tirto.id - Per 17 Februari lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan ada 100 kasus perselisihan hasil Pilkada 2020 yang gugur dan tidak dapat dilanjutkan ke tahap berikutnya. Hanya ada 32 kasus yang bisa berjalan ke tahap berikutnya atau hanya setara 24,25 persen.
Lewat rilis di laman resmi, MK menyebut 100 kasus tersebut terdiri dari 90 kasus putusan dan 10 kasus ketetapan. Dari 90 kasus itu, 75 di antaranya diputus dengan amar tidak dapat diterima karena terbukti tidak memiliki kedudukan hukum—atau legal standing—untuk mengajukan permohonan. 15 kasus sisanya diajukan melewati tenggat waktu yang telah ditentukan.
Dari 75 kasus di atas, MK menilai 70 di antaranya tidak dapat diterima karena permohonan tidak beralasan menurut hukum dan tidak memenuhi ketentuan pengajuan permohonan sesuai UU Pilkada.
“Dua kasus lain diajukan bukan oleh pasangan calon, dua kasus karena pemohon tidak memenuhi ketentuan sebagai pemohon karena kendatipun diajukan oleh pemantau pilkada terakreditasi tetapi permohonan ditandatangani hanya oleh salah satu, yaitu ketua umum atau sekretaris jenderal, padahal permohonan mensyaratkan tanda tangan keduanya secara bersama-sama, dan satu kasus diajukan pemantau pilkada yang tidak terakreditasi,” tulis MK.
Sementara dari 10 kasus yang berupa ketetapan, enam di antaranya ditarik kembali, dua kasus gugur karena pemohon tidak hadir dalam persidangan setelah dipanggil secara patut, dan dua kasus dinyatakan bukan merupakan kewenangan MK—objectum litis, bukan SK penetapan hasil akhir perolehan suara.
32 kasus yang belum diputus sudah dijadwalkan dalam agenda sidang berikutnya. “Yang sidang mulai hari ini dan berikutnya, itulah 32 perkara yang memasuki tahapan pemeriksaan persidangan lanjutan,” kata Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri MK RI Fajar Laksono saat dikonfirmasi wartawan Tirto, Senin.
Menyigi Lebih Detail
Laporan pemantauan yang dilakukan oleh Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, lembaga independen pemantau kepemiluan, menemukan banyak kasus yang gugur di MK karena melewati ambang batas. Dari total 90 kasus yang tidak dapat diterima oleh MK, 72 gugur karena alasan tersebut.
“Dan 15 kasus diajukan melewati tenggang waktu, tiga kasus diajukan oleh pemohon yang tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan: dua kasus diajukan oleh bakal pasangan calon Pilbup Nabire dan Manokwari Selatan, serta satu kasus oleh pemantau pemilihan yang tidak terakreditasi yakni Pilbup Raja Ampat,” kata peneliti KoDe Inisiatif, Ikhsan Maulana, Senin malam.
Seperti pendaftaran pada umumnya, ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Salah satunya penggugat kalah dengan selisih suara hanya antara 0,5 persen hingga 2 persen. Di atas itu bisa dipastikan gugatan akan ditolak. Syarat ini diatur dalam Peraturan MK (PMK) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Lebih detail, MK akan menerima dan memproses pengajuan gugatan di tingkat pemilihan gubernur jika:
- Selisih suara paling banyak sebesar 2 persen dari total suara sah di provinsi dengan penduduk kurang dari 2 juta;
- Selisih 1,5 persen untuk provinsi dengan jumlah penduduk 2 juta-6 juta;
- 1 persen untuk provinsi dengan jumlah penduduk 6 juta-12 juta;
- 0,5 persen untuk provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12 juta.
Untuk tingkat bupati/wali kota:
- Jika jumlah penduduk kurang dari 250 ribu, selisih perolehan suara paling banyak 2 persen dari total suara sah;
- 250 ribu jiwa-500 ribu jiwa dengan selisih 1,5 persen;
- 500 ribu jiwa-1 juta jiwa dengan selisih 1 persen;
- Lebih dari 1 juta jiwa selisih 0,5 persen.
Ikhsan menilai ada tiga variasi putusan MK terhadap enam daerah dengan calon tunggal itu. Empat daerah—Ogan Komering Ulu, Ogan Komering Ulu Selatan, Kutai Kertanegara, dan Balikpapan—tidak dapat diterima karena tidak masuk ambang batas selisih suara yang terpaut terlalu jauh. “Sedangkan untuk Raja Ampat, putusannya juga tidak dapat diterima tetapi dasar pertimbangan MK karena pemantau tidak terakreditasi. Dan yang terakhir di Manokwari Selatan yang mengajukan bakal pasangan calon sehingga kedudukan hukumnya tidak diterima oleh MK,” kata dia.
Peneliti KoDe Inisiatif lain, Violla Reininda, juga menyoroti empat kasus yang dianggap menarik karena tetap diterima oleh MK ke tingkat lanjut kendati tidak memenuhi beberapa persyaratan. Kata Violla, ini berpotensi menghadirkan landmark decision terkait penegakan keadilan pemilu dan memberikan penegasan soal netralitas dan profesionalitas penyelenggara pemilu.
Yang pertama, kata dia, adalah daerah Pilbup Samosir dengan nomor perkara 100/PHP.BUP-XIX/2021. Secara syarat formil, kasus di Kabupaten Samosir melebihi ambang batas dua persen dan pendaftaran berkas melebih tenggat waktu yang ditentukan. Kasus tetap masuk ke pemeriksaan pokok perkara dengan asumsi bahwa terdapat persoalan krusial di tahap pencalonan.
Menurut dalil pemohon, pihak terkait tidak memenuhi sejumlah dokumen persyaratan, yaitu terdapat dugaan ketidaksesuaian dokumen perpajakan dengan identitas terkait (calon bupati) serta ketidaksesuaian dokumen ijazah pendidikan dengan identitas terkait (calon wakil bupati) dan indikasi tidak dilegalisasi oleh pihak yang berwenang.
“Selain itu, pemohon juga mendalilkan adanya dugaan money politics dan pengawasan penegakan hukum pemilu yang tidak optimal,” kata Violla.
Kasus lain yang disoroti oleh Violla adalah Pilbup Konawe Selatan dengan nomor perkara 34/PHP.BUP-XIX/2021. Kata dia dalil-dalil yang disampaikan pemohon adalah pemberian mahar politik dalam proses pencalonan yang secara tidak langsung diakui pihak terkait, kampanye hitam, dan persoalan teknis pemungutan suara.
Violla juga mengatakan adanya ketidaktertiban administrasi penyelenggaraan—salah satunya mengenai TPS yang tutup sebelum jam 1, pelanggaran politik uang, pengerahan struktur pemerintah untuk pemenangan, hingga mahar politik.
“Pada jawaban pihak terkait, secara tidak langsung mengakui adanya keterlibatan ASN, tetapi dengan dalih merupakan inisiatif pribadi. Politik uang pun potensial terjadi, tetapi disampaikan bahwa pemberi dana tidak terdaftar sebagai tim pemenangan. Pun jika terdapat pemberian dana, hal tersebut diklaim sebagai dana operasional pasangan calon,” kata dia.
Yang ketiga adalah Pilbup Bandung dengan nomor perkara 46/PHP.BUP-XIX/2021. Kendati melewati ambang batas, dalil pemohon yang menyatakan adanya money politics atau menjanjikan sesuatu kepada konstituen melalui visi dan misi pihak terkait, seperti bantuan untuk RW, pembagian kartu wirausaha, bantuan pertanian, dan insentif guru ngaji. Selain itu, pemohon juga mendalilkan ada dugaan keterlibatan ASN dan penggunaan sarana dan prasarana keagamaan dalam kampanye.
“Selain itu, pemohon juga mendalilkan adanya kampanye pihak terkait yang menggunakan isu SARA terkait gender, yaitu menyatakan 'tidak ada sejarahnya Kabupaten Bandung dipimpin oleh perempuan dan perintah agama pemimpin harus laki-laki',” Violla menjelaskan.
Yang terakhir adalah Pilbup Yalimo dengan nomor perkara 97/PHP.BUP-XIX/2021. Kendati melewati syarat ambang batas yang ditentukan, tetapi permohonan tetap masuk ke pemeriksaan pokok perkara karena poin-poin yang menjadi pokok permohonan, di antaranya KPU tidak melaksanakan rekomendasi Panwascam, KPU melakukan rekapitulasi tidak sesuai dengan berita acara, dan sertifikat rekapitulasi.
“Serta terdapat dugaan perampasan, pengadangan, dan kekerasan oleh tim paslon pihak terkait terhadap logistik surat suara,” tambahnya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino