Menuju konten utama

Gerilya Luhut Pandjaitan di Luar Tugas Menko Kemaritiman

Keterlibatan Luhut Binsar Pandjaitan di luar cakupan kementeriannya tak hanya terjadi saat ia menyambangi kediaman Ma'ruf Amin. Ia juga berperan dalam konsolidasi politik menjelang aksi 411 dan 212 pada akhir 2016 lalu.

Gerilya Luhut Pandjaitan di Luar Tugas Menko Kemaritiman
Jenderal TNI (HOR) (Purn.) Luhut Binsar Panjaitan. [ANTARA FOTO/Reno Esnir]

tirto.id - Rabu malam, 1 Februari 2017, Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan menyambangi kediaman Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma'ruf Amin, di Koja, Jakarta Utara. Dalam kunjungan itu, Luhut ditemani Kapolda Metro Jaya Irjen Polisi M Iriawan, dan Pangdam Jaya Mayjen TNI Teddy Lhaksmana.

Dari foto yang beredar, terlihat suasana akrab dan santai serta diwarnai saling senyum antara tamu dan tuan rumah. Di meja tersaji air minum dan beberapa cemilan. Luhut dan Ma'ruf yang sama-sama mengenakan kemeja putih duduk berdekatan, sedangkan Iriawan dan Teddy berjejer di sebelah kanan Luhut.

Sehari sebelum pertemuan Luhut-Ma'ruf adalah persidangan kasus dugaan penistaan agama dengan tersangka Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok (31/1/2017).

Persidangan yang menghadirkan Ma'ruf sebagai saksi itu menjadi perbincangan karena tim pengacara dan Ahok mencecar soal sambungan telepon antara Ma'ruf Amin dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Cecaran pengacara dan pernyataan Ahok dianggap sebagai sikap memojokkan Ma'ruf Amin.

Persoalan itu lekas menuai polemik publik, dan Ahok pun segera meminta maaf. Tak hanya Ahok yang bereaksi. Menko Kemaritiman Luhut Pandjaitan, Kapolda Metro Jaya, dan Pangdam Jaya kemudian mengunjungi rumah Ketua Umum MUI itu.

Seusai pertemuan, Ma'ruf Amin menyatakan memaafkan Ahok. Pemberian maaf Ma'ruf itu pun segera direspons oleh Gerakan Ansor Jawa Timur.

"Ansor dan Banser menyatakan sikap sama dengan K.H. Ma'ruf Amin yang telah memaafkan Ahok," kata Ketua Gerakan Pemuda Ansor Jatim Rudi Tri Wachid. GP Ansor Jatim juga memastikan tidak akan melaporkan Ahok, sebab Ma'ruf Amin karena sudah memaafkannya.

Namun, gerilya Luhut menemui Ketua Umum MUI tersebut mendapat sorotan mengingat ia tidak lagi menjabat sebagai Menkopolhukam yang memiliki kewenangan dalam bidang politik, hukum dan keamanan. Meski begitu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak mempersoalkan turut campurnya Luhut dalam setiap persoalan yang terjadi di Indonesia.

Menurut Jokowi, asalkan demi kepentingan bangsa dan negara, maka siapa pun boleh turut andil menyelesaikan. Termasuk dalam kesalahpahaman yang terjadi antara Ma'ruf Amin dengan Ahok dan tim pengacaranya. “Inisiatif setiap menteri, setiap menteri koordinator ya, saya kira begitu. Kalau untuk kebaikan negara, saya kira enggak apa-apa,” kata Jokowi.

Luhut Pandjaitan sendiri menyatakan kunjungannya ke rumah Ma'ruf Amin sebagai teman baik, bukan dalam kapasitasnya sebagai menteri. "Pak Kiai Ma'ruf dan saya sepakat untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta perdamaian di Indonesia ini," kata Luhut, seperti dikutip Antara.

"Saya datang bukan sebagai menteri tapi sebagai teman baik, teman yang sudah kenal lama. Hubungan saya dengan Nahdlatul Ulama kan sangat baik, beliau juga Rais Aam NU. Kebetulan pada saat itu hadir juga Kapolda dan Pangdam."

Keterlibatan Luhut dalam urusan pemerintahan di luar wewenang kementerian yang dipimpinnya bukan hal baru. Dalam berbagai momentum penting ia selalu tampil dan terlibat langsung, termasuk konsolidasi politik menjelang demo bela Islam yang dikenal dengan aksi 411 dan 212 pada akhir 2016 lalu.

Kedekatannya dengan Presiden dan kelihaiannya dalam konsolidasi politik membuat Jokowi kerap melibatkan Luhut dalam momen-momen penting. Misalnya, pada menjelang aksi demonstrasi 4 November 2016 yang isunya makin panas sehingga Presiden Jokowi memutuskan untuk menemui Prabowo Subianto pada 31 Oktober 2016.

Saat itu, pemerintah merespons isu tersebut dengan serius karena menyangkut banyak hal, salah satunya terkait isu keamanan dan stabilitas nasional. Jika dilihat secara kelembagaan, maka hal ini menjadi tugas Panglima TNI dan Menteri Pertahanan, yang keduanya berada di bawah koordinasi Kemenkopolhukam.

Namun, dalam safari politik yang dilakukan Jokowi, ia justru mengajak Menko Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan. Hal ini memunculkan pertanyaan: Mengapa Luhut yang notabene Menko Kemaritiman, bukan Wiranto sebagai Menkopolhukam yang menemani Presiden?

Selain soal kedekatan Luhut dengan Presiden, tentu ada alasan lain yang menjadi pertimbangan Jokowi dalam konsolidasi politik tersebut. Dalam konteks ini, Luhut dan Wiranto berada pada kubu yang sama dan menjadi lawan Prabowo pada Pilpres 2014 lalu. Bedanya, Luhut dan Prabowo sama-sama pernah di Kopassus, dan Prabowo adalah junior Luhut. Sedangkan Wiranto pernah memberhentikan Prabowo dari jabatannya sebagai Pangkostrad.

Karena itu, masuk akal jika Jokowi lebih memilih mengajak Luhut daripada Menkopolhukam Wiranto. Jokowi menilai Luhut lebih strategis untuk menjembatani psikologis agar maksud dan tujuan safari politik Jokowi ke Hambalang, Jawa Barat tercapai.

Meskipun peran Luhut cukup besar dalam rentetan demonstrasi 411 dan 212, tapi Jokowi tetap memberikan porsi tersendiri bagi Wiranto. Ia ditugas oleh Presiden untuk menemui perwakilan demonstran, bersama dengan Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian dan Panglima TNI, Jenderal TNI Gatot Nurmantyo.

Infografik Gerilya Luhut di Luar Tugas Menko Kemaritiman

Peran Sentral Luhut

Peran Luhut dalam pemerintahan Jokowi memang cukup sentral. Posisi Luhut semakin kuat setelah ia diangkat sebagai Menkopolhukam pada reshuffle pertama kabinet kerja.

Sederet manuver telah dilakukannya, termasuk memecah kekuatan politik Koalisi Merah Putih melalui Partai Golkar. Bahkan, terpilihnya Setya Novanto sebagai Ketua Umum Golkar memunculkan dugaan adanya intervensi dari pemerintah melalui pengaruh Luhut.

Misalnya, menjelang Munaslub Golkar di Bali, Setya Novanto pernah mencatut nama Presiden Jokowi. Ia berkampanye seolah-olah dirinya merupakan kandidat yang didukung Istana kepada para ketua DPD Golkar sebagai pemilik suara.

Klaim tersebut berangkat dari dukungan salah satu menteri di Kabinet Kerja yang berlatar belakang Partai Golkar, yang tidak lain adalah Luhut Binsar Pandjaitan. Meskipun rumor itu sempat ditepis Luhut, namun kedekatan keduanya dan arah Golkar bahwa Novanto yang mendukung pemerintah tak bisa terbantahkan.

Peran sentral Luhut juga terlihat ketika namanya dicatut dalam kasus “Papa Minta Saham.” Kasus ini bermula ketika Sudirman Said (saat itu menteri ESDM) melaporkan Setya Novanto ke Mahkamah Kehormatan Dewan atau MKD atas dugaan pelanggaran kode etik karena terlibat dalam proses perundingan kembali perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia. Novanto dituding mencatut nama Jokowi dan Jusuf Kalla serta disebut-sebut meminta saham dalam proses itu melalui Luhut. Sontak, Luhut pun mengklarifikasi bahwa dirinya tidak terlibat.

Ia membantah telah bertemu dengan Novanto dan pengusaha Muhammad Riza Chalid untuk membicarakan masalah perpanjangan kontrak Freeport. Luhut merasa pemberitaan mengenai dirinya tidak adil dalam soal rekaman pembicaraan antara Riza Chalid, Maroef Sjamsuddin dan Novanto yang menyebutkan namanya berulang kali.

“....., ada yang menuduh saya seolah-olah saya pernah berbicara pada Novanto atau saudara Riza untuk pengaruhi Presiden [Jokowi] perpanjang kontrak Freeport,” ujarnya seperti dikutip Antara.

Kasus ini tak membuat peran sentral Luhut di pemerintahan meredup. Meski pada perombakan kabinet kerja kedua tugasnya berganti menjadi Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut tetaplah Luhut. Ia berperan lebih dari sekadar Menko Kemaritiman, seperti sekarang ini: menjadi sahabat K.H. Ma'ruf Amin.

Baca juga artikel terkait PILGUB DKI JAKARTA 2017 atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Politik
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Maulida Sri Handayani