tirto.id - Perusahaan teknologi asal Amerika Serikat, Google, telah menghapus lebih dari 2.500 channel Youtube yang memuat konten terkait Cina. Akun itu dihapus karena dinilai memuat disinformasi atau menyebarkan informasi keliru dan menyesatkan (misleading).
Dilansir dari South China Morning Postpada Jumat (7/8/2020), Google mengatakan ribuan akun itu telah dihapus sejak April sampai Juni tahun ini. Langkah itu dilakukan sebagai tindak lanjut dari penyelidikan Google terhadap upaya yang mereka nilai “mempengaruhi persepsi publik terhadap Cina yang terkoordinasi.”
Melalui buletin yang mereka terbitkan, Google mengatakan, tayangan dalam akun yang mereka hapus itu memuat konten spam (informasi tidak penting) dan non-politis. Namun, beberapa di antaranya ada yang bermuatan politis.
Akan tetapi, Google tidak menyebut akun Youtube mana saja yang dihapus, kecuali beberapa video yang diyakini memuat informasi keliru. Tayangan tersebut sempat ditandai oleh Twitter dan ditemukan oleh perusahaan analis media sosial, Graphika, pada April 2020.
Tidak hanya disinformasi soal Cina, buletin terbitan Google ini juga menyebut beberapa aktivitas disinformasi terkait negara lain, seperti Iran dan Rusia.
Kedutaan Cina di Amerika Serikat hingga kini belum menanggapi masalah tersebut. Pemerintah Cina, sebagaimana dikutip Reuters, telah berulang kali menyangkal tuduhan menyebarkan informasi palsu di dunia maya.
Atas laporan ini, The Guardianmenyebut, hubungan AS-Cina semakin mencapai ‘titik terpanas’ dalam beberapa dekade terakhir, setelah sempat tegang akibat pandemi global virus corona; pembangunan militer Cina di Laut Cina Selatan; peningkatan kendali atas Hong Kong melalui UU Keamanan Nasional; dan perlakuan terhadap Muslim Uighur; serta surplus perdagangan besar-besaran Beijing hingga persaingan teknologi.
Sementara disinformasi yang ditunggangi oleh aktor asing, telah muncul dan menjadi salah satu ancaman besar bagi politisi dan teknolog Amerika sejak pemilihan presiden 2016, ketika aktor yang terkait dengan pemerintah Rusia, kala itu, memasukkan ratusan ribu pesan propaganda ke dalam ekosistem media sosial Amerika Serikat.
Menjelang pemilihan umum presiden Amerika Serikat yang akan jatuh 3 November 2020 nanti, sejumlah pihak telah mengambil ancang-ancang agar apa yang terjadi menjelang Pilpres 2016 silam tak terulang lagi.
Banyak yang telah menghabiskan empat tahun terakhir mereka dalam upayanya menghindari terulangnya insiden tahun 2016, dengan perusahaan seperti Google dan Facebook menerbitkan pembaruan rutin tentang cara mereka memerangi propaganda online.
Sementara langkah Youtube, dengan cara menghapus channel, juga pernah dilakukan pada tahun 2019 lalu saat mereka menonaktifkan 210 channel Youtube yang menjadi bagian dari kampanye pengaruh terkoordinasi (coordinated influence campaign) melawan protes pro-demokrasi Hong Kong.
Tindakan oleh layanan milik Google itu terjadi, tatkala Twitter dan Facebook menuduh pemerintah Cina mendukung kampanye media sosial untuk mendiskreditkan gerakan pro-demokrasi Hong Kong dan menabur perselisihan politik di kota tersebut.
Penulis: Ahmad Efendi
Editor: Alexander Haryanto