tirto.id - Di Seattle, negara bagian Washington, dua guru dan seorang penulis sering berkumpul. Mereka adalah guru bahasa Inggris Jerry Baldwin, guru sejarah Zev Siegl, dan penulis Gordon Bowker. Setelah kumpul-kumpul itu, pada 30 Maret 1971, sebuah kedai kopi yang menjadi pemula dari waralaba Starbucks pun dibuka. Saat ini gerainya bisa ditemukan di kota-kota besar di Indonesia.
Zev Siegl dan Jerry Baldwin bukanlah kongsi guru pertama yang membuat perusahaan. Puluhan tahun sebelumnya di Hindia Belanda, tiga orang guru anggota Perserikatan Goeroe Hindia Belanda (PGHB) juga berkumpul dan mendirikan perusahaan asuransi.
Kisah ini bermula dari Mas Ngabehi Dwidjosewojo, seorang guru bahasa Jawa di Kweekschool (Sekolah Guru) di Jogja, yang menerima sebuah surat penawaran dari direktur perusahaan asuransi jiwa Belanda bernama Nederlandsch Indiesche Levensverzekering en Liffrente Maatschappij van 1859 (NILLMij). Perusahaan ini belakangan menjadi Asuransi Jiwasraya.
Seperti diceritakan dalam buku Bumiputera 1912 Menyongsong Abad 21 (1992), setelah membacanya Dwidjosewojo tak berkeinginan menjadi pemegang polis asuransi NILLMij. Ia malah terpikir untuk mendirikan sendiri maskapai asuransi untuk bumiputra. Namanya: Bumiputera
Tanpa menunggu tahun depan, dia mengusulkannya dalam Algemeene Vergadering (rapat umum) Boedi Oetomo di Jogja, organisasi tempatnya bernaung. Secara aklamasi, usul itu diterima. Sayang, kata setuju itu tak diikuti upaya yang membikin Dwidjosewojo puas.
Menurut Edward S. Simanjuntak dalam "Raksasa Bumiputera dari Tangan Guru" (Prisma No.2 Tahun XVIII, 1989), tidak adanya kepastian dari BO membuatnya menawarkan ide itu pada PGHB di tahun 1911. Di PGHB, sambutannya cepat. Dua anggotanya, M.K.H. Soebroto dan M. Adimidjojo, tertarik merealisasikannya.
Tiga guru PGHB itu bergerak. Selama beberapa bulan, perusahaan dipersiapkan. Pada 12 Februari 1912, Onderlinge Lavensverzakering Maatschappij Perserikatan Goeroe Hindia Belanda, yang disingkat OLMij PGHB pun lahir. Ia menjadi perusahaan asuransi jiwa milik PGHB.
Duduk sebagai Direktur adalah M.K.H. Soebroto dan bendahara M. Adimidjojo. Dwidjosewojo sendiri menjadi presiden komisaris. Mereka bertiga dianggap sebagai tiga serangkai pendiri Bumiputera.
Meski terkait dengan PGHB, bukan berarti semua anggota PGHB akan langsung jadi pemegang polis. Modal mereka sedikit. Menurut Edward Simanjuntak, lima pemegang polis pertama adalah Tiga Serangkai pendiri ditambah dua mantri guru bernama R. Soepadmo dan M. Darmowidjojo.
Besarnya premi ditentukan antara 0,75 gulden sampai 8,40 gulden. Lama kontrak 10, 15, 20, hingga 25 tahun. Jumlah uang tanggungan 250 gulden sampai 6.000 gulden. Ketentuannya, tiga tahun pertama setelah jadi pemegang polis asuransi, ia akan menjadi penabung biasa.
Jika meninggal dunia dalam tiga tahun itu, si ahli waris akan menerima penuh uang tabungan yang telah disetor sebagai premi asuransi. Jika lewat tiga tahun, maka ahli waris akan menerima seluruh uang sebesar yang tertera dalam polis. Para pengurus itu bekerja sukarela selama satu setengah tahun lamanya.
Pada 1 Oktober 1913, pemerintah kolonial Hindia Belanda mulai memberi subsidi 300 gulden tiap bulan. Harapannya agar asuransi juga dibuka untuk semua pegawai negeri, tak melulu guru saja. Akhirnya, setelah perayaan Tahun Baru 1 Januari 1914, perusahaan asuransi ini dibuka untuk semua pegawai negeri juga.
Pemegang polis baru pun semakin banyak. Menurut buku Bumiputera 1912 Menyongsong Abad 21, melalui majalah PGHB Dwidjo Oetomo, pada 25 Desember 1914 diumumkan bahwa OLMij PGHB berganti nama jadi OLMij Boemi Poetera.
Dalam perkembangannya, menurut catatan situsweb www.bumiputera.com, kantor pusat OLMij yang semula di Magelang pindah ke Jogja pada Januari 1921. Jogja adalah kota paling ramai di Keresidenan Kedu Selatan. Kantor awal mereka di Magelang, pada 1985 menjadi Museum AJB Bumiputera 1912. Tiga puluh tujuh tahun kemudian, Januari 1958 pusatnya berpindah ke Jakarta.
OLMij belakangan harus ganti nama setelah masuknya Balatentara Jepang ke Indonesia. Menurut Sintong Silaban dalam Asuransi di Indonesia: Pandangan Tokoh-tokoh Asuransi (1994), di zaman Jepang yang anti-Belanda, nama Perseroan Pertanggungan Djiwa (PTD) Boemi Poetra kemudian dipakai. Setelah kemerdekaan, banyak yang menyadari nama yang dipakai di zaman Jepang ini tak sesuai dengan semangat kebersamaan yang dibangun sejak 1912. Di Januari 1966, nama Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 resmi digunakan.
Sejak awal munculnya, sistem kepemilikan yang dianut adalah perusahaan ini adalah usaha bersama. Menurut situs www.bumiputera.com, “AJB Bumiputera 1912 adalah perusahaan mutual yang dimiliki oleh para pemegang polisnya dan dioperasikan untuk keuntungan mereka.[.....] AJB Bumiputera tidak memiliki pemegang saham eksternal atau asing, tidak dikendalikan oleh pihak ketiga atau perusahaan eksternal, dan semua keuntungan tetap dipertahankan di Indonesia.”
Para pemegang polis itu mempercayakan pada wakil-wakil mereka di Badan Perwakilan Anggota yang mengawasi jalannya perusahaan. Perusahaan yang dibangun Dwidjosewojo dan para kolega gurunya ini semakin besar, meski belakangan ada dalam kondisi babak belur.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani