Menuju konten utama

Black Flag Melaju Kencang, Makin Ambisius (Bag. 3)

Kembali turnya band-band tua yang sudah bubar atau lama hiatus kerap menghadapkan kita pada kesenangan skeptis.

Black Flag Melaju Kencang, Makin Ambisius (Bag. 3)
Grup band Black Flag tampil pada hari ke-2 Hammersonic 2023 di Pantai Karnaval Ancol, Jakarta, Minggu (19/3/2023). Band punk rock legendaris asal Amerika tersebut membawakan sejumlah lagu dari album miliknya yaitu Nervous Breakdown,My War, dan Damaged. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/YU

tirto.id - Baca bagian 2 di sini: Greg Ginn, Mesin Penuh Masalah di Black Flag

Dua kali teriakan ‘I Love Keith Morris’ terdengar dari depan panggung Black Flag yang belum menyala di Hammersonic Jakarta 2023 Maret silam. Cuma buram tampak para roadie sibuk menggelang tata kabel. Si peneriak berharap suaranya tersorong hingga ke balik tenda backstage di mana Greg Ginn pasti tengah mempersiapkan diri untuk tampil. Entah apa ritualnya, mengenyot kuat-kuat vaporizer atau mendirikan tanda salib pura-pura atau, malah tak ada selain bosan menahan mual menunggu aba-aba datang. Sangat besar kemungkinannya ia tuli mendengar dua teriakan tadi. Walaupun ia bisa mendengar, apa yang mau diperbuat, memang? Paling cuma mendesis pelan Vallely—vokalisnya satu dekade terakhir, “Lagi satu dungu sibuk coli.”

Black Flag membuka show dengan sebuah nomor instrumental. Sepertinya diambil dari Family Man (LP, 1984), “I Won’t Stick Any of You Unless and Until I Can Stick All of You!” atau mungkin kolase noise Process of Weeding Out (EP, 1985). Tidak tahulah, siapa pula yang bisa mengingat kulikan geek mandi feedback lagu-lagu instrumental Black Flag? Semisalnya ada presentasenya empat dari seratus. Ginn menyihir mereka, anak-anak berandal pembenci Pink Floyd dengan jamming kusut yang membingungkan sebagai sebuah band Woodstock Punk.

Ketika hardcore punk Amerika mulai tipikal main kenceng-kencengan di 1984, Ginn keluar dari lintasan dan mengeluarkan materi spoken word/eksperimental. Hampir mirip dengan Crass dari Inggris. Orang gampang mencemooh—menyebut Henry Rollins drunken buffoon, Jim Morrison selanjutnya. Mencibir sell-out, meludahi panggung-panggung Black Flag. Sebenarnya simple, Ginn adalah seorang penggemar metal. Alkitab Sabbath. Riff gitar Iommi menjalin ritalin funky jam, Hendrix melek tiga hari mengobel black noise motor dead. Ginn bermain seperti Zappa kena kanker feedback. Setiap solo gitarnya adalah komitmen untuk bermain jelek dan mengganggu. Ia tidak peduli jika suara gitarnya begitu menyakitkan hingga membuat kalian muntah sinte. Anything that gets your blood racing is probably worth doing, ceplos Hunter. Dengarkan “Your Last Affront” dan kita akan mengerti.

“Greg Ginn—ia seumuran saya, dan ia mulai melebarkan cara penulisan musik keluar dari format punk dan hardcore saat itu. Ia brilian, ia melakukan sesuatu yang sangat tak terduga,” kata Thurston Moore, gitaris Sonic Youth kepada situs Tidal.

Ginn meledek puritansi hardcore punk dengan menganibal avant-garde. Sebuah pretensi berkelas jenius asshole. Ia suka King Crimson, penggemar berat Dio, dan menggado-gadonya menjadi 10 menit trip atonal tumpang tindih. Kawan kriminalnya di Black Flag adalah Chuck Dukowski, mereka punya selera psychedelic yang klop. Mereka suka perabotan rusak, desain acak-acakan, gertak menggertak sambal yang abstrak. Dukowski anak sludge, bandnya Würm termasuk yang pertama memainkan genre keruh itu di L.A. Ginn membutuhkannya untuk bisa main heavy. The slower, the heavier. Ide sombongnya adalah menjadikan Black Flag bukan band hardcore kesukaan kalian. Lalu menaruh seorang tough guy poster boy ikon seks menggerami mikrofon.

Selanjutnya “Can’t Deicide” menggelontor. Tahu-tahu saja set Black Flag sudah mulai. Ada sedikit perasaan sureal a.k.a. norak tak percaya bisa punya kesempatan nonton remah-remah Black Flag di Ancol. Senang campur miris, rezeki butut negara butut ketika rasa syukur cuma hiburan bijak orang miskin belaka. Dulu Dead Kennedys sempat datang di Hammersonic 2018 tanpa Jello Biafra. Sewindu sebelumnya Misfits di Ancol 2010, main dengan formasi cukup prominen: Jerry Only, dan dua bekas Black Flag, dramer Robo dan gitaris Dez Cadena.

Dalam kasus Mike Vallely, ia mencengkeram mic dengan persona plontos maskulin Henry Rollins. Otot keras gimnasium menjadi modal bernyanyinya seperti tentara sedang cari duel. Vallely seorang fan yang dijerumuskan Ginn jadi vokalis Black Flag. Ia berusia 14 di tahun 1984 ketika untuk pertama kalinya menonton Black Flag manggung di kotanya, New Jersey.

“Henry Rollins memimpin di depan,” kata Vallely. “Melihat mereka main malam itu menggugah saya. ‘Hidup saya berubah’. ‘Saya yakin dengan jalan hidup saya’. ‘Saya bisa melakukan hal apa pun yang saya mau’. Rollins, sebagai vokalis, benar-benar mampu memancarkan kekuatan percaya diri itu.”

Di Jakarta Vallely tampil mendangak. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya selain nyanyian lirik. No stage persona bullshit. Ini bukan komedi perkedel showbiz, terbata-bata berusaha menyuap penonton dengan kata-kata tolol macam Trivium mengucapkan ‘chuakks’ atau Rivers Cuomo, ‘kamu nanyea’.

Tahi kucing ramah tamah. Kita tidak membutuhkannya dari atas panggung Black Flag. Selesai satu lagu lanjut ke berikutnya: nomor sakral “Nervous Breakdown”. Vallely menengok ke arah Ginn, siap menyambut datangnya teriakan maut terbaik. ‘BERSERKKKK!’

Infografik Black Flag

Infografik Black Flag. tirto.id/Ecun

“Nervous Breakdown” menjadi salah satu lagu pertama yang direkam Black Flag dengan Morris meletakkan pondasi emosi pada anthem teenage fucked up lainnya, “Fix Me” dan “Wasted”. Vokal Morris menerjang beler, menyalak pesimis. Tiga trek itu ditambah “I’ve Had It” kemudian dilepas sebagai rilisan perdana Nervous Breakdown (EP, 1979). Biar bagaimana pun ia adalah pencetak nomor-nomor klasik Black Flag, “White Minority”, “Police Story”, “Revenge”.

‘It’s not my imagination, I’ve got a gun on my back!’

Morris meninggalkan Black Flag setelah Ginn dan Dukowski tercium ambisius. Ginn mengembangkan toko elektroniknya Solid State Tuners menjadi sebuah label rekaman, SST Records. Ia melakukannya setelah Bomp! Records urung meriliskan Nervous Breakdown, untuk seterusnya bergerak mandiri, eksklusif mengurus segala hal terkait distribusi, tur, manggung, publikasi, artwork, merchandise.

Secara teknis Ginn membiayai penuh Black Flag. Dukowski ditarik bergabung ke SST berperan rangkap mengatur manajemen. Pelan-pelan sejak dipayungi SST tensi karir Black Flag mengetat. Morris mengeluhkan jadwal latihan yang menyebalkan, disiplin tiga jam setiap malam. Dukowski juga mengatur lagu-lagu seperti apa yang sebaiknya ditulis. Lengkap dengan penjabaran program masa depan; tur merayap penuh, dua-tiga bulan hidup di jalanan keliling Amerika. Morris mulai ogah-ogahan dan sering menghilang. Ia cuma seorang punk, bukan bisnis bintang rock berdedikasi.

Anak Punk Benci Polisi (?)

SST meriliskan lagi Black Flag dua EP dengan dua vokalis berbeda. Jealous Again yang digawangi garansi vokal beringas Ron Reyes, seorang pendek berperawakan Chicano asli Puerto Rico yang mencak-mencak persis 100 downers Chihuahua. Di Six Pack (EP, 1981) Dez Cadena sebetulnya tidak buruk. Tapi aslinya ia seorang gitaris. Black Flag tampil galak dengan militansi vokal Cadena yang lebih tepat disebut suara gonggongan dibanding teriakan. Cocok melapisi serampangan gitar Ginn; membentak-bentak “American Waste”.

Sialnya lagu itu tidak masuk repertoar Hammersonic, juga “Thirsty and Miserable”. Beruntung di 2010 Cadena menyanyikannya bersama Misfits di Ancol. Untuk Hammersonic Ginn menyusun repertoar Top 40: “Gimmie Gimmie Gimmie”, “Rise Above”, “Fix Me”, “TV Party”, “Jealous Again”, “Six Pack”. Materi yang pas masuk album ‘Ugly Memories – 101: Hardcore Punk Fist Party.’ Hal itu sebenarnya cukup mengundang sedikit tawa karena Black Flag yang ada di depan sekarang, jika seandainya kita tidak tahu seberapa antiknya Greg Ginn, sebenarnya adalah lelucon. Dengan bantuan dua personel antah berantah, bassis Harley Duggan dan dramer Charles Wiley, ini reuni yang menyedihkan, seperti bungkus rokok bersisa dua batang.

Kembali turnya band-band tua yang sudah bubar atau lama hiatus kerap menghadapkan kita pada kesenangan skeptis. Apalagi kalau sampai memaksakan diri mencari pengganti personelnya yang telah mati. Pantera misalnya, walaupun kita pasti tetap berbondong-bondong datang menghadiri konsernya dan menjadi saksi mata sejarah yang terlambat terjadi. Huh. Semoga Slayer dan Fugazi tidak pernah berminat melakukannya, meski kita belum pernah menonton mereka langsung.

Ketika “Depression” dibawakan alokasi sumber tenaga tiba-tiba terkesiap. Dimulai dengan intro dinding feedback, Ginn berselancar di atas riff speed rock yang penuh perselisihan, melesat secepat gigi lima Avanza menghantam tembok sakit mental. Di antara lima vokalis Black Flag yang pernah menyanyikan lagu ini, dari Morris yang mentah, Reyes yang muak, Cadena yang bertaring, hanya Rollins yang konfrontatif, meneriakkan keputusasaan pawang amarah seorang pemuda berotot beton. Sementara versi Vallely, tak lebih dari kualitas hardcore cover version.

(Bersambung...)

Baca juga artikel terkait BLACK FLAG atau tulisan lainnya dari Rio Tantomo

tirto.id - Mild report
Penulis: Rio Tantomo
Editor: Nuran Wibisono