Menuju konten utama

Creepy Crawler: Tur Black Flag Keliling Amerika Serikat (Bag. 4)

Pada musim dingin 1980 Black Flag nekat menggelar The Creepy Crawler, untuk pertama kalinya tur dan langsung berangkat ekspedisi keliling AS.

Creepy Crawler: Tur Black Flag Keliling Amerika Serikat (Bag. 4)
Black Flag Band. ANTARA/www.blackflagband.com

tirto.id - Baca Bagian 3 di sini: Black Flag Melaju Kencang, Makin Ambisius

“Depression” masuk ke Damaged (LP, 1981). Debut album yang paling diantisipasi kancah American Hardcore. Mereka telah mendengar beragam kabar kerusuhan fenomenal yang sering mengiringi panggung Black Flag. Lagu itu merupakan luapan frustrasi anak-anak L.A. menghadapi kesenjangan ekonomi yang dengki ditebang glamoritas Hollywood. L.A. adalah kota yang indah, namun berbahaya. Perampokan di mana-mana, pemerkosaan terjadi sembarangan, intimidasi ras, pengangguran merajasinga, lintah darat mafia narkoba, penduduk L.A. mencoba hidup tenang dengan menikmati ketakutan.

Rollins, warga pendatang yang pindah dari D.C. setelah menjadi vokalis Black Flag pada 1981 menggambarkan situasi L.A. dengan mengejek tren band-band glam metal begajulan rambut mekar yang berkeliaran petantang-petenteng sok macho di Sunset Strip era itu. Ketika hardcore punk berkembang di paruh pertama 80-an, Motley Crue sedang menjadi fenomena, diekori band-band underated sejenis Faster Pussycat, W.A.S.P., Pretty Boy Floyd, Hanoi Rocks, Dangerous Toys, juga Brittny Foxx.

“Saya tidak tahu soal band-band itu, tapi pakaian mereka bodoh. Kalau kau ingin kelihatan tangguh coba bikin panggung di L.A. Timur, tempat tinggal pekerja kasar dan warga kumuh L.A. yang sebenarnya. Pakai celana kulitmu dan teriakan slogan ‘highway to hell’ tololmu itu, kita tunggu berapa lama kau bisa bertahan di sana sampai organ tubuhmu terburai di jalanan.”

Satu racun mematikan Los Angeles lainnya adalah brutalitas LAPD, sebagai kesatuan polisi yang terkenal paling rasis di Amerika. Sejarah telah mencatat kekejaman mereka, terutama kepada imigran di luar warga kulit pucat (baca: putih).

Pada 1965 pecah enam hari Kerusuhan Watts akibat rebutan lahan antara warga kulit hitam dengan kulit pucat. Pasukan Garda Nasional sampai harus turun tangan menahan 4.000 orang dan membunuh 34 lainnya. Ruben Salazar, seorang wartawan keturunan Meksiko yang memperjuangkan penindasan hak sipil dibunuh LAPD dengan peluru di jidat, 1970.

Pada 1992 polisi memukuli Rodney King, warga kulit hitam hingga tewas. LAPD hobi menghabisi warga kulit hitam dan Latino, sekitar tiga atau empat orang berkulit warna dibunuh per bulannya. Hasil statistik polisi di 2019 mengejek kalian para aktivis anti rasisme: total mereka telah menembak 58 persen warga L.A., yang 49 persen korbannya merupakan Latino.

Polisi juga mengincar kerumunan punk yang dianggap sebagai pembuat onar. Pada masa itu Robo, dramer misterius imigran Kolombia sudah masuk formasi. Jadi ada dua Latino di Black Flag sekarang. Pertama kali polisi menggeruduk adalah ketika lubang tempat latihan mereka bareng Würm, digrebek lantaran menempati properti ilegal.

Saat itu polisi sudah mengendus siapa Black Flag dari bukti coretan dinding kota, tempat kanvas tembok berbicara protes. Morris mengaku sering mengisi waktu dengan turun ke jalan bersama anak-anak dari band lain, seperti Lewd dan Screamers dan Weirdos untuk menggambar logo band masing-masing. Empat batang monolit bergaung di mana-mana, melambai disemprot pilox hitam, memprovokasi jalur vandal.

“Itu salah satu bentuk awal kultur grafiti ‘tagging’. Kami menggambari bodi mobil, entah punya siapa, kami mencorat-coret gedung-gedung,” kata Morris di Spray Paint The Walls: The Story of Black Flag (2011), bikinan Stevie Chick.

“Tapi bukan lantas jika adanya empat batang di sana menjadikan kami sebuah gang, dan ini teritori kami, jadi jangan macam-macam. Pada dasarnya cuma: Hey, itu Black Flag – Sinilah! Kami menyapa. Dan kemudian orang-orang sepenjuru Selatan Kalifornia ikut-ikutan menggambarnya. Logo yang jenius. Kami mesti berterima kasih pada Raymond.”

Pettibon menggila di poster-poster konser. Kartun-kartunnya memuntahi sekujur L.A. menertawakan kebusukan otoritas. Di sebuah dinding gereja terplester gambar polisia berkumis Adam Inul sedang menawarkan es krim kepada anak kecil. Pettibon mengerjakan gambar-gambar itu setiap hari, tekun dan disiplin seperti seorang ilmuwan. Karakter-karakter yang dibuatnya memancarkan wajah frustrasi sebuah generasi, atmosfer paranoia L.A. yang diruncingkan lewat sejumlah penggalan dari novel Marcel Proust, testimoni pengadilan Charles Manson, ayat alkitab, atau satiris pundit H.L. Mencken.

Make Me Come, Faggot!’ atau ‘Everyone Loves A Handsome Killer!’ atau ‘Tormenting Me’. Dan Lalu Ginn meminjam ilustrasinya, memampang pekat nama Black Flag selayak melayangkan tinju balasan ke wajah seorang opsir.

Black Flag kontan menjadi musuh bebuyutan polisi. Beruntun tiga konser mereka disergap. Siaran NBC’s Tomorrow menyiarkan berita intervensi tersebut, yang paling heboh terjadi di East Hollywood Hall – 10 November 1980. Seorang sherrif yang diwawancarai mengatakan kalau pemilik kelab menelepon mereka untuk melaporkan ada sebuah band yang berorasi agar sistem otoritas dirubuhkan, seruan itu membakar darah penonton hingga ingin menghancurkan perabotan di sana. Polisi yang tadinya hanya siaga di luar terpancing merangsek setelah diteriaki ‘Sieg Heil!’ oleh gerombolan punk, yang kabur-kaburan dilibas baton persis kejadian film Quadrophenia.

“Polisi selalu mengawasi kami,” aku Morris. “Saya ingat Chuck pernah bilang suatu malam abis manggung, ada mobil polisi membuntutinya sampai dia dirasa aman masuk ke rumah.”

Ron Reyes berhenti dari Black Flag karena lelah dengan model kekerasan itu. “Tidak peduli saya sedang berkhotbah tentang agama atau sekadar menyindir rumput pekarangan, orang-orang tetap akan terpicu bikin rusuh. Keadaannya sudah seperti kandang kebun binatang,” cetusnya.

Paska kerusuhan di Hollywood, Chuck Dukowski tampil di depan kamera TV National dengan rambut Mohikan. Duduk santai mengenakan t-shirt ketek warna merah yang membuatnya tampak seperti seorang kombatan Zapatista. Ia menjawab dengan tenang tanpa emosi. Pertanyaan pertama yang diajukan: “Apakah pergerakan punk adalah juga bagian dari pergerakan Nazi?”

“Tidak sama sekali. Polisi, lah yang sebetulnya Nazi.”

“Kenapa polisi menentang kalian?”

“Mereka takut karena kami mewakili suara perubahan. Musik kami agresif, sangat keras, dan itu adalah saluran pembuangan. Kekerasan aktual, entah diminta atau tidak, pasti bakal terjadi. Orang-orang datang ke pertunjukan kami untuk meluapkannya. Kita bernafas di dunia yang putus asa, mungkin empat tahun dari sekarang semua kehidupan ini akan musnah. Orang-orang menyimpan kemarahan di kepala mereka masing-masing. Semua simbol yang ada pada kami adalah usaha untuk mengalienasi masa lalu, dan polisi takut karena kami tidak memberikan ‘V Sign’ atau mengalungkan bunga tanda perdamaian, tapi mengenakan jaket kulit, paku, dan rantai dan memainkan musik keras yang melambangkan bahaya.”

Ginn turut memberi komentar terkait soal itu di BBC Radio One, 1981. “Reputasi kami selalu buruk dari waktu ke waktu. LAPD bertindak sangat militeristik dan fasis. Mereka bernafsu mengontrol semua hal, termasuk pergerakan subkultur. Hampir semua kerusuhan di konser kami terjadi akibat kehadiran polisi. Saya tidak mengerti kenapa mereka sampai harus mengerahkan helikopter dan seluruh detasemen hanya untuk mengintimidasi sebuah pertunjukan punk rock?”

Operasi Pekat: Tur Creepy Crawler Keliling Amerika Serikat

Suara Dukowski di TV Nasional tempo hari jadi toa ke seluruh Amerika. Seolah mengumumkan, bahwa kami di Los Angeles juga main punk rock. Kami tidak suka Peter Frampton, tapi kami berjingkrakan di sana pas Sex Pistols datang menyanyikan Stooges, “No Fun”. Kami juga suka Damned dan Stiff Little Fingers. Gimana cara kalian mengedarkan kaset? Kenal dengan seseorang dari Slash Magz? Apa Black Flag bisa manggung di sana, kawan?

Greg Ginn, mau sebagaimana pun monyetnya dia, adalah orang yang bisa diandalkan. Ia yang bertanggung jawab atas kelangsungan Black Flag. Ia membiayai sebuah bangunan bekas gereja untuk kamp tinggal dan studio latihan bernama The Church. Robo dan Reyes tinggal di situ, beberapa anggota Red Kross dan Last juga. Ketika The Church digusur, ia menyewakan sebuah rumah kantor di tepi Pantai Hermosa.

SST menopang ambisi Ginn sepenuhnya. Sambil mengatur tur diam-diam ia mengintai band-band lokal sekitar, saling bertukar kaset demo, dan menjadikan mereka band pembuka pertunjukan Black Flag. Sebagai label rekaman SST suka dengan musik quirky. Ginn dan Dukowski gemar mencari sekte berisik, musik-musik yang dipertanyakan dan membingungkan orang-orang. Dalam 167 kata sinonim persetan-KBBI yang ditemukan, ‘quirky’ juga berarti: pelik, berat, rumpil, runyem, silang selimpat, terik, gaib, keotik, encok, kram, pejal, bengal, bedegong, sableng, gabir, gila, invalid, selit belit.

Infografik Black Flag

Infografik Black Flag. tirto.id/Ecun

SST Records meriliskan album-album jazz punk Saccharine Trust. Speed punk Overkill L.A. dan Stains. Würm sludge. Proto grunge Meat Puppets. Antidot punk Hüsker Dü. Kanadian punk Subhumans. Tar Babies the noise punk. Psychedelic surf Lawndale. Dicks the Marxist punk. Post punk Slovenly. Alt-punk SWA. Di samping band-band besar di era kult mereka: Soundgarden, Dinosaur Jr, Sonic Youth, Screaming Trees, Bad Brains, Minutemen, Descendents. Ginn juga ikut nebeng meriliskan proyek avant-garde/eksperimental miliknya sendiri, Gone dan October Faction.

SST masuk liga penting label rekaman independen berpengaruh yang mengekspos musik minor non mainstream di dekade 80-an, bersama sejawat lain Twin/Tone (Replacements, Suburbs, Ween), Amphetamine Reptile (Melvins, X, Boredoms, Mudhoney), Touch and Go (Big Black, Don Caballero, Negative Approach, Slint), Epitaph (Bad Religion, Vandals, L7), Alternative Tentacles (Dead Kennedys, Unsane, Flipper), Dischord (Government Issue, Void, Dag Nasty, Minor Threat), Taang! (Poison Idea, Lemonheads, Swirlies, Spacemen 3).

Salah satu pernyataan terbaik mengenai selera musik SST sebagai sebuah label rekaman datang dari Jim Ruland, penulis buku Corporate Rock Sucks: The Rise and Fall of SST Records (2022) ketika ditanya apa album terbaik yang pernah diterbitkan oleh SST selama ini.

“Debut self-titled Saint Vitus,” sebut Ruland. “Itu album yang menguak fakta betapa keras kepala, kontrarian, dan visionernya seorang Greg Ginn. Kebanyakan orang pasti menghubungkan SST dengan Black Flag—begitu pun sebaliknya. Black Flag adalah cetak dasar bagi American hardcore. Saint Vitus bukan punk. Mereka band metal. Yang lamban dan berlumpur dengan lagu-lagu sepanjang delapan-sembilan menit.”

No rest for the wicked. Tahun 1980 memang membingungkan buat musik rock. Kita mulai bosan dengan ekstravaganza hard rock 70-an, silau kilau dan kosmetika pecundang machismo. Stadion rock dipenuhi rocker antek-antek cukong rekaman, bahkan punk rock telah menjadi industri yang mulai kelihatan belangnya. The Clash Sell-Out! Bahkan Adam Ant diakui sebagai punk, yang kian melembek tergoda gelombang new wave.

Klab omong kosong. Orang-orang konslet kayak Ginn & Dukowski tidak termakan tren tersebut, mereka ingin kembali bergerak primitif, banting tulang pergi menyelenggarakan tur sendiri. Scene underground Amerika masih gagu mempraktikkan etos D.I.Y., industri mainstream mempermak para musisi terbiasa terima jadi dihidupi label besar. SST mencetak piringan hitam mereka, menjualnya dengan persisten: mengaransemen tur, memperkenalkan musik keluar kampung sendiri.

“Semua orang harus menoleh ke arah kami, terlepas mereka bakal suka atau enggak. Banyak band punya pikiran eksklusif seperti, ‘kami akan menjaga penonton kami, main di kelab pribadi buat orang-orang yang tahu-tahu saja.’ Itu omong kosong. Semua orang harus dibuat menoleh. Turun ke jalan dan berusahalah – hantam mereka semua langsung di kepala,” cetus Ginn kepada zine The Coolest Retard, 1980.

Pada musim dingin 1980 Black Flag nekat menggelar The Creepy Crawler, untuk pertama kalinya tur dan langsung berangkat ekspedisi keliling Amerika. Lagi-lagi Pettibon yang mengusulkan namanya, provokatif diambil dari gerakan teror berdarah umat Charles Manson memasuki rumah-rumah selebriti di Hollywood pada akhir 60-an. Mereka menggarong barang berharga, melumuri dinding dengan darah, dan mengencingi lantainya. Khusus untuk tur itu juga Black Flag mencetak newsletter sendiri yang dibagikan lewat zine Outcry di mana tercantum lirik lagu “Police Story” agar orang-orang dapat ikut menyerukannya di atas panggung nanti. Di halaman paling belakang mereka membentak orang-orang yang coba mencela, tertulis di sana, ‘Musik kami bukan tentang lirik yang ditulis, tetapi serangan frontal kepada mereka para bajingan jurnalis abal-abal.’

Ginn dan Dukowski menjahit sendiri rute jalur Creepy Crawler. Seketika mereka punya semua koneksi yang dibutuhkan dari Reno sampai New York. Memanfaatkan kolega mail order SST untuk lapak menumpang molor—atau daripada membayar motel USD30 per malam, sofa van tampak cukup nyaman buat alas tidur-tidur ayam, dan lanjut berguling menuju kota berikutnya di mana sedulur punk lain telah siap menjamu; Dead Kennedys di San Francisco, Big Boys di Austin, D.O.A. di Vancouver, Meat Puppets di Arizona, Teen Idles di D.C., Naked Raygun di Chicago, Hüsker Dü di Minneapolis, dan seterusnya sampai balik lagi ke Hermosa Beach.

Banyak orang yang belum pernah menyaksikan Black Flag main sebelumnya, bahkan untuk mendengar musiknya sekali pun. Publik cuma tahu riwayat gawat tentang pertunjukan mereka di pesisir barat. Tur Creepy Crawler membuat mereka ditoleh. Black Flag menyadarkan tur maraton bukan suatu hil yang mustahal. Merintang berat memang, namun masih masuk akal dijalankan. Dan yang terpenting, selalu menyenangkan, untuk mampu bertahan di kaki sendiri dan menularkan bakteri.

“Black Flag terdengar seperti rentetan bising yang kekok. Mereka ganas di atas panggung. Kebanyakan band-band punk dari L.A. punya aransemen yang lurus, sementara Black Flag sangat intens dan selalu bikin kekacauan. Lagu-lagu mereka bicara tentang masalah-masalah personal, tidak politikal, tapi memberi dampak besar terhadap jiwa kita, sebagai perlawanan terhadap hal-hal yang tidak bisa kita terima,” kata Tim Kerr gitaris Big Boys.

Bersambung...

Baca juga artikel terkait BLACK FLAG atau tulisan lainnya dari Rio Tantomo

tirto.id - Musik
Kontributor: Rio Tantomo
Penulis: Rio Tantomo
Editor: Nuran Wibisono