tirto.id - Nunu, seorang karyawan yang bekerja di salah satu perusahaan di Jakarta Pusat—mengaku punya pengalaman yang tidak menyenangkan dengan Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera (AJBB). Pencairan klaim yang diajukannya sulit keluar dengan segala alasan.
“Sekitar 2008, waktu itu mau mencairkan asuransi pendidikan untuk saya kuliah. Tapi lama banget cairnya, jadi kaya kita yang minta-minta. Padahal itu kan uang kita. Baru cair setelah ketemu pimpinannya,” kata perempuan berumur 27 tahun ini kepada Tirto.
Apa yang dialami Nunu barangkali juga dirasakan oleh para nasabah AJBB lainnya. Sejak beberapa tahun terakhir kondisi keuangan AJBB babak belur. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bahkan harus turun tangan untuk melakukan penyelamatan dengan langkah restrukturisasi AJBB.
Secercah harapan sempat muncul ketika AJBB bekerja sama dengan PT Evergreen Invesco Tbk (GREN). Dalam kerja sama itu, Evergreen, melalui anak usahanya PT Pacific Multi Industri membeli saham PT Bumiputera 1912. AJBB membentuk anak usaha bernama PT Bumiputera 1912 yang menaungi dua subholding, yakni PT Bumiputera Properti Indonesia dan PT Bumiputera Investama Indonesia.
Dari kerja sama itu, Evergreen berencana menerbitkan saham baru atau rights issue senilai Rp10 triliun, dari target awal Rp30 triliun, untuk membayar kewajiban AJBB. Sayang, upaya pendanaan tersebut ternyata gagal terealisasi.
Kendati rights issue gagal, restrukturisasi AJBB tetap berjalan. Kali ini, Erick Thohir dengan konsorsiumnya masuk ke Bumiputera 1912 sebagai investor strategis melalui Pasific Multi Industri, anak usaha Evergreen.
Bersama konsorsiumnya, Erick Thohir berencana menyuntik modal sebesar Rp2 triliun untuk PT Asuransi Jiwa Bumiputera (AJB). Adapun, AJB merupakan anak usaha dari PT Bumiputera Investama Indonesia.
Nantinya, AJB akan menjadi pengganti dan penerus AJBB dalam penjualan produk-produk baru asuransi. Sedangkan AJBB, hanya menyelesaikan klaim, dan menerima premi lanjutan dari pemegang polis lama.
Dalam perjalanannya, kerja sama antara AJBB dan Evergreen yang berjalan sekitar 1 tahun terpaksa berakhir. Pada 10 Januari 2018, kerja sama kedua perseroan itu resmi dibatalkan. Inisiatif untuk memutus kerja sama itu datang dari pihak pengelola statuter.
OJK mengambil alih pengelolaan AJBB dengan membentuk statuter—adalah orang perseorangan atau badan hukum yang ditetapkan OJK untuk melaksanakan kewenangan OJK karena alasan kondisi keuangan Perusahaan dapat membahayakan kepentingan, konsumen, sektor jasa keuangan, dan/atau Pemegang Saham, dan lain-lain.
“Kami minta Evergreen untuk sebagai partner dalam restrukturisasi. Namun di tengah jalan, visi investornya berubah jadi partner bisnis,” kata Adhie Massardi, Pengelola Statuter Bidang SDM, Umum, dan Komunikasi AJB Bumiputera kepada Tirto.
Perubahan visi menjadi mitra bisnis dinilai membuat AJBB tidak lagi memiliki kuasa untuk menentukan syarat, di antaranya seperti modal dasar sebesar Rp2 triliun di AJB. Apalagi, saham AJB sebanyak 100 persen dipegang oleh Evergreen.
Selain perubahan visi, sumbangan keuntungan dari AJB untuk AJBB juga jauh dari proyeksi awal. Seperti diketahui, dalam perjanjian kerja sama, AJBB akan mendapatkan profit sharing sebesar 40 persen dari AJB selama 12 tahun.
Dari proposal investor, total keuntungan yang akan diterima AJBB dari AJB selama 12 tahun mencapai Rp16 triliun seiring dengan disetornya modal dasar sebesar Rp2 triliun. Sayangnya, dalam setahun terakhir, modal dasar hanya terkumpul Rp536 miliar.
“Dari modal dasar itu, kami menghitung pendapatan dari AJB untuk AJBB menjadi hanya 10 persen dari target awal. Artinya, untuk 12 tahun ke depan, AJBB hanya mendapatkan Rp1,7 triliun. Makanya, kami tidak lanjutkan,” tutur Adhie.
Bagaimana kelanjutan dari upaya menyelamatkan AJBB?
Untuk waktu dekat, AJBB akan fokus menyelesaikan seluruh kewajiban dari berakhirnya kerja sama dengan Evergreen. Salah satu kewajiban itu adalah mengembalikan modal disetor di AJB sebesar Rp436 miliar, dari total Rp536 miliar.
“Total dana yang harusnya dibayar sebesar Rp536 miliar. Namun, karena AJB itu dibeli oleh Evergreen, maka kami hanya setor sebesar Rp436 miliar saja. Kami komitmen untuk segera selesaikan kewajiban ini,” ujar Adhie.
Pada saat bersamaan, Evergreen wajib mengembalikan PT Bumiputera Investama Indonesia (BII) dan Bumiputera Properti Indonesia (BPI) ke AJBB. Selain itu, Evergreen tidak boleh lagi menggunakan merek Bumiputera.
Setelah itu, AJBB akan menyiapkan diri untuk mulai berjualan produk-produk asuransi alias mencari polis baru. Maklum, setahun terakhir, AJBB hanya mengurus para pemegang polis lama saja. Rencananya, AJBB akan berjualan polis asuransi lagi pada awal Maret 2018. Namun, ini tentu tak mudah karena asuransi adalah kepercayaan.
Persiapan yang dilakukan AJBB antara lain dari sisi produk, standar prosedur, dan SDM. AJBB juga akan mengaktifkan kembali 7.000 agen. Saat ini, AJBB memiliki SDM sebanyak 2.100 karyawan, dari sebelumnya 3.200 karyawan.
Jumlahnya berkurang karena sebanyak 1.100 karyawan tersebut sudah dialihkan ke AJB—perusahaan asuransi jiwa yang kini berganti nama menjadi ke PT Bhinneka Life Indonesia pasca-pembatalan kerja sama Evergreen dengan AJBB.
AJBB Jamin Hak Pemegang Polis
Seiring dengan persiapan yang dilakukan perseroan, AJBB memastikan hak pemegang polis akan tetap dijamin perseroan. Menurut Adhie, AJBB tidak pernah sekalipun mengalami gagal bayar dalam memenuhi nilai klaim dari pemegang polis.
“Klaim yang ditanggung AJBB itu sekitar Rp250 miliar per bulan atau Rp3 triliun per tahun. Tentunya, AJBB siap membayar semua itu. Pengelola statuter juga bertanggung jawab untuk menyelamatkan hak pemegang polis,” katanya.
Besarnya nilai klaim yang ditanggung AJBB dinilai menjadi tantangan besar bagi perseroan. Apalagi, perusahaan asuransi yang memiliki jumlah nasabah sekitar 5,5 juta orang itu juga tidak menerbitkan polis baru selama 1 tahun terakhir ini.
Pengelola statuter AJBB berencana mengoptimalkan aset finansial senilai Rp5,5 triliun dan aset properti diperkirakan sebesar Rp6,5-7 triliun di PT Bumiputera 1912, induk usaha dari PT Bumiputera Investama Indonesia (BII) dan Bumiputera Properti Indonesia (BPI).
BII nantinya membawahi sejumlah perusahaan milik AJBB di bidang jasa keuangan, seperti PT Asuransi Jiwa Syariah Bumiputera, PT Bumiputera Sekuritas, dan PT Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967.
Sementara itu, BPI bakal menangani pemanfaatan properti milik AJBB. Pengelola statuter AJBB berharap optimalisasi anak usaha dapat menambah pendapatan AJBB, sehingga dapat membantu memenuhi nilai klaim dari pemegang polis.
“Sebenarnya AJBB itu bisa disebut organisasi dengan keuangan paling sehat apabila dilihat dari persepsi perusahaan mutual. Namun kalau dilihat dari sisi industri, ya AJBB menjadi negatif,” tutur Adhie.
Negatif yang dimaksud Adhie misalnya terkait ketentuan tingkat solvabilitas minimal sebesar 120 persen dari modal minimum berbasis risiko (MMBR). Sayangnya, Adhie tidak menyebut berapa nilai tingkat solvabilitas AJBB saat ini.
Rasio solvabilitas ini maksudnya adalah kemampuan modal perusahaan asuransi terhadap seluruh klaim nasabah, atau modalnya harus paling sedikit 120 persen dari nilai klaim.
Persoalan solvalitas ini terungkap kali pertama saat OJK menggelar konferensi pers khusus membahas Bumiputera pada Oktober 2013. Bumiputera dikenai sanksi peringatan oleh OJK. Peringatan diberikan karena rasio pencapaian solvabilitas AJBB kurang dari 120 persen.
Sementara itu, Ketua Tim Advokasi Penyelamatan Bumiputera Jaka Irwanta mengatakan dirinya tidak mempersoalkan upaya-upaya yang dilakukan statuter dalam menyelamatkan AJBB. Hanya saja, upaya itu perlu dilakukan dengan proses yang benar.
“PP [Peraturan Pemerintah] yang mengatur AJBB saja masih belum ada. Padahal sudah ada putusan dari MK. Baru setelah ada PP, bisa dibuat modal bisnis yang sesuai dengan aturan. Ini baru proses yang benar,” ujarnya kepada Tirto.
Restrukturisasi AJBB memang tidak mudah. Banyak hal yang harus dilakukan agar perusahaan asuransi yang berdiri sebelum Indonesia merdeka ini bisa bertahan.
Pemerintah harus segera menerbitkan peraturan pemerintah (PP) terkait perusahaan mutual—bukan sebagai perseroan terbatas dan dimiliki seluruh pemegang polisnya—seperti AJBB, agar program restrukturisasi menjadi lebih terarah dan jelas memberikan kepastian bagi para pemegang polisnya.
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra