tirto.id - Baca Bagian 1 di sini: Black Flag dan Edukasi Instan Hardcore Los Angeles
Trigger Warning: di tulisan ini, ada bagian soal pelecehan seksual dan kekerasan.
Greg Ginn orang brengsek. Ia punya karakter disonan, serupa dengan gaya permainan gitarnya yang berisik, sumbang, dan egois. Begitu menyebalkan dirinya hingga tak ada satu pun orang menyukainya, bahkan anak perempuannya sendiri, Isadora dan Karis. Pada 2014 Ginn dituduh melecehkan kedua putrinya yang masih di bawah umur. Ginn tinggal bersama mereka di sebuah gedung apartemen tempat ia menjadikannya sebagai kantor bisnis sekaligus studio Black Flag.
Seperti dilaporkan oleh mantan istrinya, Marina, dalam sebuah affidavit: anak-anaknya sering kelaparan hingga hampir pingsan. Jarang ada sarapan di atas meja, dan ketika anak-anaknya minta makan, mereka malah kena damprat. Sekalinya disediakan, yang tersaji hanya daun selada dengan saus cuka atau sup ultra pedas. Bila mereka menolak menghabiskan Ginn mengancam tak akan pernah kasih makan lagi selamanya. Sering kali menu itu membuat perut mereka mual dan terpaksa dimuntahkan.
Tabiat Ginn terus berubah tak menentu dan berkembang semakin buruk. Ia memerintahkan anak-anaknya kerja rutin, sampai membersihkan rumah hingga pukul dua pagi. Ketika mereka mengeluh Ginn melemparkan boneka mereka ke luar jendela. Setiap kali Black Flag menggelar latihan, Isadora dan Karis akan dikurung di dalam kamar tanpa jangka waktu tertentu dengan pemutusan internet dan penyitaan ponsel.
Ginn bicara dengan umbar makian, mengonsumsi alkohol dan narkoba di depan mereka. Kalau sedang stres ia menjadikan anak-anaknya target pelampiasan dengan menimpuki gelas-gelas bir. Isadora dan Karis akan berteriak histeris ketakutan dan kabur sembunyi di kolong piano. Yang paling menjijikkan, Ginn beberapa kali mencabuli verbal putrinya, “Kalian berdua itu gembrot dan sensual,” katanya bersiul genit.
Beruntung Marina berhasil mengambil mereka dari Ginn dan membawanya ke ruang perawatan mental setelah keduanya mengalami serangkaian serangan panik dan depresi.
Ron Reyes, vokalis kedua Black Flag yang bergabung dalam rentang waktu tak sampai enam bulan—masuk 1979, keluar 1980 paska Jealous Again (EP, 1980), menuturkan bagaimana Ginn hidup amburadul, dan sepenuhnya mendukung pernyataan Marina.
“Saat tiba waktu bekerja di studio Greg mulai merokok mariyuana pakai vaporizer, bahkan dibawanya juga ketika kami tampil di panggung. Ia akan nyimeng sepanjang hari dan minum anggur, paling tidak sebotol atau dua setiap hari. Kami latihan sampai pukul dua atau tiga dini hari di mana mariyuana dan anggur tak berhenti dikonsumsi. Sering kali bandarnya nongol mengunjungi sesi latihan dan memberi suplai tambahan."
Menurut Reyes, Ginn melarang anak-anaknya masuk studio. Mereka juga tak diperkenankan berada di kantor. Mereka ditinggalkan di lorong di luar studio tanpa kursi atau sofa, jadi kedua anak itu dibiarkan duduk di lantai menunggu Ginn selesai. Beberapa kali mereka mengetuk pintu studio karena kelaparan tapi Ginn lebih sering menyuruhnya menyingkir.
"Dari apa yang terlihat, saya sangat yakin Greg tidak peduli dengan anak-anaknya. Masalah narkobanya sangat parah, menghancurkan kesehatan mentalnya," ujarnya.
Bukan tanpa alasan kenapa Reyes membeberkan bobroknya kehidupan Ginn. Ia salah satu orang yang menjadi korban kebrengsekan Ginn juga.
Ketika Black Flag melakukan reuni kedua pada 2013, Ginn mengajak Reyes alih-alih tiga figur lain yang pernah menjabat sebagai vokalis di band itu; Keith Morris, Dez Cadena, dan Henry Rollins. Agendanya adalah mematenkan jati diri siapa yang paling berhak mengukuhkan nama Black Flag.
Dengan tergopoh-gopoh mereka merilis sebuah album baru sejak In My Head (LP, 1985), berjudul What The... (LP, 2013), bersama dramer Gregory Moore (pernah main di Gone band sampingan Ginn) dan bassis fiksional Dale Nixon, pseudonim Ginn, yang sempat digunakan kala merekam sophomore, My War (LP, 1984).
Alasan kenapa Reyes yang dipilih karena kantong Ginn kosong. Tiga bekas vokalis lainnya telah membentuk kubu bernama FLAG IIII, yang melakukan tur dengan membawakan lagu-lagu klasik Black Flag dan sukses menjual merchandise bergambar logo empat bar yang legendaris itu.
Ginn menuduh mereka menjalankan bisnis pembajakan. Menurutnya, satu-satunya pemilik legal segala tetek bengek terkait intelektual adalah dirinya selaku pendiri band dan SST Records, label rekaman yang eksklusif memproduksi semua rilisan artistik Black Flag.
Reyes menerima tawaran Ginn dan menulis semua lirik untuk 22 lagu di album itu. Namun sedari awal niat Ginn memang cuma eksistensi diri sehingga tiap kali Reyes minta pendapatnya soal isian vokal atau gubahan lirik, ia selalu merespons enteng. ‘Keren, Ron! Fantastis, kamu melakukannya dengan sangat baik!’ Tapi itu semua omong kosong.
“Dia memberi lip service belaka karena di studio setiap saya menyanyikan lagu-lagunya, dia sibuk teler di ruang operator atau menonton pertandingan bisbol di komputernya,” ujar Reyes kepada situs BeatRoute.
Puncak masalah terjadi saat Reyes merasa Gregory Moore bukanlah seorang dramer mumpuni, padahal dia pilihan utama Ginn.
“Saya bicara empat mata dengannya, ‘Bung, permainan Anda menyedihkan. Kita tak bisa terus-terusan begini’,” ujar Reyes.
Dan ketika Reyes mengutarakannya pada Ginn, pecahlah angkara. Dia tersinggung naik pitam, “Berani-beraninya kau meragukan keputusan saya!” Sejak itu kondisi mereka memburuk permanen, hanya seminggu jelang tur promo dimulai.
What The... menjadi album Black Flag yang terlupakan. Seharusnya Ginn merilis ini sebagai bagian dari proyek solo saja dibanding memaksakan eksperimen konyol menggabungkan funk metal dengan theremin. Semua lagunya bertemperamen sama dalam artian jelek; datar. Sesekali masih terdengar kesaktian solo bengal Ginn, tapi secara keseluruhan gagal total dan meruntuhkan wibawa. Terutama ilustrasi sampul yang dikerjakan Reyes, tambah memperburuk musik yang sudah kronis menjemukan. Celakanya, kemungkinan besar Ginn sengaja melakukannya demi merusak warisan sangar Black Flag, bentuk kekecewaan seorang diktator yang enggan turun tahta, yaitu dengan mengenyek seluruh rakyatnya.
Di waktu yang bersamaan FLAG IIII tengah melaksanakan tur. Formasinya enigmatis: Keith Morris – vokal, Dez Cadena – vokal/gitar, Chuck Dukowski – bassis, Bill Stevenson – dram, Stephen Egerton/personel Descendents – gitar. Kompetisi adu banding pun tak terelakkan.
Bila ditakar secara solid, jelas FLAG IIII lebih memiliki daya dobrak. Menonton mereka menerbangkan memori kembali ke kalender 1981—meski kita lahir di Tanjung Priok—saat Black Flag tumbuh menanamkan nitrat di setiap dada anak punk Amerika yang pengen ngeludah setiap mendengar sirine mobil polisi.
Kita bisa membuktikannya sekarang juga, cari di YouTube: FLAG at Redondo Beach Moose Lodge no. 1873. Tua-tua keladi makin tua makin anjing. Sementara Black Flag di bawah komando Ginn tampil ompong ibarat boneka hardcore punk menyedihkan.
Ini adalah fakta yang diakui Reyes lewat sejumlah curhatan via kanal pribadi.
“Setiap malam ada banyak orang yang puas dan ada banyak juga yang cabut di tengah show. Tapi begitu media mulai memberitakan, kerumunan yang datang semakin kecil. Akses saya masuk ke situs web Black Flag dicekal karena saya tidak bersedia menyensor komentar negatif tentang betapa buruknya permainan dramer kami.”
Greg Ginn murka. Tentu saja. Tiga minggu paska rilis album, Reyes dipecat. Ginn dengan hilang akal menyatroni keluarga Reyes di kediamannya di Vancouver, Kanada. Reyes menceritakan ke media tanpa menjelaskan lebih detail jenis ancaman apa yang dilancarkan Ginn. Proses penendangan Reyes berikutnya pun berlangsung lalim.
Di titik terakhir tur Australian Hits and Pits, 24 November 2013, dengan dua lagu tersisa, Mike Valelly—manajer Black Flag saat itu—naik ke panggung untuk merebut mikrofon dari genggaman Reyes dan memotongnya dengan tatapan ketus.
“Kau selesai, pesta berakhir! Pergi dari sini, kelar udah!”.
Sadar itu merupakan momen penghakiman, tanpa banyak cingcong Reyes turun dari panggung dan bergegas balik ke hotel. Black Flag menyelesaikan konser dengan Vallely mengambil alih departemen vokal.
Reyes tahu Ginn telah merencanakan peristiwa malam itu. Sehari sebelumnya Ginn memberi ultimatum yang ditolaknya mentah-mentah: agar supaya berdedikasi, tidak mendukung segala aktivitas FLAG IIII. Kepada media, secara terus terang ia bilang mengagumi OFF!—band hardcore punk bentukan Keith Morris—bahwa ia tidak punya masalah dengannya, dan masih ingin berteman dengan kawan-kawan lamanya di band itu. Ia keberatan didikte, tak mau dilarang jika keputusan Ginn memang harus dikritisi.
“Saya tidak sudi memperlakukan seseorang layaknya Paus yang tak bisa disentuh. Tak ada satu pun pemain gitar yang patut diberi loyalitas buta di dunia ini,” sebut Reyes. “Juga tidak terkejut jika misalnya nanti Mike V yang bakal menjadi vokalis baru Black Flag. Mike adalah murid teladan Greg sehingga mereka pasti dapat bekerja sama dengan baik.”
Vallely merespons sindiran Reyes dengan menyebutnya sebagai si tukang gerutu yang argumentatif dalam wawancara Rolling Stone.
“Itu benar,” cetus Reyes terbuka. “Apalagi,” lanjutnya, “Ginn mengontrak saya hanya untuk merekam sebuah album, bukan melakukan tur. Tak ada kontrak yang ditandatangani. Jadi saya tak akan pernah menerima sepeser pun uang dari semua pertunjukan yang telah saya lakukan bersama mereka.”
Mengenai keberadaan FLAG IIII, Reyes telah menyarankan agar Ginn tak perlu menganggap mereka ancaman serius. “Kita mesti hati-hati bertindak dalam hal ini. Jangan mempermalukan mereka di hadapan publik. Mereka disukai banyak orang. Kalau kita tetap ngotot melawan, kita bakal dipandang sebagai sekumpulan orang tua yang getir.”
“Tai cicing! Saya memang getir!” balas Ginn menghardik.
Ginn memang mesin yang penuh amarah dan masalah.
Penulis: Rio Tantomo
Editor: Nuran Wibisono