Menuju konten utama

Hidup Mati Jalur Kereta Api di Priangan Timur

Untuk mengoptimalkan potensi ekonomi Priangan timur dan tenggara, Belanda sempat membangun jalur kereta api Tasikmalaya-Singaparna.

Hidup Mati Jalur Kereta Api di Priangan Timur
Header Mozaik KA Tasikmalaya-Singaparna. tirto.id/Ecun

tirto.id - Setelah menyelesaikan jalur kereta api Bogor-Cicalengka pada tahun 1884 dan jalur Cicalengka-Garut tahun 1889, perusahaan kereta api negara Staatsspoorwegen (SS) membangun jalur sepanjang 176 km dari Stasiun Warung Bandrek ke Cilacap, tahun 1889 sampai tahun 1893.

Salah satu stasiun yang dibangun adalah Stasiun Tasikmalaya. Pembangunan stasiun ini tidak lepas dari usaha eksploitasi Pemerintah Hindia Belanda di wilayah Priangan, khususnya Priangan bagian timur dan tenggara.

Kedua wilayah ini terkenal subur dan memiliki potensi ekonomi yang besar. Meski demikian, keduanya masih terisolasi dan membutuhkan alat transportasi yang baik. Apalagi pada awal abad ke-20, hasil panen di daerah ini mengalami peningkatan dua kali lipat dari hasil biasanya.

Peningkatan ini didorong oleh keberhasilan para petani dalam mengendalikan hama. Surat kabar Preanger Bode tahun 1910 menulis, hama yang sebelumnya sangat merugikan para petani, berangsur-angsur dapat dibasmi.

Kondisi alam Priangan yang subur membuat beberapa pihak swasta mencoba untuk membangun jaringan kereta api simpangan dari Stasiun Tasikmalaya. Pengajuan izin pembangunan jalur di Tasikmalaya dilakukan sejak tahun 1889 sampai 1904. Salah satu daerah yang menjadi incaran mereka adalah Singaparna dan Mangunreja.

Menurut sejarawan Agus Mulyana, sudah ada tujuh persil perkebunan milik swasta di Singaparna tahun 1900, yakni Perkebunan Wangunarja, Sukajadi I-V, dan Jayawati. Perkebunan-perkebunan tersebut menghasilkan teh, kopi, dan kina.

Sayangnya, beberapa izin yang sempat disetujui pemerintah gagal diwujudkan oleh pihak swasta. Sehingga pembangunan jalur ini akhirnya dibangun oleh Staatsspoorwegen (SS) atas dorongan pemerintah setempat.

Pembangunan jaringan kereta api ke Singaparna akan membantu proses transportasi hasil perkebunan di kawasan itu menuju pelabuhan seperti Batavia atau Cilacap. Sebelum kereta api memasuki Priangan, hasil alam dari Priangan Timur khususnya kopi, dibawa ke Pelabuhan Cilacap melalui jalur sungai.

Fenomena ini ditulis oleh Susanto Zuhdi dalam buku Cilacap 1830-1942, Bangkit dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan di Jawa. Zuhdi menjelaskan, kopi dari Priangan Timur dan Cirebon diangkut dari Banjar ke Pelabuhan Cilacap melalui sungai Ci Tandui.

Pembukaan Dimeriahkan Pergelaran Wayang

Perusahaan kereta api Staatsspoorwegen (SS) mulai membangun jalur sepanjang 17,8 kilometer ini sekitar bulan Maret 1910. Pada 5 kilometer pertama, jalur ini melewati dataran yang landai, termasuk jalur di dalam kota Tasikmalaya yang melewati bangunan umum dan pasar. Sisanya, melewati daerah pergunungan sebelum memasuki Stasiun Singaparna.

Sebenarnya sempat ada wacana untuk melanjutkan jalur ke arah barat, yakni sampai Mangunreja dan Cibeuti. Namun mahalnya pembangunan jembatan di atas Sungai Ci Wulan membatalkan hal tersebut.

Dari Tasikmalaya sampai Singaparna, jalur ini melewati 14 titik pemberhentian yang terdiri dari 2 stasiun dan 12 halte. Dua stasiun yang dibangun adalah Cibanjaran dan Singaparna. Stasiun Cibanjaran dilengkapi beberapa jalur yang biasanya dipakai ketika kereta api berpapasan. Sementara di Stasiun Singaparna dibangun pompa air untuk memenuhi kebutuhan lokomotif uap.

Titik-titik pemberhentian di jalur ini meliputi Tasikmalaya Alun-alun, Tasikmalaya Pasar, Cihideung, Padayungan, Cisambong, Mangkubumi, Cibanjaran, Cipari, Cikunir, Barengkok, Cintaraja, Barolong, dan Sukaseneng.

