Menuju konten utama

Ekspektasi Tak Sampai di Jalur Kereta Api Banjar-Cijulang

Rencana jalur kereta api Banjar-Cijulang diusulkan berbasis potensi ekonomi Pesisir Selatan Priangan. Hasilnya jauh dari target.

Ekspektasi Tak Sampai di Jalur Kereta Api Banjar-Cijulang
Header Mozaik Menuju Pangandaran. tirto.id/Ecun

tirto.id - Sejak dulu, Pangandaran terkenal sebagai tujuan wisata pantai di Jawa Barat. Dalam buku Gids van Bandoeng, en Midden Priangan (1921), S.A. Reitsma dan W.H. Hoogland menjuluki Pangandaran sebagai "Scheveningen van Java."

Scheveningen merupakan salah satu kawasan wisata di Den Haag, Belanda, yang mempunyai pantai nan panjang dan berpasir. Kedua penulis itu menyebut Pangandaran mempunyai pantai di Teluk Dirk de Vries dan Teluk Maurits yang indah dengan gua-gua di Cagar Alam Pananjung.

Reitsma dan Hoogland menyebut pula soal kereta api yang menghubungkan Banjar, Pangandaran, Parigi, dan Cijulang. Itu adalah moda transportasi alternatif untuk mencapai kawasan pantai selatan Priangan.

Jalur kereta api Banjar-Cijulang mulai dibangun pada 1911. Pemerintah Hindia Belanda melihat pembangunan jalur ini sebagai pembuka isolasi daerah sekaligus langkah awal mengembangkan kawasan Pangandaran yang terkenal subur.

Potensi ekonomi Pangandaran memang cukup besar. Salah satu hasil bumi yang menjadi andalannya adalah padi. Pada zaman itu, para petani Pangandaran bisa menghasilkan 50-60 pikul padi (1 pikul setara sekitar 60 kg) per bau (1 bau = 7096,5 meter persegi).

Namun, harga padi di sana hanya 1 gulden per pikul karena sulit untuk dijual. Harga ini termasuk murah jika dibandingkan harga padi per pikul di daerah Priangan lain yang mencapai 2,5 gulden.

Sebelum jalur kereta api dibangun, Pelabuhan Cilacap menjadi tujuan utama distribusi hasil bumi ke luar Pangandaran. Barang-barang diangkut dari Kalipucang melalui Sungai Citandui dan perairan Segara Anakan menuju Cilacap.

Selain dari Pangandaran, Pelabuhan Cilacap juga menjadi penampung hasil bumi dari Priangan Timur dan Cirebon, khususnya kopi. Susanto Zuhdi dalam Cilacap 1830-1942, Bangkit dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan di Jawa(2002) menjelaskan bahwa kopi dari kedua kawasan itu diangkut dari Banjar melalui Citandui.

Untuk mengeksploitasi kawasan Pantai Selatan Priangan, beberapa perusahaan swasta mencoba mengajukan izin membuat jalur kereta api di sana. Bahkan, ada perusahaan yang mengajukan izin untuk membuat jalur sepanjang pantai selatan, dari Pangandaran menuju Pameungpeuk. Beberapa pengajuan izin sempat ditolak, sementara perusahaan yang izinnya diterima tidak mampu mewujudkan pembangunan yang sudah drencanakan.

Sempat Tertunda

Jalur dari Banjar ke Pangandaran sampai Cijulang akhirnya dibangun oleh perusahaan kereta api pelat merah Staatsspoorwegen (SS).

Menurut Agus Mulyana dalam Sejarah Kereta Api Priangan (2017), usul pembuatan jalur kereta api Banjar-Kalipucang-Parigi ini diajukan oleh Residen Priangan. Pemerintah kolonial lantas menyetujui usul itu dengan menerbitkan izin pembangunan pada 1911.

Rencana pembangunan jalur ini disambut baik oleh masyarakat, terutama para pemilik perkebunan. Beberapa pemilik perkebunan karet, kopi, dan coklat bahkan sempat memperluas area perkebunan mereka setelah mendengar rencana itu.

Meski telah mengantongi izin, pembangunan jalur kereta api Banjar-Kalipucang sempat mengalami penundaan. Sebabnya adalah perubahan rencana pembangunan jalur, dari semula menghubungkan Banjar-Parigi menjadi Banjar-Cilacap melalui Dayeuh Luhur dan Kalipucang-Kawunganten.

Penundaan ini terang memicu protes dari para pengusaha perkebunan yang sudah mengeluarkan modal untuk memperluas perkebunannya.

Pada akhirnya, perubahan jalur itu batal. Rencana jalur Banjar-Cilacap ditolak lantaran Dayeuh Luhur merupakan daerah berawa dan jarang dihuni penduduk. Selain itu, rawa-rawa di Dayeuh Luhur merupakan sarang nyamuk malaria.

Beberapa pekerja dikabarkan menjadi korban keganasan malaria saat melakukan pengukuran di Dayeuh Luhur. Bahkan, seorang insinyur dilaporkan bunuh diri karena tidak kuat menahan sakit malaria.

Jalur Kalipucang-Kawunganten juga ditolak dengan alasan yang sama dan sering pula banjir. Teranglah dua daerah itu kurang menguntungkan secara ekonomi.

Maka pembangunan jalur kereta api dilakukan sesuai rencana awal pada 1913. Akhirnya, jalur ini mencapai Kalipucang pada 1916.

Kesulitan terbesar dalam proses pembangunan jalur Banjar-Parigi ini baru dihadapi di ruas Kalipucang-Parigi. Jalur ini lebih sulit dibangun lantaran tantangan alam berupa gunung, sungai, lembah, dan pantai. Para pekerja harus membangun terowongan-terowongan dan jembatan-jembatan besar sebelum mencapai Kota Pangandaran dan Parigi.

Karena Parigi dirasa kurang cocok menjadi tujuan akhir, SS lantas memutuskan untuk memperpanjang jalur kereta api sampai ke Cijulang. Selain dirasa cocok dan strategis, titik ini memudahkan SS jika ingin meneruskan pembangunan jalur menuju arah barat, yakni ke Pameungpeuk, Garut bagian selatan.

Jalur dengan panjang 82 km ini akhirnya mulai beroperasi pada 1921. Dari Stasiun Banjar ke Cijulang, jalur ini melewati stasiun Batu Lawang, Gunung Cupu, Cikotok, Banjarsari, Cicapar, Padaherang, Ciganjeng, Tungilis, Kalipucang, Sumber, Ciputrapingan, Pangandaran, Cikembulan, Cikalong, Cibenda, dan Stasiun Parigi.

Infografik Mozaik Menuju Pangandaran

Infografik Mozaik Menuju Pangandaran. tirto.id/Ecun

Tak Sesuai Ekspektasi

Karena cerita penundaan dan pembangunan terowongan dan jembatan-jembatan besar, pembangunan jalur Banjar-Cijulang terang menelan biaya sangat besar. Biayanya bahkan membengkak dari estimasi anggaran semula.

Jumlah biaya yang semula ada di kisaran 4.860.000 gulden membengkak menjadi 9.583.421 gulden. Secara keseluruhan, jalur kereta api ini melewati 4 terowongan, yakni Terowongan Philip, Hendrik, Juliana, dan Wilhelmina. Terowongan terakhir mempunyai panjang 1.116 meter dan menjadi terowongan terpanjang di Indonesia.

Selain itu, jalur ini juga melewati jembatan-jembatan panjang, yakni Cipamotan (310 meter), Cipembongongan (299 m), dan Cikabuyutan (176 m). Berat besi yang dipakai untuk pembangunan masing-masing jembatan itu tercatat sekitar 689 ton, 644 ton, dan 310 ton.

Jembatan-jembatan itu berada di atas ngarai yang cukup dalam yakni 38 meter, 40 meter, dan 34 meter.

Dalam bukunya Sedjarah Kereta Api Negara (SS/DKA) di Indonesia, Oerip Simeon menggambarkan keadaan para pekerja yang sedang memperbaiki jembatan di sana. “Bila kita duduk di dalam kereta api, pada waktu kereta api berjalan perlahan-lahan melalui jembatan yang sedang diperbaiki, maka kita acap kali merasa heran melihat mereka bekerja di antara langit dan jurang yang sangat dalam itu.”

Untuk menutup pembengkakan biaya pembangunan jalur Banjar-Cijulang ini, target pemasukan dari jalur ini pun ditetapkan sekitar 11 gulden per kilometer per hari. Target ini tidak tercapai bahkan setelah melewati tahun pertama operasionalnya.

Di tahun pertama setelah pembukaan, jalur ini hanya mampu membukukan pemasukan rata-rata 5 gulden per kilometer per hari. Kondisi ini lantas memunculkan suara-suara sumbang yang menginginkan jalur yang baru setahun diresmikan itu ditutup. Keadaan ini mendorong Gubernur Jenderal Hindia Belanda menjajal jalur ini untuk merasakan sendiri kegunaan kereta api di sana.

Jalur Banjar-Cijulang nyatanya bertahan selama masa kolonial dan bahkan setelah Indonesia merdeka. Jalur yang mempunyai ruas rel kereta di atas batu karang ini baru benar-benar ditutup pada 1980-an.

Baca juga artikel terkait KERETA API atau tulisan lainnya dari Hevi Riyanto

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Hevi Riyanto
Penulis: Hevi Riyanto
Editor: Fadrik Aziz Firdausi