tirto.id - Prabowo Subianto resmi membubarkan Koalisi Indonesia Adil dan Makmur yang terdiri dari Gerindra, PKS, PAN, Demokrat, dan Berkarya. Pembubaran tersebut dilakukan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak seluruh permohonan Badan Pemenangan Nasional (BPN) terkait perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2019 pada Kamis (27/6/2019) kemarin.
Semua partai koalisi memang menyetujuinya. Namun Wakil Sekretaris Jenderal PKS Mardani Ali Sera berharap agar pembubaran itu bukan berarti membuat partai-partai yang selama ini bekerja sama memenangkan Prabowo-Sandi jalan sendiri-sendiri.
Menurutnya koalisi potensial jadi oposisi pemerintah--posisi politik yang sudah teguh dipilih PKS--selama lima tahun ke depan.
"Kami (PKS) akan mengontrol jalannya pemerintahan. Untuk itu, sebetulnya paling tepat tidak ada kata dibubarkan, tapi bertransformasi," kata Mardani di Cikini, Jakarta, Sabtu (29/6/2019) kemarin. "Kami ingin mencoba agar koalisi yang berubah tetap dapat efektif untuk mengontrol pemerintahan."
Mengomentari keinginan ini, dosen Komunikasi Politik dari Universitas Brawijaya, Anang Sudjoko, menegaskan tidak ada kawan abadi dalam politik praktis, dan mestinya PKS tahu itu.
Harapan Mardani agar koalisi tetap bergandeng tangan terbentur fakta bahwa partai-partai punya kepentingan masing-masing, yang mungkin lebih dapat diwujudkan justru saat mereka tidak lagi dalam barisan Prabowo-Sandi.
"Kemungkinan Demokrat dan PAN akan lepas, sangat kuat," kata Anang kepada reporter Tirto, Ahad (30/6/2019).
Dua nama yang disebut itu memang yang paling santer terdengar bakal merapat ke koalisi Jokowi. Agus Harimurti Yudhoyono dari Demokrat, misalnya, sudah bolak-balik menyambangi Istana untuk bertemu Jokowi. Pada 6 Juni 2019 AHY bahkan menemui Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri.
Bagi beberapa orang bergabungnya Demokrat ke petahana akan berdampak positif bagi karier politik AHY yang mungkin akan maju pada Pilpres 2024.
Sementara Wakil Ketua PAN, Bara Hasibuan, menegaskan bahwa semua partai yang pernah tergabung untuk mendukung capres-cawapres 02 independen menentukan sikapnya masing-masing. "Sesuai dengan kepentingan partai itu dan bagaimana posisinya yang paling tepat bagi partai ini untuk lima tahun ke depan," ujarnya kepada reporter Tirto, juga Ahad (30/6/2019) lalu.
Bara Hasibuan tak segan-segan mengatakan bahwa mereka mungkin akan merapat ke koalisi Jokowi--yang sudah sesak diisi 10 partai. Opsi ini muncul karena perpecahan yang terjadi karena Pemilu 2019 perlu 'diobati', dan menurutnya PAN dapat melakukan itu dengan bergabung ke pemerintahan.
"Kami siap menyebrang untuk mengatakan kepada rakyat [bahwa] PAN punya kebesaran hati untuk mendukung [pemerintahan Jokowi]," kata Bara.
PAN akan memutuskan semuanya dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) yang akan diselenggarakan paling lambat tiga minggu lagi. "Kalau memutuskan untuk bergabung ke koalisi 01, tentu kami harus punya komitmen yang kuat."
Senada dengan Anang, Direktur Riset Charta Politica, Muslimin, mengatakan keinginan Mardani sulit terwujud karena bahkan pada awalnya relasi koalisi pendukung Prabowo tergolong lemah/tidak ideologis. Mereka gabung jadi koalisi karena itu salah satu syarat wajib mengikuti pemilu 2024.
Hal ini juga sempat disinggung bekas Ketua MK Mahfud MD saat mengomentari kenapa bisa Demokrat bergabung ke Gerindra meski hubungan dua Ketum, Prabowo dan SBY, tak bisa dibilang baik.
"Koalisi itu dibangun untuk merebut kekuasaan. Jadi kalau di tengah jalan koalisi pecah, itu sangat wajar," kata Muslimin.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino