tirto.id - Kala Swiss berjumpa dengan Albania dalam matchday pertama grup A Piala Eropa 2016 yang digelar di Stade Bollaert-Delelis, Perancis, ayah Granit Xhaka menjadi orang yang paling bahagia. Ragip Xhaka, ayah Granit, mengatakan: “Ini adalah refleksi yang paling tepat untuk keluarga kami. Kami belum dapat berbahagia jika kedua tim belum bertemu.”
Ragip berasal dari Pristina, ibukota Kosovo. Ia adalah tahanan politik Serbia selama kurang lebih 3,5 tahun karena ikut menentang rezim Slobodan Milosevic yang masih berkuasa pada 1980an. Setelah dibebaskan lewat perjuangan Amnesti Internasional sekitar 10 tahun kemudian, ia dan istrinya, Elmaze, pergi meninggalkan tanah airnya menuju Swiss, dan memulai kehidupan baru di sebuah distrik bernama Kleinbasel. Pasangan tersebut menetap di sana hingga Granit lahir.
Kisah tersebut mungkin terdengar unik, tapi sejak medio 1970an, perpindahan orang Kosovo ke Swiss sudah jamak terjadi. Dilansir Swiss Info, jumlah mereka kian membengkak usai eksodus massal akibat Perang Balkan pada 1990an. Kini ada sekitar 170.000 orang Kosovo di Swiss, baik yang sudah legal maupun ilegal. Pada 2015, pemerintah Swiss mencoba membatasi kedatangan para imigran, dari Kosovo atau negara lain, dengan aturan yang lebih ketat. Selama ini diduga penyebab hijrahnya para imigran dikarenakan kemudahan birokrasi.
Swiss memang merupakan negara yang terbuka terhadap kedatangan orang asing lantaran sudah terbiasa dengan peradaban multikultural. Secara geografis, Swiss berbatasan langsung dengan Perancis, Jerman, Italia, Liechtenstein, dan Austria. Selain itu, Swiss juga menggunakan empat bahasa berbeda sebagai bahasa nasional: Jerman, Italia, Perancis, dan Romansh.
Selain Granit, ada tiga pemain Swiss lain yang juga beretnis Kosovo. Mereka adalah Xerdan Shaqiri, Valon Behrami, dan Blerim Dzemaili. Ketiganya memiliki cerita yang mirip: hijrah ke Swiss tatkala perang berkecamuk.
Behrami lahir di Mitrovica dan memiliki ayah seorang Albania. Ia pindah ke Swiss bersama keluarganya sejak usia lima tahun. Kariernya bersama tim nasional Swiss dimulai dari memperkuat U-18. Sementara Dzemaili juga memiliki ayah seorang Albania dan lahir di Macedonia. Sejak usia empat tahun ia diajak keluarganya hijrah ke Zurich. Adapun Shaqiri lahir di Gnjilan, Kosovo. Pada 1992, ia beserta ketiga saudaranya, dibawa orang tua mereka menetap di Swiss sejak 1992.
Demi Tanah Air dan Nasib yang Lebih Baik
Sebelum Piala Dunia 2018 dimulai, Shaqiri sempat mengenang kehidupan pahitnya di Kosovo. Ia mengatakan: "Saya tak akan pernah melupakan bahwa saya lahir di Kosovo. Negara yang sangat, sangat miskin. Tidak ada pekerjaan dan tidak memiliki penghasilan. Keluarga saya juga miskin. Rumah paman saya dibakar dan kami dibiarkan sendirian tanpa memiliki apapun karena segalanya sudah dicuri, dirusak, dan tembok rumah dicoret-coret."
Shaqiri mengekalkan ingatan tersebut dalam hidupnya. Maka ketika Swiss kembali bersemuka dengan Serbia dalam pertandingan Grup E Piala Dunia 2018 Jum'at (22/06/2018) lalu, ia tak dapat menahan diri untuk tidak melakukan perayaan dengan pesan politik yang kental usai berhasil mencetak gol: berlari kencang sambil mengapitkan tangan dan mengepakkan jari mereka seperti sayap elang. Sebuah simbol kebesaran Albania: Albanian Eagle.
Dalam laga itu, Granit pun juga turut mencetak gol dan melakukan selebrasi yang sama dengan Shaqiri. Lengkap sudah kebahagiaan mereka. Usai laga, Shaqiri sempat memberi penjelasan mengenai perayaan golnya tersebut.
"Saya memikirkan hal ini, saya tidak ingin berbicara," ungkap Shaqiri. "Dalam sepakbola, Anda selalu memiliki emosi. Anda dapat melihat apa yang saya lakukan dan itu hanyalah sebuah pengungkapan emosi. Saya hanya merasa senang mencetak sebuah gol. Saya melakukannya dan kami tak perlu membahas hal tersebut," tambahnya.
Granit dan Shaqiri dapat terkena hukuman dari FIFA setelah Sekretaris Jenderal Asosiasi Sepakbola Serbia, Jovan Surbatovic, menyebut akan menulis keluhan kepada mereka terkait selebrasi kedua pemain tadi. Adapun pelatih Swiss, Vladimir Petkovic, yang juga keturunan Bosnia Herzegovina, juga turut menyesalkan tindakan kedua anak buahnya itu.
“Anda seharusnya tidak pernah mencampurkan politik dan sepakbola. Jelas bahwa emosi muncul dan begitulah yang terjadi. Saya pikir kita semua bersama-sama perlu menjauhkan diri dari politik dalam sepakbola dan kita harus fokus pada olahraga ini sebagai permainan yang indah dan sesuatu yang menyatukan orang."
Berbeda dengan Petkovic, kapten Swiss, Stephan Lichtsteiner, justru memberi pembelaan terkait selebrasi Granit dan Shaqiri. Menurut pemain yang baru didatangkan Arsenal dari Juventus tersebut, semua itu adalah hal yang wajar mengingat bagaimana sejarah bekerja atas mereka.
"Kenapa tidak? Ini semua tentang sejarah mereka, lebih dari sekadar sepakbola. Mereka telah amat menderita akibat peperangan dulu. Saya memahami sikap mereka dan itu adalah hal yang normal. Selain itu juga ada banyak provokasi dari Serbia sebelum laga dimulai," kata Lichtsteiner yang juga ikut merayakan gol tersebut dengan memeragakan Albanian Eagle.
Terlepas dari nasib baik yang berpihak kepada para pemain keturunan Kosovo sejak hijrah ke Swiss seperti Xhaka, Shaqiri, Dzemaili, maupun Behrami, mereka memang tidak pernah melupakan asal usulnya. Jika Shaqiri dan Xhaka mengenang tanah airnya lewat gestur kepakan sayap elang saat merayakan gol ke gawang Serbia, Behrami memiliki tato bendera Swiss dan Kosovo yang terpacak di lengan kirinya.
Behrami pun juga memiliki cerita yang tak kalah getir seperti Granit maupun Shaqiri. Perpindahan keluarga Behrami ke Swiss bermula sejak pabrik plastik milik ayahnya, Ragip Behrami, yang terletak di Mitrovica (kota yang dihuni dua etnis yang bertikai: Kosovian dan Serbian), ditutup paksa oleh rezim yang berkuasa. Dalam waktu yang tak terpaut jauh jaraknya, istri Ragip pun juga dipecat dari pekerjaannya. Keluarga mereka pun menderita krisis ekonomi yang parah.
Pada medio 1990-an, keluarga Behrami kemudian memutuskan hijrah ke Swiss. Mereka menaiki bus dengan rute panjang menuju Stabilo, perbatasan antara Italia dan Swiss. Setelah berjuang meminta legalitas kependudukan kepada pemerintah, keluarga tersebut dapat resmi menetap di Swiss. Behrami mengenang semua kisah tersebut dengan getir dalam wawancaranya bersama Independent, 10 Juni 2016 lalu.
"Suatu hari orangtuaku mengira sudah tidak ada masa depan lagi di rumah (negara asal--red) kami. Lalu kami memutuskan pergi ke tempat di mana ada pekerjaan," ujarnya.
Atas segala yang ia dapat hari ini, tidak bisa tidak, ia akan selalu mencintai Kosovo dan Swiss selamanya. "Saya ingin menunjukkan bahwa saya berkomitmen terhadap kedua negara ini. Di satu sisi karena keluarga saya berasal dari Kosovo, di sisi lain, Swiss telah membentuk saya hingga seperti sekarang, sebab merekalah saya di sini."
Sementara itu, Aleksandar Mitrovic, pencetak sebiji gol Serbia, usai laga menyindir Shaqiri dengan mengatakan: "Jika dia memang sangat mencintai Kosovo dan hingga pamer perayaan dengan cara demikian, mengapa ia menolak kesempatan bermain untuk negaranya?"
Sebuah sindiran yang sejatinya dapat pula ditafsirkan tertuju kepada pemain keturunan Kosovo lain di Swiss.
Skuat Multietnis Swiss di Piala Dunia 2018
"Ini adalah keputusan yang sulit. Tapi saya yakin sudah membuat keputusan yang tepat. Mungkin secara individu 23 pemain ini bukanlah yang terbaik, tapi ini adalah skuat terkomplit sekarang," kata Vladimir Petkovic, pelatih Swiss, saat mengumumkan secara resmi skuat timnas mereka untuk berlaga di Piala Dunia 2018.
Dari keseluruhan skuat, berdasarkan data dari Swiss Info, tercatat 10 nama bermain di Bundesliga, lima di Serie A, dua di Premier League, sedangkan sisanya tersebar di liga negara lain seperti Prancis, Kroasia, Portugal, Turki, dan Spanyol. Hanya ada satu pemain yang memperkuat klub lokal. Dia adalah Michael Lang, bek FC Basel. Fakta ini menjadikan Swiss sebagai negara yang paling banyak diperkuat pemain dari klub asing, yakni 89,7%.
Pemain termuda Swiss dalam skuat tersebut adalah Breel Embolo, yang masih berusia 21 tahun. Sementara yang tertua ialah Lichtsteiner, yang telah memperkuat Swiss sebanyak 101 kali. Sedangkan Behrami menjadi pemain pertama Swiss yang telah ikut serta dalam empat pagelaran Piala Dunia. Usia rata-rata skuat Swiss saat ini adalah 26,6 tahun.
Menariknya, sebagian besar skuat pilihan Petkovic memiliki latar belakang pemain keturunan antara lain dari Kosovo, Kamerun, Bosnia Herzegovina, Kroasia, Cape Verde, Spanyol-Cile, Sudan Selatan-Kongo, Pantai Gading, hingga Nigeria. Jangan lupakan bahwa Petkovic pun juga keturunan Bosnia.
Skuat multietnis timnas Swiss sebetulnya bukan hal baru. Sejak Piala Dunia 2014, beberapa pemain keturunan tersebut, terutama yang dari Balkan, telah memperkuat Swiss dan berhasil membawa negaranya mencapai babak 16 besar. Suasana multikultural pun makin terasa pada Piala Eropa 2016. Dari 23 pemain yang membela timnas Swiss saat itu, 14 di antaranya berasal dari Kosovo, Makedonia, Bosnia, Kamerun, Pantai Gading, Turki, hingga Sudan.
Dalam Piala Eropa 2016, skuat multietnis itu bahkan menorehkan sejarah: untuk pertama kalinya Swiss lolos dari fase gugur sepanjang keikutsertaan mereka di Piala Eropa. Kendati kemudian mereka gugur setelah kalah dalam adu penalti kontra Polandia.
FIFA sudah memutuskan Granit, Shaqiri dan Lichsteiner lolos dari skorsing larangan bermain. Mereka hanya dikenai denda dengan besaran yang bervariasi. Denda itu pasti kecil saja bagi ketiga pemain itu, bukan karena mereka sudah jadi kaya raya, melainkan kebahagiaan merayakan gol di depan fans Serbia, yang sepanjang laga terus berteriak "Kosovo adalah Serbia". Perayaan itu juga menyalurkan dendam kesumat dengan cara yang relatif beradab: bukan dengan senapan, melainkan dengan sepakan.
Setelah merayakan kerinduan atas tanah air yang menjadi asal-usulnya, saatnya Shaqiri dan Xhaka menuntaskan pengabdian pada tanah air kedua yang membesarkan namanya. Swiss berpeluang lolos ke babak berikutnya jika berhasil mengalahkan Kosta Rika malam ini.
Editor: Zen RS