tirto.id - Ketika James Watt menciptakan lokomotif uap pada 1784, dunia berubah dalam bentuk yang nyaris tak pernah dibayangkan. Kereta api membuat perjalanan jadi makin mudah dan cepat. Di Inggris, sistem kereta api skala besar pertama kali dirintis oleh Richard Trevithick pada 1804. Namun baru sewindu kemudian, kereta api uap komersial sukses diluncurkan di Leeds.
Pembangunan rel dimulai besar-besaran di Inggris. Karena kebanyakan jalur awal dibangun dekat dengan pusat kota, maka ada banyak desa penopang dihancurkan untuk kemudian dijadikan jalur rel kereta api. Menurut Jerry White, profesor sejarah di Universitas London, pembangunan jalur kereta api di Inggris pada 1960-an membuat sekitar 56.000 warga kehilangan tempat tinggal.
Pemerintah kemudian membangun permukiman “sederhana” di sekitar jalur kereta api. Apa yang disebut oleh mereka sebagai “rumah kelas pekerja” itu pada akhirnya menjelma jadi permukiman kumuh.
“Rumah itu tidak pernah didesain sebagai rumah yang layak huni, punya sistem pembuangan kotoran sendiri ataupun area mencuci,” tulis White.
Rumah-rumah kecil di kawasan Notting Dale, Camberwell, juga Finsbury Park, kemudian jadi kawasan over populasi dan kumuh. Sering kali satu rumah yang hanya punya dua kamar dan satu toilet dihuni oleh dua puluh orang. Saking buruknya kondisi di sana, tulis White, 43 dari 100 bayi akan mati sebelum ulang tahun pertama.
Kondisi serupa juga terjadi di banyak belahan dunia, mulai di India, Thailand, juga Indonesia. Jalan kereta api yang membutuhkan ruang lapang dan sering menyisakan lahan kosong, kemudian dijadikan hunian darurat yang jelas tak layak ditinggali. Jadilah permukiman kumuh, yang pada akhirnya membawa banyak masalah. Mulai dari kriminalitas hingga masalah kesehatan.
Di Indonesia, hunian kumuh di pinggir rel kereta api sudah jadi masalah lama yang mulai diatasi secara tegas. Sebelumnya, masalah hunian kumuh dekat rel kereta ini juga diperparah dengan sistem toilet kereta yang bolong, alias langsung dibuang ke bawah. Ini membuat hunian pinggir rel juga terdampak bau kotoran, dan pada akhirnya membawa penyakit.
Upaya KAI Memperbaiki Lingkungan
Sistem toilet yang dipakai kereta api di Indonesia pada dahulu kala itu memang sering dikritik. Orang yang rumahnya kebetulan dilewati jalur kereta api tak jarang memaki karena kedapatan “kado” berupa kotoran manusia yang sudah kering dan menguarkan bau tak sedap.
Maka tak heran kalau sistem pembuangan kotoran adalah salah satu hal yang pertama kali dibenahi oleh PT Kereta Api Indonesia ketika reformasi kereta api dijalankan. Beberapa tahun sejak upaya perbaikan dimulai, toilet kereta api di Indonesia sudah menggunakan Toilet Ramah Lingkungan (TRL). Selain itu, kereta api juga dilengkapi bak penampung kotoran dan menambahkan mikroba pengurai di sana. Jadi ketika ada pengurasan bak kotoran, ia sudah berubah jadi cairan yang tak berbau.
Soal limbah kotoran yang sudah sejak lama jadi masalah lingkungan, KAI perlahan memperbaiki pengelolaannya. Untuk limbah padat domestik, KAI bekerja sama dengan Dinas Kebersihan kota. Sedangkan limbah padat B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) akan disimpan di tempat penyimpanan sementara limbah B3, untuk kemudian diserahkan ke pihak ketiga yang akan melakukan pengolahan berikutnya.
Setelah sukses menjalankan reformasi di bidang pelayanan, kini KAI memang fokus pada Corporate Social Responsibility (CSR). Ini bukan seremonial belaka. Langkah-langkah konkret yang bisa membawa dampak besar pun dijalankan, terutama dalam jangka panjang.
Salah satu hal penting yang dilakukan KAI adalah penanaman pohon. Perusahaan yang lahir pada 1945 ini sudah menanam pohon di berbagai daerah. Mulai di Yogyakarta, Karawang, Medan, hingga Banyuwangi. Sepanjang 2018 hingga semester pertama tahun 2019, sudah lebih dari 12.559 pohon yang ditanam.
“KAI juga menggunakan jenis bahan bakar yang lebih ramah lingkungan, yakni B20. Ini adalah BBM campuran 20 persen biodiesel dan 80 persen minyak jenis solar,” ujar Direktur Utama KAI, Edi Sukmoro.
Bahkan, sebelum memakai bahan bakar yang lebih ramah lingkungan, kereta api sudah menjadi moda transportasi umum yang efisien secara energi, mengalahkan motor, mobil, bahkan pesawat. Apalagi sekarang sudah ada kereta api listrik yang jelas lebih ramah lingkungan.
Perlahan, KAI juga mulai memanfaatkan teknologi panel surya di beberapa lokasi kerja, misalkan di stasiun jaga Hasanuddin Semarang dan Resor Sintelis Gundih, juga di Semarang.
Upaya-upaya ramah lingkungan ini tentu akan kurang berarti kalau KAI tidak melakukan perbaikan di dalam. Ternyata, entah orang sadari atau tidak, KAI mulai mengurangi penggunaan plastik dan menggantinya dengan ecoplas, alias plastik ramah lingkungan yang terbuat dari polimer sintetik dan tepung tapioka. Begitu pula untuk kemasan makanan di restorasi. KAI, lewat PT Reska Multi Usaha, sudah memakai wadah makanan berbahan kertas yang disebut sebagai green pack.
Dengan perbaikan dari dalam ini, artinya KAI tak sekadar mengajak orang menerapkan gaya hidup ramah lingkungan. Lebih jauh, KAI menjalankan prinsip walk the talk: menjalankan apa yang ia himbau.
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis