Menuju konten utama

MK Tolak Gugatan Pilkada Surabaya, Jagoan Risma Resmi Menang

Selisih perolehan suara pemohon gugatan Machfud Arifin-Mujiaman dengan Eri Cahyadi-Armuji melebihi syarat ambang batas pengajuan gugatan.

MK Tolak Gugatan Pilkada Surabaya, Jagoan Risma Resmi Menang
Pasangan bakal calon Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi (kiri) dan bakal calon Wakil Wali Kota Surabaya Armuji (kanan) menyampaikan sambutan usai pengumuman rekomendasi calon kepala daerah yang diusung Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan di Taman Harmoni, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (2/9/2020). ANTARA FOTO/Moch Asim/foc.

tirto.id - Permohonan perselisihan hasil Pilkada Surabaya yang diajukan pasangan Machfud Arifin-Mujiaman tidak diterima Mahkamah Konstitusi karena tidak memenuhi persyaratan ambang batas selisih perolehan suara.

Dalam sidang pengucapan putusan dan ketetapan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (16/2/2021), yang disiarkan secara daring, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul menyebutkan jumlah perbedaan perolehan suara antara pemohon dan pasangan calon peraih suara terbanyak adalah paling banyak 0,5 persen atau sebanyak 14.795 suara.

Sementara, selisih perolehan suara antara Machfud Arifin-Mujiaman dan Eri Cahyadi-Armuji adalah 145.746 suara atau sebesar 13,89 persen.

"Dengan demikian, selisih perolehan suara pemohon dengan peraih suara terbanyak, yaitu pasangan calon nomor urut 01 melebihi persentase sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal 158 Ayat (2) huruf d UU 10/2016," ujar Manahan M.P. Sitompul dilansir dari Antara.

Selain itu, hakim MK berpendapat dalil dan alat bukti milik Machfud Arifin-Mujiaman tidak cukup memberikan keyakinan kepada majelis hakim untuk menyimpangi ketentuan pasal itu dan meneruskan ke pembuktian.

Untuk itu, walaupun permohonan yang diajukan merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi dan diajukan masih dalam tenggang waktu pengajuan permohonan, permohonan tidak dapat diterima karena pemohon tidak memiliki kedudukan hukum.

Adapun dalam permohonannya, pasangan Machfud Arifin-Mujiaman sebagai pemohon menyebut terjadi pelanggaran yang dilakukan Pemerintah dan Wali Kota Surabaya untuk memenangkan pasangan Eri Cahyadi-Armuji.

Kecurangan yang disebut pemohon, antara lain Tri Rismaharini yang saat itu masih menjabat sebagai Wali Kota Surabaya seolah menjadi simbol pemenangan pasangan Eri Cahyadi-Armuji dengan menggunakan bantuan sosial pemerintah pusat untuk pemenangan serta memobilisasi rukun tetangga dan rukun warga melalui pembagian penghargaan.

Sementara itu, Pemerintah Kota Surabaya didalilkan di antaranya melakukan perbaikan terhadap fasilitas yang diajukan oleh warga pendukung pasangan Eri Cahyadi-Armuji, melakukan program pemberian makan gratis untuk pemilih lanjut usia dan memobilisasi aparatur sipil negara.

Eri Cahyadi diketahui merupakan birokrat di Kota Surabaya yang sangat dekat dengan Risma. Kariernya dimulai sebagai ASN di Dinas Bangunan Kota Surabaya pada 2001.

Kariernya terus menanjak hingga menempati berbagai jabatan strategis seperti Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Pemukiman, Cipta Karya Ruang dan Tata Ruang, lalu Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) dan Plt Kadinas Kebersihan dan Ruang Terbuka (DKRTH) pada 2018.

Sehari sebelum pengumuman pencalonan, Risma memberi sinyal bahwa ia mendukung Eri. Kendati tak menyebut nama, ia menyebut calon penggantinya harus bisa meneruskan program-program yang sudah dijalankan selama ini. Maka tak heran jika Eri disebut-sebut sebagai 'kubu Risma'.

Risma berhasil meyakinkan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri bahwa orang yang dijagokannya bisa meneruskan kepemimpinannya di Surabaya. Eri berhasil menyingkirkan Whisnu Sakti Buana, kader asli PDIP yang kala itu disebut-sebut sebagai calon kuat untuk mendapatkan rekomendasi dari DPP PDIP.

Selain PDIP, Eri Cahyadi-Armuji juga diusung Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan sejumlah partai non parlemen di DPRD Surabaya. Mereka berhasil mengalahkan Machfud Arifin-Mujiaman yang diusung 8 partai di parlemen DPRD Surabaya yakni PKS, PKB, PPP, NasDem, Golkar, Demokrat, Gerindra dan PAN.

Memang ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi para kandidat yang mengajukan gugatan perselisihan hasil pilkada (PHP). Salah satunya, penggugat kalah dengan selisih suara hanya antara 0,5 persen hingga 2 persen. Jika di atas itu, bisa dipastikan gugatan akan ditolak. Syarat ini diatur dalam Peraturan MK (PMK) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Lebih detail, MK akan menerima dan memproses pengajuan gugatan di tingkat pemilihan gubernur jika:

-selisih suara paling banyak sebesar 2 persen dari total suara sah di provinsi dengan penduduk kurang dari 2 juta;

-selisih 1,5 persen untuk provinsi dengan jumlah penduduk 2 juta-6 juta;

-1 persen untuk provinsi dengan jumlah penduduk 6 juta-12 juta;

-0,5 persen untuk provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12 juta.

Untuk tingkat bupati/wali kota:

-jika jumlah penduduk kurang dari 250 ribu, selisih perolehan suara paling banyak 2 persen dari total suara sah;

-250 ribu jiwa-500 ribu jiwa dengan selisih 1,5 persen;

-500 ribu jiwa-1 juta jiwa dengan selisih 1 persen;

-lebih dari 1 juta jiwa selisih 0,5 persen.

Peneliti dari Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Ikhsan Maulana saat dihubungi wartawan Tirto, Senin (4/1/2021) lalu sudah memprediksi akan banyak gugatan PHP ke MK yang ditolak karena gagal melewati syarat ambang batas.

Ia menduga banyaknya paslon yang ngotot tetap mengajukan sengketa hasil ke MK meski lewat jauh di atas ambang batas adalah karena mereka melihat celah. Salah satunya adanya pergeseran penerapan ambang batas, dari yang dulunya diterapkan saat pemeriksaan pendahuluan kini diperiksa dalam pokok perkara.

Baca juga artikel terkait PILKADA SURABAYA 2020

tirto.id - Politik
Sumber: Antara
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Zakki Amali