Menuju konten utama

Gen Z Penyumbang Angka Pengangguran Tinggi, Pemerintah Bisa Apa?

Tingginya angka pengangguran Gen Z disebabkan mayoritas mereka belum siap untuk bekerja dan ada ketidaksesuaian dengan kebutuhan industri.

Gen Z Penyumbang Angka Pengangguran Tinggi, Pemerintah Bisa Apa?
Pencari kerja mengunjungi salah satu stan perusahaan pada bursa kerja di Disnakertran Tulungagung, Tulungagung, Jawa Timur, Senin (31/7/2023). ANTARA FOTO/Destyan Sujarwoko/tom.

tirto.id - Generasi Z yang lekat dengan sebutan 'generasi strawberry' dikenal terbuka terhadap hal baru, kreatif namun mudah menyerah. Namun, Gen Z yang sudah tidak asing dengan gadget sejak dini ini justru menjadi penyumbang terbesar angka pengangguran di Indonesia.

Dari karakteristik tingkat pengangguran terbuka (TPT) mayoritas pengangguran di Indonesia didominasi oleh Generasi Z (Gen Z). Penduduk usia dengan rata-rata 15-24 tahun itu menyumbang 19,40 persen dari total pengangguran 7,86 juta orang. Sementara penduduk usia 25-59 tahun mencapai 3,07 persen dan 60 tahun ke atas 1,28 persen.

Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS mencatat jumlah pengangguran di Indonesia pada Agustus 2023 mencapai 7,86 juta orang dari total angkatan kerja sebanyak 147,71 orang.

Angka tersebut relatif turun 6,77 persen atau sekitar 560.000 orang jika dibandingkan pada periode sama tahun sebelumnya yang tercatat sebanyak 8,42 juta orang.

Dari komposisinya, angkatan kerja pada Agustus 2023 terdiri dari 139,85 juta orang penduduk yang bekerja dan 7,86 juta orang sisanya belum bekerja. Bila dibandingkan Agustus 2022, jumlah angkatan kerja meningkat sebanyak 3,99 juta orang, penduduk bekerja bertambah sebanyak 4,55 juta orang, sementara pengangguran berkurang sebanyak 0,56 juta orang.

"Tidak semua angkatan kerja terserap di pasar kerja dan sebagian menjadi pengangguran yaitu sebanyak 7,86 juta orang," ujar Plt Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti dalam rilis BPS, di kantornya, Jakarta Pusat, Senin (6/11/2023).

TPT merupakan indikator yang digunakan untuk mengukur tenaga kerja yang tidak terserap oleh pasar kerja dan menggambarkan kurang termanfaatkannya pasokan tenaga kerja. TPT hasil Sakernas Agustus 2023 tercatat sebesar 5,32 persen. Hal ini berarti dari 100 orang angkatan kerja, terdapat sekitar 5 orang pengangguran.

Jika dilihat dari jenis kelaminnya pada Agustus 2023, TPT laki-laki sebesar 5,42 persen, lebih tinggi dibanding TPT perempuan yang sebesar 5,15 persen. TPT laki-laki dan perempuan memiliki pola yang sama dengan TPT nasional yaitu turun dibandingkan Agustus 2022, masing-masing sebesar 0,51 persen poin dan 0,60 persen poin.

"Sejalan dengan peningkatan TPAK (Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja), penurunan pengangguran perempuan ini lebih besar dibanding laki-laki," ujar Amalia.

Sementara jika dilihat menurut daerah tempat tinggal, TPT perkotaan (6,40 persen) jauh lebih tinggi dibandingkan TPT di daerah perdesaan (3,88 persen). Dibandingkan Agustus 2022, TPT perkotaan mengalami penurunan sebesar 1,34 persen poin. Sementara itu, TPT perdesaan mengalami peningkatan sebesar 0,45 persen poin.

Bursa kerja di Papua Barat Daya

Pegawai perusahaan (kanan) memberikan penjelasan kapada pancarı kerja pada bursa kerja di Gedung Aimas Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, Senin (18/9/2023). ANTARA FOTO/Olha Mulalinda/tom.

Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjudin Nur Effendi mengatakan, tingginya jumlah pengangguran pada Gen Z menjadi wajar karena survei dilakukan Sakernas pada Agustus 2023. Pada periode tersebut, kebanyakan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Sekolah Menengah Atas (SMA), hingga perguruan tinggi baru lulus dan melangsungkan wisuda.

“Pada masa seperti itu orang baru keluar itu biasanya angka pengangguran itu tinggi. Karena mereka kalau ditanya apa kegiatan Anda sekarang jawabnya sedang mencari kerja itu disebut pengangguran kemungkinan itu satu,” kata Tajudin saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (7/11/2023).

Faktanya, jika melihat data Sakernas pada Agustus usia muda yang belum bekerja selalu mengalami peningkatan. Misalnya, pada 2021 total Gen Z yang menganggur saat itu sebanyak 19,55 persen.

Kemudian meningkat pada Agustus 2022 menjadi 20,63 persen dari total jumlah pengangguran saat itu. Meskipun pada tahun ini masih didominasi Gen Z, tapi angkanya relatif menurun jika dibandingkan periode sama dua tahun sebelumnya.

“Kedua, memang jika di-breakdown ke pendidikan paling tinggi SMA dan SMK. Ini anak anak baru selesai katakan tidak melanjutkan ke perguruan tinggi mereka mencari kerja,” ucap dia.

Apabila dilihat berdasarkan pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh angkatan kerja, TPT pada Agustus 2023 mempunyai pola yang hampir sama dengan Agustus 2022. Pada Agustus 2023, TPT tamatan SMK masih merupakan yang paling tinggi dibandingkan tamatan jenjang pendidikan lainnya, yaitu sebesar 9,31 persen.

Sementara itu, TPT yang paling rendah adalah pendidikan SD ke bawah, yaitu sebesar 2,56 persen. Dibandingkan Agustus 2022, penurunan TPT terjadi pada hampir semua tingkat pendidikan, dengan penurunan terbesar pada yang berpendidikan Sekolah Menengah Pertama, yaitu sebesar 1,17 persen poin.

Sedangkan lulusan Diploma I/II/III dan lulusan Diploma IV, S1, S2, S3 mengalami peningkatan TPT, masing-masing sebesar 0,20 persen poin dan 0,38 persen poin.

Skill & Kurikulum Tidak Sesuai Kebutuhan Pasar Kerja

Tadjudin menilai persoalan lain dari tingginya angka pengangguran Gen Z lantaran mayoritas mereka belum siap untuk bekerja. Pertama, karena mungkin skill mereka tidak sesuai dengan yang dikehendaki pasar kerja, baik SMA maupun SMK.

“Terutama yang SMA, menurut saya SMA itu sangat yakin bahwa pengetahuan mereka sangat umum mungkin itu sulit untuk masuk kerja,” ujar dia.

Sementara di SMK sendiri, kata dia, masih terdapat jurusan-jurusan tertentu yang tidak sesuai dengan pasar kerja. Contohnya saja, otomotif. Jurusan ini mayoritas banyak dipilih oleh masyarakat. Namun, di lapangan praktiknya belum ada pembaruan. Padahal sekarang kondisinya sudah banyak beralih ke kendaraan elektrik dan belum ada pembaruan di sisi ini.

“Itu menurut pengalaman saya bertanya mereka masih otomotif. Otomotif mobil yang lama. Kurikulum tidak mengikuti perkembangan pasar kerja. Semua itu yang menyebabkan mereka kemudian ketika masuk dunia kerja berhadapan dengan permintaan itu tidak sesuai dan mereka sulit diterima,” ujarnya.

Kepala Badan Standar, Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP), Anindito Aditomo mengakui, bahwa kurikulum SMK selama ini kurang relevan dengan kebutuhan dunia usaha dan dunia kerja.

Oleh karena itu, Kemendikbudristek tengah mengembangkan Kurikulum Merdeka untuk menyelaraskan kebutuhan pasar kerja.

"Untuk SMK, salah satu ciri utama Kurikulum Merdeka adalah fleksibilitas agar dapat diadaptasi oleh sekolah bersama dengan mitra industrinya," ujar dia kepada Tirto, Selasa (7/11/2023).

Dia mengklaim dengan Kurikulum Merdeka, penyusunan kurikulum operasional tingkat satuan pendidikan dilakukan bersama mitra industri. SMK juga didorong untuk menggandeng mitra industri untuk ikut menjadi pengajar.

Selain itu, porsi kejuruan dalam Kurikulum Merdeka juga diperbesar menjadi sekitar 70 persen dari seluruh jam pelajaran yang ada. Dalam Kurikulum Merdeka, porsi praktik lapangan juga ditambah.

"Terkait pengangguran, perlu diingat bahwa hal ini dipengaruhi tidak hanya oleh kualitas pendidikan, tapi juga ketersediaan lapangan kerja," ucap dia.

Jika merujuk struktur kurikulum Merdeka Mengajar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), ada beberapa mata pelajaran kelompok Kejuruan yang ada di SMK/MAK.

Pertama, Mata Pelajaran Kejuruan. Di kelas 10, mata pelajaran kejuruan berpusat pada pelajaran dasar-dasar Program Keahlian. Di kelas 11 dan 12, mata pelajaran ini mencakup kelompok unit kompetensi yang dikembangkan secara lebih teknis sesuai Konsentrasi Keahlian yang dipilih.

Kedua, mata pelajaran kreatif dan kewirausahaan. Mata pelajaran ini menjadi alat bagi murid untuk mengaktualisasikan dan mengekspresikan kompetensi yang dikuasai. Hal ini dilakukan melalui pembuatan produk atau pekerjaan layanan jasa secara kreatif dan bernilai ekonomis.

Ketiga, mata pelajaran pilihan. Mata pelajaran yang dipilih oleh murid sesuai dengan renjana (passion) untuk pengembangan diri, melanjutkan pendidikan, berwirausaha, maupun bekerja pada bidang yang dipilih. Murid dapat mendalami mata pelajaran kejuruan di konsentrasi keahliannya, mata pelajaran kejuruan lintas konsentrasi keahlian, mata pelajaran umum, atau mata pelajaran kelompok pilihan yang diajarkan di fase F SMA/MA.

Selanjutnya pemilihan konsentrasi pada satu program keahlian. Pemilihan konsentrasi dilakukan berdasarkan kebutuhan tenaga kerja di dunia kerja yang menjadi sasaran murid. Satu program keahlian bisa mencakup satu atau lebih konsentrasi. Jika ada konsentrasi yang berbeda dalam satu program keahlian, maka akan diselenggarakan dalam rombongan belajar yang berbeda.

Perlunya Ada Lembaga Pelatihan

Terlepas dari itu, Tadjudin Nur Effendi menilai perlu ada lembaga pusat pelatihan vokasi yang menangani angkatan kerja usia muda. Lewat lembaga tersebut, para angkatan kerja ini bisa mendapatkan pelatihan selama tiga sampai enam bulan sebelum masuk bekerja.

“Artinya pusat pelatihan yang diharapkan [sekarang] itu belum sesuai. Jadi tertinggal di sana industrinya begitu cepat, di sisi pusat pelatihannya jalannya lambat,” ucapnya.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menambahkan, masalah utama dari banyaknya Gen Z yang belum bekerja karena ada gap kesesuaian antara keahlian yang diperoleh dari dunia pendidikan dengan kebutuhan industri. Termasuk sekolah vokasi yang seharusnya langsung siap kerja dengan industri.

“Jadi pelaku industri di Indonesia ini harus mempersiapkan biaya training yang sangat mahal ketika merekrut lulusan baru atau fresh graduate,”ujar Bhima kepada Tirto, Selasa (7/11/2023).

Biaya pelatihan, kata Bhima, seharusnya bisa direduksi ketika pelajar mendapatkan kesempatan training sebelum lulus. Di saat yang bersamaan, banyak anak muda baru lulus tidak memiliki pengalaman soft skill yang memadai, misalnya aktif berorganisasi, ikut perlombaan atau pengalaman lainnya. Sebab, untuk bekerja di sektor jasa, keahlian dan ijazah saja kan tidak cukup tapi harus dibekali dengan keahlian organisasi dan komunikasi.

“Kita juga perlu bertanya ke pemerintah bagaimana peran BLK (Balai Latihan Kerja) yang jumlahnya ratusan itu, karena masih menghadapi masalah klasik kurangnya trainer sekaligus kualitas mesin yang tidak layak. Anggaran harusnya dialokasikan lebih banyak ke revitalisasi BLK,” pungkas dia.

Job fair di Kota Sukabumi

Sejumlah peserta mencari informasi lowongan kerja saat Job Fair di Cikole, Kota Sukabumi, Jawa Barat, Rabu (11/10/2023). ANTARA FOTO/Henry Purba/wpa/hp.

Dukungan Kemnaker untuk Pencari Kerja

Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan, Anwar Sanusi mengakui, pekerjaan rumah pemerintah saat ini memang masih cukup besar karena tingginya pengangguran di kelompok Gen Z.

Namun, kata Anwar, pengangguran ini perlu dicermati apakah mereka menganggur karena memang tidak diterima dalam lapangan kerja, atau mereka tidak mau bekerja karena sesuatu hal seperti masih menggantungkan ke orang tuanya.

"Kalau mereka tidak bekerja bisa disebabkan karena bidang pekerjaan tersebut tidak diminati dengan alasan kurang prestise. Atau mereka nggak masuk karena kompetensi yang dimiliki kurang sesuai atau belum mencukupi," kata Anwar kepada Tirto, Selasa (7/11/2023).

Dalam hal ini, pihaknya berjanji akan mendorong mereka masuk atau diterima dalam pasar kerja dengan memberikan pelatihan sesuai dengan permintaan pasar kerja. Selain itu, edukasi tentang pasar kerja juga akan dilakukan secara masif.

Sebagai langkah mendukung pelayanan pencari kerja yang efektif, Kementerian Ketenagakerjaan mengklaim sudah memberikan pembekalan berupa Pelatihan Mandiri (Self-Training) bagi para pengantar kerja.

Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kerja (Binapenta dan PKK) Haiyani Rumondang mengatakan, pelatihan mandiri merupakan komponen yang penting dalam mendukung peningkatan kualitas layanan kepada pencari kerja.

Pelatihan mandiri lanjutnya, tidak hanya memberikan manfaat pribadi bagi pengantar kerja, tetapi juga dapat berkontribusi positif pada upaya pemberdayaan pencari kerja.

“Dengan kemampuan untuk memahami proses penerimaan dan tuntutan pekerjaan, mereka menjadi lebih siap untuk menghadapi tantangan dan bersaing di pasar kerja yang kompetitif,” ucap Dirjen Haiyani dalam keterangannya kepada Tirto.

Dirjen Haiyani mengungkapkan, pengantar kerja memegang peranan penting dalam membantu masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian mereka. Selain itu, pengantar kerja juga menjadi tulang punggung dari Layanan Ketenagakerjaan Publik.

"Kami yakin bahwa dengan peningkatan kompetensi melalui pelatihan mandiri, saudara akan menjadi agen perubahan untuk membantu masyarakat mengejar impian mereka dalam karir dan kehidupan mereka,” tegasnya.

Baca juga artikel terkait ANGKA PENGANGGURAN atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Maya Saputri