Menuju konten utama
19 Agustus 2014

Hario Kecik, Arek Surabaya yang Blak-blakan & Jadi Musuh Orde Baru

Hario Kecik adalah salah satu Jenderal TNI yang banyak menulis buku dan menjadi musuh Orde Baru.

Hario Kecik, Arek Surabaya yang Blak-blakan & Jadi Musuh Orde Baru
Ilustrasi Mozaik Soehario Padmodiwirio. tirto.id/Nauval

tirto.id - Jenderal Abdul Haris Nasution merupakan eksponen militer Angkatan 45 yang tak terkalahkan untuk urusan menulis buku. Selain menulis 11 jilid buku Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia dan beberapa jilid memoar yang berjudul Memenuhi Panggilan Tugas, ia juga menulis sejarah militer Indonesia.

Di bawah Nasution adalah Mayor Jenderal Suhario Padmodiwiryo alias Hario Kecik. Ia menulis berjilid-jilid buku Pemikiran Militer dan beberapa jilid Memoar Hario Kecik.

Yang membedakan Hario Kecik dari Nasution adalah ia menulis sejumlah novel sejarah dan skenario film. Selain itu, Kecik juga sangat blak-blakan menulis dirinya dan kolega-kolega seperjuangannya. Maklum, bagaimanapun Hario Kecik adalah Arek Suroboyo.

Kecik yang lahir di Surabaya pada 12 Mei 1921 tak ragu menulis hal-hal miring tentang koleganya. Sebagai contoh, dalam Memoar Hario Kecik: Autobiografi Seorang Mahasiswa Prajurit (1995) dan Pemikiran Militer 3: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia (2010:18-20), ia melaporkan hasil penyelidikannya bahwa perusahaan minyak asing, Shell, punya hubungan dengan orang-orang di Staf Umum Angkatan Darat. Letnan Jenderal Ahmad Yani, orang nomor satu di Angkatan Darat, berprasangka bahwa Hario Kecik ditunggangi buruh.

Contoh lain adalah tentang Suprapto Sukowati, Ketua Umum Golkar kedua yang menjabat dari 1969 sampai 1973. Dalam Pemikiran Militer 3: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia (2010:77), Kecik menulis bahwa Sukowati dikenal sebagai Pingji (kuping siji).

"Satu daun telinganya dipotong oleh seorang kapten anak buahnya karena ia selingkuh dengan istri kapten itu,” tulisnya.

Oleh Orde Baru Kecik dicap sebagai orang kiri, apalagi ia dituduh bertanggung jawab atas pembersihan kaum feodal di Kalimantan pada 1964.

Meski bukan sastrawan, Hario Kecik memberanikan diri untuk menulis novel. Hasilnya antara lain Liur Emas (2 jilid), Symbiosis Koruptor dan Pejabat Negara, Lesti, Si Pemburu, dan Dokter Gerilya. Novel terakhir dirilis setahun sebelum ia wafat pada 19 Agustus 2014, tepat hari ini 6 tahun lalu.

Martin Suryajaya menyebut Hario Kecik sebagai novelis obskur. Apa yang layak dihormati dari Hario Kecik, menurutnya adalah karena ia meluangkan waktu untuk ”bersastra” dan sangat produktif sebagai penulis. Meski secara teknis karya sastranya dinilai berantakan, namun sikap, heroisme, dan kenaifan yang terkandung dalam karyanya tidak bisa ditiru.

”Sebagai seniman namanya relatif tidak dikenal, tetapi kiprahnya sebetulnya banyak. Dia menghasilkan banyak karya, dalam hal misalnya naskah drama dan skenario film. Sebagian bahkan tidak diterbitkan,” kata Martin.

Ketika menjadi Panglima Kodam Mulawarman di Kalimantan Timur, ia memang pernah membuat film saat ramai Konfrontasi Ganyang Malaysia.

”Dengan kejeniusannya pula Hario Kecik memasukkan film sebagai strategi semesta negara yang diorkestrasi Sukarno berhadapan dengan Malaysia lewat proyek Konfrontasi,” tulis Muhidin M Dahlan dalam Politik Tanpa Dokumen (2020:175).

Infografik Mozaik Soehario Padmodiwirio

Infografik Mozaik Soehario Padmodiwirio. tirto.id/Nauval

Film dan Memoar

Film produksi Kodam Mulawarman itu, seperti diwartakan majalah Selecta (nomor 156, tahun 1963, hlm. 16), disutradarai Kecik bersama Sunjoto Adi Broto. Film kolosal ini didukung 10 ribu anggota Front Nasional sebagai figurannya. Film ini mengajak orang asli Kalimantan untuk terlibat. Maksudnya menyatukan mereka yang terdiri dari bermacam-macam sub suku agar tidak mudah diadu domba kaum imperialis.

Film ini bercerita tentang perjuangan para transmigran yang membuka lahan dan diganggu oleh orang-orang yang disebut ”tangan-tangan yang kotor” yang hendak mengacaukan hidup mereka. Mereka kemudian membentuk koperasi untuk menghalau para lintah darat yang mengisap kehidupan perekonomian. Film Tangan-tangan Kotor juga menggambarkan orang Dayak yang hidup berdampingan dengan para transmigran dari Jawa yang mengajari mereka bertani.

Tangan-tangan Kotor yang menghabiskan dana sebesar Rp 20 Juta ini mendapat sambutan dalam Festival Film Asia Afrika dan Amerika Latin pada 1964.

Dalam memoar atau autobiografi sejumlah tokoh Indonesia, banyak yang menonjolkan kisah sedih di masa lalu, mengaku miskin, yang seringkali diniatkan agar si tokoh terkesan ”from zero to hero”. Hal itu tak berlaku bagi Kecik.

”Sejak kanak-kanak saya tidak pernah mengalami kesulitan hidup yang serius,” tulisnya dalam Memoar Hario Kecik: Autobiografi Seorang Mahasiswa Pejuang (1995:24).

Ia adalah anak guru matematika yang bekerja di Angkatan Laut Belanda dan gajinya lebih dari cukup untuk menghidupi keluarga sehingga mampu membeli mobil. Kecik bahkan belajar di sekolah mahal Instituut Buys. Pendidikan menengahnya itu membuatnya bisa kuliah kedokteran.

Ya, Kecik memang pernah kuliah kedokteran. Namun, Perang Pasifik dan Perang Kemerdekaan mendorongnya menjadi tentara. Meski pernah dilatih memakai senjata ringan selama sebulan oleh PETA di Harmoni, tapi ia tak merasa menjadi bagian dari PETA.

Menurutnya dalam Memoar Hario Kecik: Autobiografi Seorang Mahasiswa Prajurit, Volume 2 (1995:287), PETA dan KNIL adalah tentara yang dibentuk untuk kepentingan penjajah yang menduduki Indonesia. Meski tak tergabung dalam keduanya, namun Kecik selalu percaya diri ketika berhadapan dengan perwira lain yang berpengalaman di PETA dan KNIL. Hal ini karena ia merupakan tentara hasil revolusi kemerdekaan yang terlibat dalam Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh