Menuju konten utama

Hikmah Ramadan di Masa Pandemi, Surat untuk Mas Menteri

Nadiem berpesan agar guru dan murid tidak kehilangan harapan serta terus saling menguatkan.

Hikmah Ramadan di Masa Pandemi, Surat untuk Mas Menteri
Poster Cerita Inspiratif Guru & Murid . foto/kemendikbud

tirto.id - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim membacakan lima surat paling inspiratif yang dikirim guru dan siswa di seluruh tanah air. Kelimanya adalah pemenang lomba menulis surat bertema "Hikmah Ramadan di Masa Pandemi, Surat untuk Mas Menteri Nadiem Makarim" yang digelar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) selama seminggu. Tercatat ada 6.689 surat masuk sepanjang 11-17 Mei 2020 itu.

“Kesulitan adalah akar pembelajaran yang penting,” kata Nadiem, mengomentari surat-surat yang ia baca, lewat kanal Youtube Kemendikbud RI, Selasa (26/05).

Santi Kusuma Dewi, guru SMP Islam Baitul Izzah Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, menyampaikan hikmah yang ia dapat selama melangsungkan pembelaran di tengah pandemi, terutama saat bertungkus lumus dengan teknologi. “Biasanya guru mengajar hanya berpedoman pada buku pegangan guru, namun sekarang kita ‘dipaksa’ belajar memanfaatkan teknologi untuk melakukan pembelajaran secara dalam jaringan (daring).”

Santi mengapresiasi kebijakan Merdeka Belajar Kemendikbud. Lebih-lebih, ia tergolong guru eksentrik. “Saya dulu dianggap aneh di sekolah karena mengajarkan siswa-siswa bermain coding atau mengajak mereka keliling dunia dengan Google Earth, padahal saya guru bahasa Inggris.”

Selain itu, Santi turut gembira melihat rekan sejawatnya mulai mempelajari sejumlah platform pembelajaran—lepas dari kebiasaan melulu berpedoman pada buku pegangan guru.

“Kami membuat akun Instagram dengan nama @celenganrindukita. Menggerakkan kebaikan di hati setiap orang untuk membantu melalui donasi dengan kekuatan media sosial. Mengajari mereka tentang arti berbagi dan peduli. Kegiatan donasi ini tetap berjalan di tengah pandemi,” terang Santi dalam suratnya.

Lain Santi lain pula pengalaman Maria Yosephina Morukh. Pengajar SDK Kaenbaun, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur ini menuturkan pengalamannya menunggangi motor untuk melakukan aksi “jemput bola” di wilayah yang tergolong pedalaman—merujuk pada kondisi geografis yang sulit dijangkau jaringan internet dan siaran televisi.

“Setiap hari saya mengunjungi lima rumah, anak-anak saya beri tugas. Mereka tetap bersemangat menjalankan tugas. Sambil berkunjung, saya ingatkan anak-anak untuk menjaga kebersihan cuci tangan dan memakai masker jika hendak keluar rumah,” kata Maria.

Bertolak dari pengalaman itulah Maria mengharapkan pemerintah agar memberikan perhatian kepada sekolahnya demi pembelajaran yang lebih berkualitas. “Orang tua berupaya mendukung pembelajaran, namun karena keterbatasan ekonomi tidak punya HP Android sehingga susah dalam komunikasi. Mohon perhatikan sekolah saya, fasilitasnya agar diperhatikan.”

Pengalaman menggentarkan sekaligus mengharukan disampaikan Rivaldi R. Yampata, siswa kelas IV SD 016 Tanjung Redeb, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Dalam suratnya, Rivaldi menceritakan proses pembelajaran yang dilakukannya selama pandemik Covid-19: tinggal di rumah guru.

“Tahun ini saya dititipkan Mama dengan seorang guru yang sudah lama dikenal. Alhamdulillah selama saya di sini semua tugas yang diberikan guru bisa saya selesaikan dengan baik karena dibimbing Kak Abi dan Kak Tiara.”

Sebab Rivaldi tak punya handphone, Abi dan Tiara membantunya membuat rekaman video. “Saya diberi teks yang harus saya hafalkan lalu mereka merekam saya melafalkan pelajaran itu, misalnya bacaan salat dan kosakata bahasa Inggris beserta artinya,” tulis Rivaldi.

Sementara Alfiatus Sholehah, siswa kelas VB SDN Pademawu Barat 1, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur, seolah menyampaikan ungkapan hati seluruh siswa di Indonesia.

“Saya ingin segera masuk sekolah, ingin ketemu guru dan teman-teman saya. Apalagi sekarang bulan Ramadan. Biasanya di sekolah diadakan kegiatan Pondok Ramadan,” kata Alfiatus.

Belajar di tengah pandemi juga menumbuhkan kesadaran sekaligus kepedulian Alfatius terhadap kondisi orangtuanya. Lahir dari keluarga buruh tani, ia sadar betapa mewahnya telepon pintar Android itu.

“Saya tidak punya, juga merasa kasihan karena ibu saya harus cari pinjaman untuk membeli paket internet agar bisa belajar di rumah.”

Terakhir, Atrice G. Napitupulu, siswa kelas IV SD YPPK Gembala Baik, Jayapura, Papua, menuliskan kepeduliannya terhadap teman-temannya yang beragama Islam.

“Saya juga merasa kasihan sama teman-temanku di komplek yang sedang berpuasa, mereka tidak bisa mudik melihat kakek nenek dan keluarganya, tidak bisa salat bersama-sama di masjid. Itu semua karena virus corona. Lebaran, saya juga tidak bisa peta (pegangan tangan), makan bakso, es buah, dan (mendapat) uang lebaran. Saya berharap virus corona cepat berlalu ya, Pak, supaya kita semua bisa bersuka cita dan bergembira. Salam hormat,” tulis Atrice.

Selain suratnya dibacakan, para pemenang lomba menulis surat itu juga berkesempatan bicara langsung dengan Mas Menteri—panggilan akrab Nadiem. Kepada mereka, dalam penghormatan yang tulus, Nadiem berpesan agar guru dan murid tidak kehilangan harapan serta terus saling menguatkan.

“Terima kasih untuk masih semangat di saat krisis seperti ini. Saya tahu belajar dari rumah itu enggak mudah, sulit. Kadang-kadang membosankan, kadang-kadang merepotkan. Tapi tolong tetap semangat, tetap bantu orang tua, tetap bantu kakak-adik. Asal kita saling mencintai, asal kita saling membantu, kita akan bisa melalui krisis ini.”

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis

Artikel Terkait