kondisi perbankan juga menurutnya masih kuat meski sudah melakukan banyak restrukturisasi. Per Juni CAR masih terjaga di 22,59%, lebih baik dari 1998 (minus 15,7%) dan 2008 (16,8%).
Awalnya ia mengaku khawatir mengenai dampak restrukturisasi pada likuiditas, namun ternyata tak terlalu besar. Data OJK mencatat Loan to Deposit Ratio (LDR) atau rasio kredit berbanding simpanan perbankan keseluruhan berkisar 81,11% per Agustus, turun dari Desember tahun lalu 94,43%. Di sisi lain, dana pihak ketiga (DPK) tumbuh double digit 11,64% yoy di Agustus padahal Desember hanya 6,54%.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dalam rapat bersama Komisi XI, Kamis (1/10/2020), menyatakan pemerintah dan otoritas telah mengeluarkan sederet kebijakan sebagai upaya mitigasi. Hasilnya, profil risiko debitur maupun indikator perbankan relatif terkendali.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno mengatakan rasio pembiayaan bermasalah atau non performing financing (NPF) memang cukup tinggi. Per Juni NPF gross sudah mencapai 5,12% dan konsisten di atas perbankan. Namun angka itu masih relatif terkendali, katanya. Buktinya, perusahaan pembiayaan tetap dapat membayar kembali dana yang disalurkan ke perbankan.
“Tidak begitu banyak perusahaan pembiayaan yang memohon ke perbankan untuk restrukturisasi walau kami lakukan restrukturisasi pada debitur,” ucap Suwandi dalam webinar yang sama.
Ia bilang penyaluran kredit perusahaan pembiayaan sudah cukup dilakukan hati-hati. Misalnya. mereka sudah menjadi anggota Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK yang memungkinkan mereka bertukar data antara lembaga keuangan untuk mengecek rekam jejak debitur sebelum meminjam.
Kalaupun ada masalah, Suwandi bilang mereka sudah cukup disiplin melakukan pencadangan untuk meminimalisasi NPL, terutama pada debitur yang kolektibilitasnya menunjukkan tanda menunggak atau sudah menyentuh level 2 bahkan 5.
Malahan mereka berencana tetap dapat menyalurkan pembiayaan di tengah pandemi. Suwandi berharap bank tetap membuka keran dananya bagi perusahaan pembiayaan.
Tetap Perlu Diwaspadai
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan potensi lonjakan NPL dan gagal bayar tetap perlu diwaspadai. Sebab, fasilitas restrukturisasi yang jadi solusi belum cukup merata bagi seluruh debitur. Contohnya, ada yang hanya mendapat tiga bulan lalu enam bulan. Bentuk keringanannya pun sesuai kebijakan masing-masing.
Belum lagi ada debitur yang tidak dikabulkan restrukturisasinya karena bank tetap pilih-pilih.
Ia bilang OJK memang telah memperpanjang masa restrukturisasi hingga tahun depan. Namun mereka tentu tidak bisa terus-menerus melakukan itu ketika pandemi diperkirakan tidak selesai dalam waktu dekat.
“Perlu kita waspadai di 2021 nanti. Ketika banyak bank yang memberikan relaksasi kredit dikhawatirkan akan terjadi ledakan besar dari NPL,” ucap Bhima kepada reporter Tirto, Jumat (16/10/2020).
Ia bilang perlu ada strategi seperti pendampingan atau skema peralihan ke usaha lain bagi debitur. Sebab debitur adalah sektor yang terakhir mengalami pemulihan.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan upaya mencegah lonjakan NPL tetap kembali pada penanganan COVID-19. Ia yakin jika pandemi berakhir ekonomi dapat cepat bergerak dan akhirnya debitur dapat memiliki uang kembali untuk membayar kredit mereka.
“Tapi untuk mengembalikan pinjaman dengan cicilan itu kan berasal dari keuntungan bisnisnya. Jadi masalahnya itu ada atau enggak permintaan,” ucap Faisal kepada reporter Tirto, Jumat.
Penulis: Vincent Fabian Thomas & Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino