tirto.id - Sepanjang Perang Kemerdekaan, Kalimantan Timur merupakan daerah pendudukan Belanda. Meski demikian, berbagai perlawanan rakyat terus terjadi. Para buruh dan pekerja partikelir di pelbagai industri di kawasan ini banyak yang mendukung Republik yang baru eksis di Jawa dan Sumatra. Sebagian dari mereka bergerilya angkat senjata. Mereka pernah melakukan konsolidasi dengan satuan dari Jawa, yaitu Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) dari Divisi IV.
Setelah pengakuan kedaulatan pada 1949, di Kalimantan Timur sebagian orang Indonesia bekas tentara Belanda masuk TNI. Sejak 20 Juni 1950, angkatan darat di Kalimantan Timur berada di bawah komando Tentara dan Teritorium VI Tanjungpura yang berpusat di Banjarmasin. Di Kalimantan Timur terdapat Resimen Infanteri ke-22 yang pada tahun 1957 dipimpin oleh Letnan Kolonel Harjono.
Setelah komando Tentara dan Teritorium VI Tanjungpura bubar, maka pada 19 Juli 1958 untuk seluruh daerah Kalimantan Timur dibentuk Komando Daerah Militer (Kodam) IX dengan nama Mulawarman yang bermarkas di balikpapan. Nama Kodam ini diambil dari nama raja terkenal Kutai abad IV.
Panglima pertama Kodam Mulawarman adalah Letnan Kolonel Hartojo Martodihardjo. Menurut Suhario Padmodiwirio dalam Memoar Hario Kecik: Autobiografi Seorang Mahasiswa Prajurit (1995:568), selama menjadi Pangdam Mulawarman, Hartojo enggan menempati rumah dinas yang katanya berhantu.
Mantan perwira Banteng Raiders dari Jawa Tengah itu juga belum pernah ke pedamalan. Padahal ketika Kodam IX Mulawarman berdiri, bagian terbesar dari Kalimantan Timur adalah hutan belantara, sementara kota masih masih sangat sedikit.
Pengganti Hartojo adalah Suhario Padmodiwirio alias Hario Kecik. Dia datang ke Balikpapan pada akhir Agustus 1959 dengan pangkat kolonel. Dia menjabat Pangdam yang merangkap penguasa darurat militer daerah Kalimantan Timur. Kecik begitu menikmati tempat barunya, yang bahkan menginspirasinya untuk menulis sebuah naskah film berjudul Tangan-tangan Kotor yang menang dalam salah satu festival film.
Ketika Kecik datang ke markas barunya, tidak ada satu pun staf Kodam IX Mulawarman yang pernah memasuki daerah pedalaman. “Satu-satunya perwira adalah Letnan I Tosin yang pernah melihat daerah pedalaman,” kata Hario Kecik dalam Pemikiran Militer 2: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia(2009:147).
Hal itu pun karena Tosin adalah perwira distrik militer di hulu Sungai Mahakam. Tosin, kata Kecik dalam buku Memoar Hario Kecik: Autobiografi Seorang Mahasiswa Prajurit (1995:518), di masa Perang Kemerdekaan adalah intel tempur didikan Zulkifli Lubis yang menyusup ke Kalimantan Timur.
Maka bersama Tosin, Kecik meninjau daerah pedalaman Kalimantan Timur, yang di antaranya dengan menyusuri sungai yang deras.
Hario Kecik dikenal masyakarat Kalimantan Timur sebagai jago tembak. Salah satu hobinya adalah berburu. Dia pernah berburu dengan Kent Bruce Crane, pegawai kedutaan Amerika Serikat yang dicap agen CIA. Hario Kecik adalah jenderal yang tidak dekat dengan perusahaan asing meski sebetulnya di Balikpapan terdapat perusahaan minyak asing bernama Shell.
Pada Februari 1965, Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) alias KSAD Letnan Jenderal Ahmad Yani mengganti Kecik dengan Brigadir Jenderal Soemitro. Saat pergantian Pangdam Mulawarman itu, Konfrontasi Ganyang Malaysia sedang berlangsung.
Dalam serah terima jabatan pangdam, Mayor Jenderal Soeharto bertindak sebagai inspektur upacara mewakili Menpangad/KSAD. Soeharto datang bersama Soedirgo dan Maraden Panggabean.
Sebagai pengganti Kecik, Soemitro agak tersinggung dengan penyambutan di Balikpapan karena terdapat spanduk yang satu sisi bertuliskan: "Selamat Jalan Bapak Brigadir Jenderal Suhario" dan sisi lain bertuliskan: "Selamat Datang Saudara Brigadir Jenderal Soemitro".
Dalam Soemitro: Dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib (1994:14-15) mengatakan bahwa masyarakat sudah dihasut untuk membedakan dirinya dengan Hario Kecik. Dia melihat dan mendengar sendiri bagaimana Kecik berpidato--kata Soemitro dengan gaya sok revolusioner--pada malam perpisahan.
Kejengkelan Soemitro kian bertambah saat Ketua Front Nasional yang kebetulan orang PNI dalam sambutannya menyebut Hario sebagai Bapak dan Soemitro sebagai Saudara. Soemitro pun mutung berat.
Soemitro Menyerang Kecik dan PKI
Setelah resmi menjabat sebagai Pangdam Mulawarman, Soemitro meninjau daerah pedalaman seperti yang dilakukan Hario Kecik. Di pos barunya itu, Soemitro menghidupkan kembali kegiatan main golf dan dansa-dansi yang sebelumnya sempat dilarang Hario Kecik. Hubungan dengan kelompok feodal pun dijalin kembali oleh Soemitro.
Dalam autobiografinya Soemitro menyerang Hario Kecik, “Bekas-bekas Kesultanan Tenggarong dan Kutai sangat dirusak berlebihan oleh pendahulu saya. Sok Revolusioner!” kata Soemitro (1995:25).
Soemitro bersikap keras kepada PKI. Seorang pembaca puisi dari golongan yang dekat dengan PKI pernah dibentaknya pada perayaan Hari Kartini karena menyebutnya sebagai Jenderal Kanan yang tak mengerti revolusi.
Merasa kesabarannya diuji oleh PKI Kalimantan Timur, dia memanggil satu persatu perwira yang punya pasukan dan berkuasa atas ketertiban. Dia kemudian memerintahkan kepada Kapten Mu’in (komandan batalion) dan Mayor Murtiono (komandan polisi militer) untuk segera menangkap semua pengurus PKI dan underbouw-nya.
Maka sebelum peringatan Hari Buruh 1 Mei 1965, semua pengurus PKI dan organisasi sayapnya seperti Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), Persatuan Buruh Minyak (Perbum), Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), dan Pemuda Rakyat di seluruh Kalimantan Timur ditangkap.
Soemitro ternyata tak lama menjadi Pangdam Mulawarman. Pada November 1965, dia digantikan oleh Moeng Parhadimuljo yang sebelumnya sempat di RPKAD.
Mayoritas Pangdam Mulawarman diisi oleh orang-orang Jawa dan hanya satu orang Minahasa, yakni Mayor Jenderal Gustaf Hendrik Mantik. Di masa itu tak satu pun Pangdam Mulawarman yang berasal dari Kalimantan Timur. Di antara bekas Panglima Kodam Mulawarman ada yang kemudian menjadi Gubernur Kalimantan Timur, yaitu Ery Supardjan.
Warsa 1985, Kodam Mulawarman menjadi salah satu kodam yang dinonaktifkan oleh Benny Moerdani selaku Paglima ABRI. Semua kodam yang di seluruh Kalimantan kemudian digabung menjadi Kodam VI/Tanjungpura yang dipimpin Mayor Jenderal Feisal Tanjung dari 1985 hingga 1988. Dia kemudian digantikan oleh Mayor Jenderal Zain Anhar Maulani yang berasal dari Kalimantan Selatan. Tahun 2010 Kodam VI/Tanjungpura dipecah lagi dan Kodam Mulawarman diaktifkan kembali.
Jika sebelumnya hanya membawahi Kalimantan Timur, kini wilayah teritorial Kodam Mulawarman mencakup Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, dan Kalimantan Selatan.
Editor: Irfan Teguh