tirto.id - “Ketika Pablo meninggal, kota ini berpilin tak terkendali,” ujar Jaime Gavira, sepupu Pablo Escobar.
Gembong kartel narkoba itu terbunuh dalam sebuah perburuan oleh kelompok The Pepes—orang-orang yang dianiaya Escobar—yang tampaknya terdiri dari orang-orang Cali sebagai pesaing Escobar, paramiliter sayap kanan yang dipimpin oleh Carlos Castano. Kelompok ini didukung polisi, pasukan khusus Kolombia dan Amerika Serikat, serta anggota kartel Madellin milik Escobar yang diperintahkan untuk membunuh bosnya atau mereka dibunuh. Dan kekacauan pun terjadi.
“Ketika Fablo Escobar meninggal, bumi berguncang dan angin berseru pilu ‘Pablo Escobar!’ Pada saat itu, Anda harus waspada setiap saat. Anda tidak bisa mempercayai siapa pun. Bahkan seorang polisi bisa menjadi baik atau jahat,” ujar Francisco Maturana, pelatih timnas Kolombia.
Dalam kondisi negara yang runyam itulah Kolombia lolos ke Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat dengan penampilan meyakinkan selama kualifikasi zona Amerika Latin. Kolombia tergabung di grup A bersama Argentina, Paraguay, dan Peru. Mereka tak terkalahkan dalam enam pertandingan. Bahkan dalam laga terakhir melawan Argentina pada 5 September 1993, Kolombia mencukur juara dunia dua kali tersebut dengan skor telak 0-5. Argentina dipermalukan di Buenos Aires, di hadapan ribuan pendukungnya sendiri.
Tersingkir di Babak Awal
Keberhasilan Kolombia lolos ke Piala Dunia 1994 berwajah ganda. Di satu sisi capaian itu disambut gegap gempita segenap warga, tapi di sisi lain para pemain terbebani oleh harapan yang melambung tinggi dari para pendukungnya, termasuk para kartel narkoba yang banyak menjadi pendukung fanatik mereka.
Di Rose Bowl, Los Angeles, di hadapan 91.856 penonton, mereka mengawali pertandingan dengan kekalahan dari Rumania 1-3. Beredar kabar bahwa kartel narkoba menjadi penyebab kekalahan tersebut. Mereka dikabarkan mencampuri penentuan pemain dan pelatih. Bahkan sesaat sebelum menjalani pertandingan kedua melawan Amerika Serikat, ancaman pembunuhan menerpa pemain tengah Gabriel Jaime Gomez.
Empat hari berselang, Kolombia menghadapi partai yang akan menentukan nasib mereka selanjutnya di turnamen paling akbar itu. Teror dari para kartel dan kekecewaan ribuan pendukungnya akibat ditekuk Rumania pada laga pertama memberati mental mereka. Meski lawan yang dihadapi adalah Amerika Serikat, tim yang kerap hanya dianggap sebagai penggembira, tapi beban Kolombia tak ringan.
Kolombia beberapa kali mendapat peluang dengan menciptakan kemelut di mulut gawang lawannya. Namun, gol yang harapkan tak kunjung bersarang. Malah sebaliknya, petaka menghantam mereka pada menit ke-34. Umpan silang pemain Amerika Serikat, John Harkes, dipotong oleh Andres Escobar dengan maksud menghalau bola agar keluar lapangan. Namun, bola yang berbelok justru meluncur ke gawang sendiri.
Setelah itu, serangan-serangan Amerika Serikat terus mengobrak-abrik pertahanan Kolombia. Hasilnya mereka berhasil menambah keunggulan lewat gol Earnie Stewart pada menit ke-52. Sementara Kolombia hanya bisa menciptakan gol hiburan pada menit ke-90 lewat Adolfo Valencia. Gol di punghujung waktu normal itu tak mampu menolong mereka dari kekalahan kedua.
“Lebih buruk dari depresi, tetapi tidak bunuh diri,” ujar Maturana menggambarkan suasana timnya setelah kekalahan tersebut.
Sejumlah surat kabar di Kolombia pun menurunkan judul-judul berita yang muram.
“Khayalan Kolombia Mati di Amerika Serikat”, tulis sebuah media.
Meski pada pertandingan ke-3 Kolombia berhasil menghempaskan Swiss 0-2, tapi kemenangan itu tak berarti apa-apa. Mereka berakhir sebagai juru kunci dan tersingkir lebih awal.
“Terima kasih atas Gol Bunuh Dirinya!”
Andres Escobar baru bertunangan dengan pacarnya. Ia seorang pemuda yang cukup religius. Setiap hari ia membaca Alkitab dengan pembatas halaman dua lembar foto: foto ibunya dan foto tunangannya. Sebagai pemain klub Atletico Nacional yang dimiliki oleh raja kartel narkoba Pablo Escobar, ia tak nyaman kerap bersosialisasi dengan penjahat kelas kakap itu.
“Maria, aku tidak ingin pergi, tetapi aku tidak punya pilihan,” ujar Andres kepada saudara perempuannya saat ia harus bertemu dengan Escobar yang lain.
Meski demikian, ia tetap mencintai sepakbola. Baginya, olahraga tersebut adalah sekolah kehidupan yang mengajarkan nilai-nilai toleransi. Ia dengan agak naif, menurut kawannya, Cesar Mauricio Velasquz, teguh mempercayai bahwa sepakbola dapat membantu menghentikan kekerasan yang menghancurkan negara yang dicintainya.
“Untuk belajar menang, kalah, memeluk olahraga sebagai tempat persembunyian. Andres selalu setia pada keyakinan itu,” tambahnya.
Saat Pablo Escobar terbunuh, setahun sebelum Andres Escobar berlaga di Piala Dunia 1994, Kolombia genting. Kekacauan bergolak. Para kartel yang lain masih menghunjamkan kekuatannya. Dan saat ia harus pulang karena timnya tersingkir di babak awal Piala Dunia yang dihelat 17 Juni-17 Juli 1994, Andres percaya bahwa keselamatan akan tetap menaungi dirinya meski ia telah menciptakan gol bunuh diri yang menjadi penyebab kekalahan Kolombia.
Pada 2 Juli 1994, tepat hari ini 24 tahun lalu, Andres Escobar pergi ke klab malam El Indio di Kota Madellin, Kolombia. Di sana ia terlibat pertengkaran sengit dengan sekelompok orang yang kemungkinan mengolok-olok gol bunuh dirinya. Pukul 3 pagi saat Andres pergi meninggalkan klab malam itu menuju mobilnya, ia diberondong 6 timah panas yang membuatnya tewas bersimbah darah.
Seorang saksi mata berujar para pelaku berkata, “Terima kasih atas gol bunuh dirinya” sebelum mereka akhirnya berseru “gol” setiap kali peluru dimuntahkan. Setelah Andres terkapar, mereka melarikan diri.
Editor: Suhendra