Menuju konten utama

Greg Ginn: Gitaris Hardcore Tanpa Tanding

Tidak ada gitaris hardcore lain yang sepadan dengan Greg Ginn. Tidak juga Dr. Know atau Guy Piccioto atau Stephen Egerton.

Greg Ginn: Gitaris Hardcore Tanpa Tanding
Grup band Black Flag tampil pada hari ke-2 Hammersonic 2023 di Pantai Karnaval Ancol, Jakarta, Minggu (19/3/2023). Band punk rock legendaris asal Amerika tersebut membawakan sejumlah lagu dari album miliknya yaitu Nervous Breakdown,My War, dan Damaged. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/YU

tirto.id - Baca Bagian 4 di di Sini: Creepy Crawler: Tur Black Flag Keliling Amerika Serikat

Sewaktu Creepy Crawler sampai di New York kondisi van tak karuan. Sebuah kaleng rombeng beroda empat dengan badan korengan, kabur dikejar polisi, kaca jendela mereka retak diospek skinheads yang membenci hanya karena mereka berasal dari Los Angeles. Di pintunya tersemprot empat batang monolit pekat, dan entah sudah berapa kali mereka ngadat di tengah jalan.

Ini tur Black Flag, bukan Van Halen. Kebijakan D.I.Y. SST membuat mereka hidup layaknya gelandang bohemian, selama berbulan-bulan. Kuartet band bersama dua kru silih berganti menyupir dalam keadaan kurang tidur tapi penuh gelora dan mencoba istirahat di antara pinggang kram dan bangkai kaleng bir dan londre kotor. Udara yang beredar pengap menempel bau ganja karena meski berfungsi, AC lebih sering dimatikan atas nama pengiritan bensin. Stereo nonstop memutar kaset apapun yang dibawa sebagai bahan bakar substansial, sementara di depan sebuah truk boks berisi seluruh instrumen mereka, termasuk ampli dan set dram, melesat duluan mengejar venue.

Rumor soal Black Flag di pesisir timur telah santer: tidak ada yang sudi melewatkan penampilan perdana band punk yang digadang paling cepat, paling berisik, paling onar kancah American Hardcore. Dari D.C. ada Bad Brains sebetulnya, mereka tak kalah cepat, kulit hitam, ugal-ugalan, demen ngegele – akrobatis, politikal, tapi Black Flag merupakan mitos. Anak-anak punk di timur penasaran bagaimana depresi Hollywood disalurkan.

Salah satu orang yang gelisah adalah Henry Garfield—vokalis grup S.O.A. yang sebulan ke depan akan mengubah nama belakangnya jadi ‘Rollins’. Ketika Nervous Breakdown keluar, ia dan kawan baiknya, Ian Mackaye—vokalis Teen Idles, Minor Threat, Fugazi, dan pendiri Dischord Records—telah menyimaknya ekstensif dan terkagum-kagum dengan amarah yang terbangkitkan.

“Saya suka Black Flag karena mereka keren dan liriknya menyuarakan apa yang saya rasakan. Tapi juga membencinya karena saya ingin menjadi vokalis mereka,” kata Rollins di memoar jurnal Get in the Van: On the Road With Black Flag.

Rollins harus menyetir empat jam dari D.C. untuk menonton Black Flag di New York. “Saya tidak bisa lupa momen ketika mereka naik panggung,” lanjutnya. “Chuck Dukowski menghantam bass-nya, menciptakan suara bising tak ketulungan, dan berteriak ke arah penonton. Mereka bahkan belum memulai lagu pertama, tapi keadaan sudah hancur lebur. “I’ve Heard it Before” dimainkan dan orang-orang meledak. Semua lagu dibawakan dengan maksud untuk menghancurkan, menyebabkan sejumlah lebam. Sangat intens. Saya tidak pernah menyaksikan band seperti ini sebelumnya. Tampak mereka ingin mematahkan tulang mereka sendiri. Tidak ada waktu yang terbuang di atas panggung—benar-benar mengusik, saya bertanya-tanya dari planet mana mereka berasal.”

Dalam perjalanan balik Rollins mengaku dilanda serangan panik, dihantui proyeksi masa depan hidupnya yang menjemukan. Ia harus sesegera mungkin sampai di D.C. untuk menjalankan tanggung jawab sebagai manajer gerai es krim Häagen-Dazs.

“Saya sudah muak. Saya punya gaji bulanan dan simpanan di bank. Saya tinggal di sebuah apartemen nyaman. Tapi ada bos yang selalu siap membentak saya. Membosankan. Saya pergi ke tempat dan bertemu orang-orang yang sama setiap hari. Pekerjaan ini menyita hidup saya. Sedangkan, di seberang sana Black Flag keluar dari stereotipe itu dan mencoba melakukan sesuatu yang lebih berbahaya. Mereka bernyali untuk hidup seperti anjing tanpa gaji bulanan dan meraih kesempatan baru. Lalu tiba-tiba semua hal yang saya kerjakan selama ini jadi tak berarti. Saya adalah omong kosong, terikat dan terbantai habis-habisan oleh kebodohan,” kata Rollins.

Infografik Black Flag

Infografik Black Flag. tirto.id/Ecun

Gren Ginn, Seorang Diktator Jenius

Morris bertemu Dukowski di Amoeba Records atas undangan Rollins dalam rangka peluncuran Rise Above: 24 Black Flag Songs to Benefit the West Memphis Three (Sanctuary, 2002). Sebuah album penghormatan berisi lagu-lagu gubah ulang yang diaransemen Rollins Band dengan sederet vokalis gigantik. Figur selebritas Rollins memungkinkan ia mengajak tetamu para bintang dari Iggy Pop, Corey Taylor, Chuck D, Lemmy Kilmister, Mike Patton, Tom Araya, Tim Armstrong sampai sad boy Ryan Adams. Rollins mengamalkan album itu untuk membela tiga pemuda yang dituduh membunuh tiga orang lainnya dengan motif satanis, tragedi pembantaian West Memphis Three, 1993.

Greg Ginn sama sekali tak diajak. Ia sudah punya rencana sendiri. Tapi hanya Morris yang mengetahui. Sekitar dua bulan sebelumnya Morris berada di studio latihan dengan Ginn untuk reuni mentereng ‘Black Flag: The First Four Years.’ Itu sebuah momen besar, pikirnya, bersejarah karena akan menjadi panggung pertama mereka sejak mereka buyar 1986. Terakhir kali Morris bernyanyi dengan digitari Ginn terjadi 20 tahun silam di masa transisi pergantian ke Dez Cadena, ia membantu sekali-dua kali.

“Saya melihatnya seperti lotere. Sebuah situasi seharga—mungkin USD100.000, untuk manggung dua malam. Dan ternyata itu sebuah konser amal untuk kucing. Jadi saya berpikir, ‘Wow, akan ada Ron dan Dez dan Robo juga di sana.’ Saya sudah lama ‘gak nongkrong dengan teman-teman saya!” kata Morris kepada Legs McNeil, pendiri Punk Magazine di 2013.

Morris tengah lowong kala itu, rehat dari tur Circle Jerks 2003. Sesuatu yang tadinya berkira hebat ternyata zonk! Di studio Morris merasa kikuk melihat tiga orang lain, bukan Dez-Ron-Chuck-Robo, kasak kusuk memainkan lagu-lagu yang diulang-ulang lima-enam kali beruntun. Kagak beres, kata Morris, buang-buang waktu. Maka ia mencolek Ginn, “Jadi kapan Chuck bakal nongol ke sini?” tanya Morris.

“’Gak ada orang yang mengirim berita apa pun ke saya,” sahut Dukowski saat menanggapi Morris di Amoeba.

“Yah, well. . . .” balas Morris mengayunkan bahu, “silakan kau pelajari sekarang.”

Morris sepenuhnya berniat mundur dari mega rencana konyol Ginn. Ia tidak akan pernah datang ke studio lagi sebelum Ginn memberi kejelasan kehadiran Robo dan Dukowski. Morris mencoba mencari teman-temannya, meninggalkan pesan tak berbalas di mesin telepon Dez yang tinggal di New Jersey, dan ia akan mengabari Robo kalau saja tahu bagaimana caranya. Sejak awal 2000-an Robo tinggal di Kolombia, jika Misfits sedang kosong panggung. Satu-satunya orang yang kemudian menghubunginya adalah Greg Ginn. Ia mencak-mencak karena mendengar Morris menyebar gosip buruk tentang dirinya.

“Kau sudah bicara dengan Robo? Ia bakal ikut, ‘gak?” balas Morris.

“Itu bukan urusanmu. Saya akan menghubungimu saat giliranmu buat latihan tiba,” kata Ginn.

“Bagaimana dengan Chuck?”

“Saya belum menghubunginya.”

Di hari pertunjukan The First Four Years dilaksanakan Morris dikabari kalau dirinya dapat bangku kehormatan di balkon VIP. Ia tidak datang, tentu saja. Tapi telinganya terbuka, ia mengoleksi semua kisah tentang situasi fatal yang terjadi malam itu dan mengemprit. “Mereka dilempari kaleng bir, orang-orang menjual tiket hari kedua mereka. Yang sampai ke saya tentang konser itu cerita horor semua,” kata Morris pada McNeil.

Kita tidak tahu apa maksud Morris. Yang jelas ia tampak kecewa ditusuk dari belakang. Ia terlalu resisten dan banyak tanya, yang membuat sifat diktator kekanakkan Ginn tersinggung. “I’ve been left in the dark. . . .” kata Morris.

Karena ternyata formasi reuni tiga malam amal penyelamatan kucing ‘The First Four Years 2003’ itu adalah Dez Cadena – vokal/gitar, Greg Ginn – gitar, Robo – dram, C’el Revuelta (RIP) – bassis, yang sempat instan bergabung menggantikan Kira Roessler pada 1986. Saat set My War dibawakan,Vallely dan Moore naik panggung cermin baru wajah Black Flag.

Seburuk-buruknya persepsi kita terhadap Vallely menjabat vokalis Black Flag, ia telah menjalaninya berkala sejak 2013. Di era reformasi album What The... mulanya Vallely diajak bergabung guna menangani manajemen dan publisitas, begitu Reyes dipecat ia otomatis masuk mengisi kekosongan. Sejujurnya Vallely adalah sosok hardcore yang tepat untuk ukuran Greg Ginn, bukan Black Flag—Black Flag sudah mati sejak Allen Ginsberg dan David Bowie datang ke konser mereka, medio 1984. Ginn menyukai Vallely karena mengingatkan akan masa tangguh perawakan alpha male Henry Rollins dulu.

Dari sudut mana pun ditakar Vallely tampak seperti seorang pria panasan tukang ribut yang tak gentar dikerubuti lima Chicano di lapangan parkir. Ia adalah anjing jalanan. Mulai di usia 14, sebagai seorang pionir street skater di era 80-an, ia menemukan sejumlah trik orisinil sedunia-persilatan dengan Rodney Mullen dan Richie Jackson. Airwalk, Wall Ride, Foot Plant, Fastplant, engkel bengkak tubruk Posko Babinsa.

Lintasan tempat mainnya membuat ia sering ribut melawan polisi. Vallely musuh polisi, mengelabui mereka adalah kerjaannya setiap hari, kucing-kucingan mencuri lompatan boneless iseng di jam kota pulang kantor. Ia juga seorang stuntman dan atlet liga hoki federal. Vallely punya kredensial Mike V si skater terhormat, ‘seorang asshole but not much.’

Pada 2001 ia mendirikan band pertamanya, Mike V and the Rats. Ginn mengajaknya membentuk Good For You, album mereka Full Serving (LP, 2013) membuncahkan tenaga konfederasi southern punk – heavy sludge ala My War. Ginn resmi mengangkat Vallely pada 2014 dan langsung dibawa menjalani seri pendek Victimology US Tour. Setelah sempat lama tak berkabar, tiba-tiba diumumkan kembali untuk pertama kalinya dalam lima tahun, Black Flag bakal main di sebuah festival bir dan taco di California 2019, sekaligus menjadi show pembuka dari tur keliling Amerika, dan berlanjut ke Eropa—main lagi di Inggris yang sinis setelah 35 tahun. Lalu rencana selanjutnya bergerak ke Asia, menghadapi berak pandemi di satu tanggal yang gagal di Hammersonic Jakarta 2020.

Ketika Black Flag berencana melakukan tur My War 2023 keliling Amerika, mereka melunasi tanggungan utang terlebih dulu di Indonesia. Kita merasa beruntung tetapi juga murung. Entah kenapa. . . .

Hammersonic 2023 malam itu tidak begitu meminati Black Flag. Siapa yang peduli dengan nostalgila sebuah band hardcore tua? Tepat sebelumnya di panggung sebelah Watain—tipe band riasan yang dibenci Rollins—baru selesai menutup pertunjukan teatrikal mereka dengan melemparkan hati sapi mentah ke penonton. Nun seberang di panggung utama sana Trivium sedang melakukan penghiburan di hadapan populasi berjumlah 8 kali lipat daripada yang disambut Mike Vallely.

Black Flag mungkin hanya ditunggu 5 persen jemaat Hammersonic—5 persen jemaat yang mengerti seberapa intens energi D.I.Y. dapat mempengaruhi pola pikir. Sisa persenannya heboh dijubeli ribu-ribuan pengharap kebesaran tuan showbiz Slipknot yang maha ageng.

Tak ada sekali pun tarikan vaporizer Greg Ginn yang tertangkap di Hammersonic kemarin. Ia pasti masih suka nyimeng, tapi hari-hari kacaunya—manggung sambil teler, mungkin telah dikurangi. Di 2012 Ginn pernah diundang main di panggung kecil di Coachella di mana ia tampil giting dengan minus one terjun bebas ber-theremin. Ginn bukan gitaris kaleng-kaleng. Permainan anti genrenya membuahi perkembangan bagi grunge, stoner rock, dan doom metal.

Omar Rodriguez-Lopez, gitaris prog yang gemar main ribet di bandnya, Mars Volta dan At The Drive-In mengakui Greg Ginn adalah prototipe seorang gitaris baginya.

“Semua suara disonan, riff berat bikinannya. . . . dan ketika saya semakin menggali musik lebih dalam, saya menyukai sifatnya yang keras kepala, untuk tetap jujur kepada dirinya sendiri. Orang-orang sering komplain karena dia jarang memainkan lagu-lagu lama di panggung, tapi ia acuh, ‘Maaf, saya sudah mencapai di titik yang berbeda, saya tidak akan melangkah mundur.’”

Jakarta beruntung dapat melihat Ginn menyarangkan salah satu solo blues belepotan terbaiknya di “Slip It In”. Usianya 69. Lagu itu sengaja diberi banyak lubang agar ia dapat memuaskan kejahilan memparodikan Chuck Berry dengan colongan-colongan ranjau yang janggal. Tepat ketika ruang bagi solo gitarnya tergelar di situlah Ginn kerasukan, pendek saja. Jajaran melodinya seperti disusun terbalik menyesatkan logika. Kegemarannya akan jazz memungkinkan Ginn memainkan bagian-bagian puting beliung itu, triple not silang semburat, dengan sound mesin mobil karatan. Sui generis.

Tidak ada gitaris hardcore lain yang sepadan dengan Greg Ginn. Tidak juga Dr. Know atau Guy Piccioto atau Stephen Egerton. []

Baca juga artikel terkait BLACK FLAG atau tulisan lainnya dari Rio Tantomo

tirto.id - Mild report
Kontributor: Rio Tantomo
Penulis: Rio Tantomo
Editor: Nuran Wibisono