tirto.id - “Bapa Paus, Anda mau tahu ingatan masa kecil saya? Serangan besar-besaran di Kiev terhadap kami warganya. Ketika kami bersikap memaafkan dan ketika kami tidak memiliki tanah untuk ditinggali dan ketika kami lemah, kami digiring ke kamar gas,” kata Golda Meir, Perdana Menteri Israel yang menjabat 1969-1974, kepada Paus Paul VI di Vatikan pada 15 Januari 1973.
Golda berkata kepada wartawan New York Times bahwa ia bicara dengan tegas sambil menatap mata Paus. Bahasa tubuh yang kala itu dianggap jarang terjadi karena biasanya lawan bicara Paus memilih tidak menatap mata langsung demi menghormati kedudukan Paus.
Tapi Golda terlanjur terusik. Ia risih mendengar perkataan Paus, “Mengapa kamu tega berbuat begitu keras kepada bangsamu sendiri?”
Golda, yang saat itu berusia 75, tidak rela mendengar ucapan yang seolah-olah menyiratkan dirinya tidak berupaya menciptakan perdamaian di Timur Tengah terutama dengan bangsa Arab Palestina.
Paus memanggilnya dengan maksud menawarkan bantuan andaikata Golda perlu perantara dalam membangun dialog dan relasi dengan pimpinan negara Arab. Sebelum bertemu Golda, Paus telah menjalin relasi dengan sejumlah raja-raja negara Arab seperti Yordania, Mesir, Libanon, Suriah, Tunisia, Algeria, Kuwait, dan Irak.
New York Times mencatat, Vatikan sesungguhnya sangat berhati-hati kala hendak berbicara dengan Golda. Paus tak ingin hal itu malah bikin dirinya dicap memihak negara tertentu. Keinginannya adalah melihat pimpinan negara Timur Tengah mampu memperlakukan "tanah terjanji Yerusalem" dengan semestinya dan melihat umat Katolik serta golongan minoritas yang tinggal di daerah tersebut bisa hidup nyaman.
Di ujung pertemuan, suasana pembicaraan di antara mereka mencair setelah Paus menyampaikan tujuan pertemuan dengan jelas.
Memenangkan Yom Kippur
Golda mengupayakan perdamaian dengan Palestina sejak 1947. Saat itu ia mengunjungi Raja Abdullah yang berkuasa di Palestina untuk membicarakan soal realisasi keputusan PBB terkait pembagian wilayah di Palestina. Pada 29 November 1947 PBB menerbitkan keputusan yang isinya adalah pembagian wilayah antara Israel, Palestina, dan Jerusalem. Usul ini diterima Israel tapi tidak diterima pimpinan negara Palestina.
Bila dirunut ke belakang, perdebatan soal pembagian wilayah antara Israel dan Palestina ini sudah terjadi berabad-abad lamanya. History menarik mundur ke 1.000 abad sebelum masehi. Laman tersebut mengutip kitab Raja Solomon yang berkuasa atas Jerusalem. Pada 931 SM Jerusalem utara dikuasai kerajaan Israel. Kemudian pada abad-abad berikutnya daerah tersebut dikuasai berbagai bangsa lain di antaranya Yunani, Romawi, hingga kekaisaran Ottoman.
Pengakuan terhadap wilayah kaum Israel kembali terjadi pada masa Perang Dunia I kala Inggris menaklukkan Ottoman dan berkuasa atas Palestina. Pada 1917 terbit deklarasi Balfour yang isinya pemerintah Inggris mendukung terbentuknya wilayah bagi kaum Israel di tanah Palestina.
Hal tersebut memunculkan harapan bagi kaum Israel dan Yahudi. Para penganut Zionis—gerakan yang menganggap pembentukan negara Israel bagi kaum Yahudi adalah solusi sikap anti-semitisme yang menjamur di Eropa—menemukan Balfour sebagai titik terang.
Kenyataannya tidak demikian. Perlawanan dari negara-negara Arab yang juga merasa berhak memiliki seluruh daerah Palestina terus saja terjadi.
Ketika Golda menjabat sebagai Kepala Departemen Politik komunitas Yahudi, ia menemui Raja Abdullah, penguasa Transjordania, untuk membicarakan soal wilayah Israel. Pertemuan terjadi satu hari sebelum Israel mendeklarasikan kemerdekaannya.
Pertemuan tidak berjalan lancar. Efraim Karsh dalam “The Collusion that Never Was: King Abdallah, the Jewish Agency and the Partition of Palestine” menyebut ada kesalahpahaman dari kedua belah pihak dalam menafsirkan resolusi PBB.
Tapi Golda dan para pejabat Yahudi tetap yakin bahwa resolusi PBB memungkinkan mereka untuk mendirikan negara Israel. Dua puluh empat jam setelah Israel merdeka, negara tersebut diserang negara-negara Arab. Golda diutus pergi ke AS untuk meminta dana bantuan untuk membeli senjata. Ia kembali dengan 50 juta dolar AS—angka yang sangat besar saat itu. Hal itu tercatat sebagai salah satu prestasi Golda.
Tantangan besar berikutnya dalam hidup Golda muncul pada 1973, delapan bulan setelah Golda bertemu Paus: Perang Yom Kippur terjadi. Mesir menyerang Israel pada hari raya paling suci yang dirayakan umat Yahudi.
Yom Kippur disebut-sebut sebagai perang dengan biaya termahal yang terjadi di Israel pada saat itu. Israel memenangkan perang tersebut. Upaya damai sempat diinisiasi Perdana Menteri Mesir Anwar Sadat, tapi kali ini Golda menolaknya. Israel bahkan sempat melanggar gencatan senjata yang ditetapkan oleh PBB.
Membenci Perang
Kemenangan Israel ini ternyata tidak membawa kebahagiaan pada diri Golda. Dalam artikel panjang berjudul "Golda Meir: Peace and Arab Acceptance Were Goals of Her 5 Years as Premier" yang terbit di New York Times (9 Desember 1978), dikisahkan bahwa perang tidak pernah membahagiakan hati Golda.
Hal yang membuatnya bahagia hanyalah berada di Negev dan mengurus cucu. Ia tidak pernah suka perang dan kekerasan. Memori masa kecil yang buruk soal kejadian pembantaian masal di Kiev, Ukraina, tempat kelahirannya, jadi alasan jelas mengapa ia benci kekerasan.
Pada 1906 Golda bersama ibu dan saudarinya terpaksa meninggalkan kota kelahiran untuk pergi ke Milwaukee, AS demi mendapat hidup yang lebih nyaman. Di AS, ia ingin jadi perempuan yang punya pendidikan tinggi. Tapi sayang, tradisi yang masih mendiskriminasi perempuan membuat keinginan Golda tidak didukung orang tuanya. Ia kemudian pergi ke Denver demi bisa mengenyam pendidikan yang lebih tinggi.
Sejak SMU, Golda aktif mengikuti berbagai aktivitas dalam komunitas kaum Yahudi. Pada 1921 ia memutuskan tinggal di kibbutz (komunitas kolektif orang-orang Yahudi). Di sana ia melakukan pekerjaan beternak dan bercocok tanam. Setelah itu Golda bergabung dengan Histadrut, organisasi pekerja di Israel serta menjabat sebagai sekretaris Dewan Buruh Perempuan.
Namanya mulai diingat publik dan diperhitungkan di ranah politik kala ia bernegosiasi dengan pemerintah Inggris agar mereka mengizinkan 100.000 orang Yahudi untuk masuk ke Palestina setiap bulannya. Kala itu Golda adalah satu-satunya anggota organisasi Yahudi yang tidak ditahan pemerintah Inggris—karena ia seorang perempuan.
Setelah negara Israel berdiri, Golda pernah menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Tenaga Kerja. Sebagai politikus, ia dijuluki "The Iron Lady" (perempuan besi) lantaran sikapnya yang keras dan tegas.
Di tahun 1977 ia menyatakan dirinya lelah bekerja dan ingin menghentikan seluruh kegiatan dalam dunia politik. Pada 8 Desember 1978, tepat hari ini 41 tahun lalu, Golda meninggal akibat penyakit limfoma yang dideritanya.
Editor: Ivan Aulia Ahsan