Jika kita bandingkan dengan kondisi Kota Tasikmalaya sekarang, jalur ini melewati Jl. Dr. Sukarjo, melewati Masjid Agung ke arah Jl. Yudanegara, memotong Jl. Pasar Wetan ke Jl. Pasar Rel, Jl. Cihideung Balong, Jl. K.H. Zaenal Mustafa sampai Padayungan. Di perempatan ini, rel berbelok ke arah barat menuju Singaparna dengan menyusuri jalan raya.

Jalur yang melewati desa-desa berpenduduk cukup padat ini dilayani oleh empat rangkaian kereta. Rangkaian kereta ini hanya diisi oleh gerbong-gerbong kelas 2 dan 3. Selain gerbong penumpang, rangkaian-rangkaian ini juga dilengkap oleh gerbong barang.

Sebelum pembukaan, sebanyak 150 gerbong barang yang baru disiapkan untuk mengangkut hasil bumi di sepanjang jalur tersebut.

Jalur Tasikmalaya-Singaparna dibuka melalui upacara pembukaan yang cukup meriah di Stasiun Singaparna pada 1 Juni 1911. Upacara ini ditandai dengan perjalanan pertama rangkaian kereta yang berangkat pagi hari dari stasiun Tasikmalaya. Rangkaian kereta api ini terdiri dari gerbong direksi, gerbong makan, dan beberapa gerbong kelas 1, 2, dan 3.

Sebelum tiba di Stasiun Singaparna pada pukul setengah sepuluh, rombongan kereta mendapat sambutan dari masyarakat di sepanjang jalan dan desa-desa yang dilalui. Setelah turun di stasiun yang menjadi ujung pembangunan jalur, para undangan dihibur oleh gamelan dan orkestra biola.

Bagi masyarakat setempat, semua perjalanan awal kereta api antara Tasikmalaya dan Singaparna digratiskan di hari pembukaan. Selanjutnya, upacara pembukaan dilengkapi dengan dua pertunjukan wayang yang digelar pada malam hari.

Dalam kesempatan tersebut, beberapa pihak memberi sambutan. Selain perwakilan dari Staatsspoorwegen (SS), Bupati dan Residen Priangan juga mendapat kesempatan untuk memberi pidato.

Perwakilan Staatsspoorwegen (SS) memuji hasil pengerjaan jalur Tasikmalaya-Singaparna sebagai hasil pekerjaan yang cukup rapi. Selain itu, mereka juga mengakui bahwa pembuatan jalur tersebut diusulkan oleh mantan Asisten Residen Sukapura.

Infografik Mozaik KA Tasikmalaya-Singaparna

Infografik Mozaik KA Tasikmalaya-Singaparna. tirto.id/Ecun

Berakhir di Zaman Jepang

Biaya yang dikeluarkan oleh Staatsspoorwegen (SS) untuk membangun jalur ini sekitar 610.248 Gulden. Sejarawan Agus Mulyana menambahkan, kecilnya anggaran untuk pembangunan disebabkan penggunaannya ditekan seminimal mungkin.

Beberapa bagian di jalur ini menggunakan bahan-bahan bekas yang pernah dipakai di jalur kereta api antara Batavia-Karawang, terutama untuk pembuatan jembatan dan bangunan atas.

Meskipun berjarak pendek, pengoperasian jalur Tasikmalaya-Singaparna dapat dikatakan sukses karena melewati daerah-daerah potensial secara ekonomi. Pada masa awal beroperasi, jalur ini memberikan pemasukan yang lumayan dan cenderung berkembang.

Pada Juni 1911, total pemasukan sekitar 3.675 Gulden. Artinya, jalur ini menghasilkan 6,88 Gulden per kilometer per hari. Setahun kemudian, pemasukan meningkat menjadi 4.360 Gulden atau 8,1 Gulden per kilometer per hari.

Kedatangan Jepang pada tahun 1942 membuat jalur ini harus berhenti beroperasi. Seperti halnya nasib yang menimpa jalur Rancaekek-Tanjungsari dan Dayeuhkolot-Majalaya, jalur yang menghubungkan Tasikmalaya dan Singaparna dibongkar untuk kepentingan perang.

Setelah proklamasi kemerdekaan, Belanda mencoba menghidupkan kembali sisa jalur yang hancur tersebut. Namun mereka hanya dapat memulihkan jalur ini sampai ke Stasiun Cibanjaran pada tahun 1948.

Sejak saat itu, jalur kereta api Tasikmalaya-Singaparna sulit untuk dihidupkan kembali. Bahkan jalur ini perlahan hilang, sampai sekarang.

Baca juga artikel terkait JALUR KERETA API atau tulisan lainnya dari Hevi Riyanto

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Hevi Riyanto
Penulis: Hevi Riyanto
Editor: Irfan Teguh Pribadi