tirto.id - Adi Adriansyah Sjoekri, tampak sumringah meladeni pertanyaan awak media meski jarum jam sudah menunjukkan pukul 17.00 WIB. Padahal Adi sudah berbicara panjang lebar selama tiga jam ketika bertemu para investor saat RUPS LB dan Public Expose pada medio Mei lalu. Senyum Presiden Direktur PT Merdeka Copper Gold Tbk ini bukan tanpa sebab, kinerja keuangan perusahaan yang dipegangnya sudah meraup untung lumayan besar.
“Kami bersyukur berhasil mewujudkan komitmen kepada para investor bahwa dua tahun setelah IPO, Merdeka Copper akhirnya dapat berproduksi,” kata Adi.
Emiten tambang ini memang unik, saat menawarkan saham perdana atau initial public offering (IPO) pada 19 Juni 2015, Merdeka Copper belum berproduksi atau belum memiliki pendapatan sepeserpun. Konsekuensinya ia mengalami rugi bersih sepanjang 2015 dan 2016, masing-masing senilai US$5,22 juta dan US$2,75 juta. Kondisi tersebut juga berlanjut pada kuartal I-2017, di mana perseroan mencatatkan rugi bersih sebesar US$1,74 juta.
Tak hanya kinerja keuangan saja yang suram, harga saham Merdeka Copper ikut tersungkur. Tren harga saham perseroan bergerak menurun ke level Rp2.000 per saham pada akhir 2016 dari harga saham perdana Rp2.300 per saham. Langkah Merdeka Copper melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan kondisi keuangan yang negatif memang diperbolehkan secara aturan di bursa. BEI sudah mengeluarkan aturan terkait perusahaan tambang yang belum mencatatkan keuangan untuk melakukan IPO.
Ketentuan itu tertuang dalam Keputusan Direksi BEI No. Kep-00100/BEI/10-2014 tentang Pencatatan Saham dan Efek Bersifat Ekuitas Selain Saham yang Diterbitkan oleh Perusahaan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batu Bara pada 20 Oktober 2014. Menurut BEI, kelonggaran tersebut bertujuan untuk memperluas peluang perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan mineral dan batu bara dalam mendapatkan pendanaan dari pasar modal.
Namun, masa-masa suram emiten milik Saratoga Group sudah berlalu, tepatnya pada Maret 2017. Sejak itu, perseroan akhirnya menghasilkan emas dan perak dari Tambang Tujuh Bukit di Banyuwangi, Jawa Timur.
Pelan tapi pasti, dompet Merdeka Copper mulai terisi. Sepanjang 2017, perseroan telah menghasilkan 142.468 ounces emas dan 44.598 ounces emas (ounces sama dengan 28,34 gram). Dari hasil galian tambang tersebut, perseroan berhasil membukukan nilai pendapatan sebesar US$129,42 juta. Dengan pendapatan tersebut, perseroan meraup laba bersih senilai US$43,13 juta dari tahun sebelumnya rugi US$2,35 juta.
Berbaliknya kinerja perseroan dari rugi menjadi untung mendapat respons investor. Harga saham Merdeka Copper, perlahan-lahan terangkat melewati harga saham perdananya sebesar Rp2.300 per saham. Sepanjang 2017, harga saham Merdeka Copper naik 7 persen menjadi Rp2.140 per saham dari sebelumnya Rp2.000 per saham. Saham perseroan sempat menyentuh level tertinggi di angka Rp2.530 per saham pada 9 Juni 2017.
Memasuki 2018, emiten yang melepas 37 persen sahamnya ke publik ini menargetkan produksi emas naik 9-25 persen. “Kami menargetkan pendapatan perseroan tahun ini naik 30 persen dari realisasi pendapatan tahun lalu sebesar US$129,42 juta dengan produksi emas sekitar 155.000-177.000 ounces,” tutur Adi kepada Tirto.
Proyeksi Merdeka Copper punya peluang terealisasi mengingat perseroan telah meraup pendapatan US$71,88 juta sepanjang kuartal I-2018, atau 43 persen dari target 2018 sekitar US$168,24 juta.
Prospek perseroan yang cerah juga didorong dengan harga emas yang terus merangkak naik. Menurut Bloomberg, harga emas global pada 25 Mei 2018 mencapai US$1.309 per ounces, naik 3,4 persen dari periode yang sama tahun lalu. Selain harga, permintaan emas pun diperkirakan masih akan baik, ditopang dari sektor perhiasan dan e-commerce.
Menerawang Bisnis Tambang
Di bursa saham, perusahaan yang mengoperasikan tambang emas selain Merdeka Copper antara lain PT Aneka Tambang Tbk. dan PT J Resources Asia Pasifik. Dua-duanya sudah cukup lama melantai di BEI. Tren kinerja keuangan Aneka Tambang (Antam) terus membaik dalam tiga tahun terakhir. Pada 2015, Antam sempat mengalami rugi bersih sebesar Rp1,4 triliun. Namun, kondisinya berbalik menjadi untung Rp64,8 miliar pada 2016.
Pada tahun berikutnya, emiten BUMN ini kembali mencatatkan hasil positif. Laba bersih Antam melonjak 111 persen menjadi Rp136,5 miliar. Kondisi tersebut juga berlanjut pada kuartal I-2018, bahkan lebih baik. Sepanjang kuartal pertama 2018, perseroan mencatatkan laba bersih sebesar Rp237,35 miliar, melonjak dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp803 juta. Kenaikan ini didorong dari penjualan yang naik 247 persen menjadi Rp5,71 triliun.
Emas menjadi komoditas yang paling signifikan mendongkrak penjualan Antam. Sumbangan emas pada kuartal I-2018 mencapai 71,2 persen dari total pendapatan. Hasil ini lebih tinggi ketimbang 2016, di mana emas menyumbang 58,26 persen dari total pendapatan.
Dikutip dari laman resmi Antam, pendapatan emas didorong dari volume produksi emas dari Tambang Pongkor dan Cibaliung sebanyak 539 kg dengan volume penjualan mencapai 6.945 kg pada kuartal I-2018, atau naik 226 persen dari periode yang sama tahun lalu.
PT J Resources Asia Pasifik Tbk. juga mencatatkan kinerja keuangan yang cukup positif dengan meraup laba bersih secara konsisten setiap tahunnya. Sayangnya, laba bersih perseroan dari tahun ke tahun semakin tipis. Perusahaan dengan kode emiten PSAB ini meraup laba bersih sebesar US$15,89 juta pada 2017, turun 29 persen dari laba bersih 2016 sebesar US$22,22 juta. Pada 2015, laba bersih perseroan sempat menyentuh US$31,27 juta.
Kinerja perusahaan tambang emas sangat berkorelasi dengan harga emas, dan berpeluang mengerek harga sahamnya. Bila melihat tren pergerakan harga saham, masing-masing saham emiten mengalami kenaikan dalam tahun berjalan ini. Untuk Merdeka Copper, harga sahamnya naik 4,5 persen menjadi Rp2.550 per saham, J Resources naik 30 persen menjadi Rp240 per saham, dan Antam naik 37 persen menjadi Rp870 per saham.
“Saya pikir semua emiten tambang emas bisa menjadi pilihan portofolio investor pada tahun ini. Selain masih murah, potensi harga saham untuk naik juga masih terbuka,” ujar Kiswoyo Adi Joe, analis PT Narada Asset Management kepada Tirto.
Editor: Suhendra