Menuju konten utama

Guyonan Mendag Soal Caleg Bagi-Bagi Beras dan Ancaman Politik Uang

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menjamin pasokan beras di tahun politik aman karena bakal banyak caleg yang membagi-bagikannya gratis.

Guyonan Mendag Soal Caleg Bagi-Bagi Beras dan Ancaman Politik Uang
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyampaikan kuliah umum Kebijakan Perdagangan dalam Menghadapi Pasar Global di Era Revolusi Industri 4.0 di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, Jawa Barat, Jumat (14/9/2018).ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

tirto.id - Dengan nada guyon, Menteri Perdagangan RI Enggartiasto Lukita menjamin pasokan beras aman tahun ini hingga tahun depan. Faktornya: bakal banyak caleg yang membagi-bagikannya secara gratis. Ia juga menyebut pada saat yang sama peredaran uang bakal semakin banyak.

"Tekanan pembeli beras berkurang karena sembako dibagi-bagi caleg," katanya di Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (24/9/2018).

"Uang beredar banyak... boleh dicek di BI," tambahnya pada kesempatan yang sama.

Enggar bisa saja cuma bercanda dan tak bermaksud apa-apa. Tapi pernyataan itu bisa dimaknai lain, misalnya: memang masih ada politikus kita yang memanfaatkan kekuatan materi yang mereka miliki buat "membeli" suara masyarakat. Singkatnya, mempraktikkan politik uang (money politic) yang jelas dilarang.

Dalam Pasal 280 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, ditetapkan kalau pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang "menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu."

Jika terbukti melakukan itu, maka beberapa sanksi yang bakal dijatuhkan adalah pidana dan denda serta diskualifikasi.

Kita belum tahu apakah memang ada politik uang atau tidak pada pemilu yang bakal diselenggarakan tahun depan, setidaknya belum ada laporannya. Pun masa kampanye baru mulai pada Minggu 23 September kemarin.

Politik Uang dalam Pemilu

Namun jika merujuk pada pemilihan-pemilihan terdahulu, maka hal itu memang berpotensi terulang kembali.

Tahun 2014, pelanggaran terbanyak dalam pemilihan legislatif adalah politik uang. Hal ini disimpulkan Indonesia Indicator (I2), yang dalam risetnya memanfaatkan Artificial Intelligence (AI). Kesimpulan didapat lewat pemetaan terhadap berita yang dilansir oleh 292 media daring nasional dan daerah.

1.716 berita menyorot soal politik uang, atau setara 52 persen dari pelanggaran. Sisanya seperti penggelembungan suara dan pelanggaran kode etik.

"Situasi ini dibicarakan di seluruh provinsi di Indonesia," kata Direktur Komunikasi Indonesia Indicator Rustika Herlambang, dikutip dari Detik.

Tahun lalu pun demikian. Satuan Tugas Anti-Politik Uang yang dibentuk Polri memproses 25 kasus politik uang. Sementara temuan Badan Pengawas Pemilu lebih banyak, mencapai 35 kasus pada masa tenang pilkada 2018, 24-26 Juni 2018. Pelanggaran terbanyak terjadi di Sulawesi Selatan dengan jumlah delapan kasus.

Hal yang sama diakui Direktur Pencapresan PKS, Suhud Aliyudin. Ia membenarkan bahwa dalam politik uang sulit dicegah, terutama di daerah. Bahkan politikus yang berstatus petahana juga bisa saja melakukan itu.

"Jadi ada abuse of power, penyalahgunaan kekuasaan. Seharusnya itu diberikan cuma-cuma kepada rakyat, jadi malah diberikan dalam rangka kampanye," tuturnya kepada Tirto, Selasa (25/9/2018).

Masalahnya, polah para politikus ini juga disambut baik masyarakat, alih-alih ditolak. Survei dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada Mei lalu menyebut ada kecenderungan masyarakat tidak menolak duit atau barang lain yang diberikan kepada mereka dengan imbalan memilih calon tertentu.

Mereka menemukan kalau 40,5 persen responden di Jawa Barat menyatakan akan menerima uang/barang yang ditawarkan. Sikap serupa juga dikatakan 48,7 persen responden di Jawa Tengah, 40,5 persen responden di Sumatera Utara, dan 43,9 persen responden di Sulawesi Selatan.

Harus Ditangani Bersama

Politik uang nyatanya memang ada, dan karena itu ada aturan yang melarangnya.

Meski begitu, Ketua KPU Arif Budiman mengatakan maksud dan tujuan pemberian uang atau barang harus jelas sebelum mengkategorikannya ke dalam politik uang atau tidak. Misalnya, tak bisa disebut politik uang jika yang diberikan adalah bantuan pemerintah baik itu berupa pembangunan fasilitas, bagi-bagi sembako maupun bantuan langsung tunai.

"Itu harus kami lihat case by case, ya," ujar Arif di Hotel Bidakara, Pancoran, Jakarta Selatan pagi tadi (25/9/2018).

Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyebut kalau politik uang ibarat wabah yang rutin menjangkiti peserta dan masyarakat saban pemilu. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor, termasuk karena politikus itu sendiri yang "percaya kalau itu efektif," demikian kata Titi kepada Tirto.

Lantaran itulah harus ada upaya bersama dari pemegang otoritas seperti KPU dan Bawaslu, partai, pers, serta masyarakat.

KPU dan Bawaslu diharapkan mampu membuat mekanisme yang bisa melindungi para pelapor praktik politik uang. Minimnya pelaporan kerap terjadi lantaran para peserta pemilu yang membagikan uang merupakan tokoh terpandang dan disegani.

"Kan politik uang itu yang memberi dan menerima sama-sama pidana. Tapi kalau dalam Undang-undang Pemilu yang memberi saja. Harusnya kan dengan aturan seperti ini masyarakat jadi lebih berani," tambahnya.

Partai politik juga harus melakukan mekanisme kontrol pada para kadernya. Hal itu bisa dilakukan lewat instruksi partai.

Baca juga artikel terkait IMPOR BERAS atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Politik
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Rio Apinino