Menuju konten utama

Geliat Meramaikan Daerah Lewat Kerja Kebudayaan

Berlandaskan UU Pemajuan Kebudayaan dan Dana Indonesiana, Ibu Pertiwi berpotensi mengukuhkan posisinya sebagai kekuatan budaya dunia.

Geliat Meramaikan Daerah Lewat Kerja Kebudayaan
Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek, saat memantau persiapan Pekan Kebudayaan Nasional 2023. (FOTO/istimewa)

tirto.id - Tak lama setelah Reformasi bergulir, sejumlah seniman “menduduki” sebidang lahan dan ruangan milik Angkatan Darat di bilangan Setiabudi, Bandung. Lahan dan ruangan itu lalu disulap menjadi galeri, namanya Galeri Barak.

Dari rahim Galeri Barak, macam-macam kegiatan lahir: pameran seni rupa, diskusi budaya, panggung pertunjukan hingga, salah satu yang paling diingat orang, gelaran Bandung Performance Art Festival (BaPAF). Kegiatan yang muncul tahun 2000 itu diinisiasi oleh Arief Yudi Rahman, pengelola Galeri Barak yang notabene orang teater keluaran Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI).

Circa 2004, Galeri Barak tutup. Angkatan Darat menyudahi kerjasama mereka dengan kaum seniman. Arief Yudi lalu pulang ke kampung halamannya di Jatiwangi, Majalengka. Jauh dari pusat kesenian, alih-alih terbenam, kiprah Arief sebagai seniman kontemporer justru semakin moncer.

“Saya kembali ke Jatiwangi dengan harapan bisa menguji coba dan mengeksplorasi fungsi seni pada kehidupan sosial secara lebih mendalam,” ungkap Arief kepada Tirto.id, Selasa (11/6/2024).

Di tanah kelahirannya, 27 September 2005, Arief mendirikan Jatiwangi art Factory (JaF), sebuah kolektif seni yang dibangun di area jebor alias pabrik genteng.

Sebagai kolektif, JaF fokus melakukan kajian perihal kehidupan warga lokal lalu mengungkapkan hasilnya lewat berbagai aktivitas seni budaya. Aktivitas itu terasa makin kolaboratif setelah JaF menjalin kerjasama dengan Pemerintah Desa Jatisura sejak tahun 2008.

“Untuk merawat ekosistem, hal paling penting adalah punya kesadaran atas manfaat komunitas (seni) bagi wilayah tempat mereka tinggal,” ungkap Arief.

Arief menambahkan, aspek manfaat komunitas seni bisa ditunjukkan dengan mengarahkan imajinasi masa depan suatu wilayah. Caranya, pegiat komunitas seni harus mempraktikkan metode pencapaian mereka bersama masyarakat setempat atas dasar kehendak bersama.

“Dengan begitu, kita bisa berasyik-ria menemukan estetika atau praktek seni pada kehidupan sehari-hari yang mungkin terlihat biasa saja,” beber Arief.

Apa yang diungkapkan Arief mendapatkan buktinya di JaF. Genteng yang biasanya diproduksi sebagai atap rumah, di tangan warga Jatisura malah punya fungsi lain.

Kegiatan fisik para kuli dikemas menjadi lomba binaraga angkat genteng, memberi penghiburan tersendiri bagi warga.

Sedangkan ibu-ibu yang punya pengalaman buruk dengan Bank Emok alias lintah darat, berhimpun dalam Mother Bank, grup musik yang belakangan menarik perhatian penikmat musik di dalam dan luar negeri. Mereka menggunakan alat musik berbasis tanah liat.

“Kini ada juga grup musik anyar The Talawengkar, semua personilnya adalah kuli genteng. Kami juga sedang berpameran di Van Abbemuseum, Eindhoven, Belanda, temanya soal tanah,” sambung Arief.

Arief menekankan, komunitas seni di Indonesia punya potensi yang luar biasa. Mereka punya kekhasannya sendiri-sendiri dan mampu mengartikulasikan kehidupan politik, sosial, dan ekonomi masyarakatnya melalui pendekatan artistik.

“Dengan potensi seperti itu, saya yakin bahwa keberadaan komunitas-komunitas seni di Indonesia bisa membuat negeri ini adidaya dalam hal budaya,” pungkas Arief.

Kerja Budaya Orang Tubaba

Arief Yudi dan JaF-nya menyadari potensi Jatiwangi sebagai produsen tanah merah berkualitas, lantas dari situlah beragam ekspresi artistik digali bersama masyarakat. Gerakan yang hampir sama muncul di Tulang Bawang Barat (Tubaba), tapi bertolak dari situasi dan kondisi yang sama sekali berbeda.

“Gerakan seni budaya di Tubaba muncul dari kesadaran bahwa kami tidak punya apa-apa,” ungkap eks Bupati Tubaba, Umar Ahmad, kepada Tirto.id, Jumat (7/2/2024).

Umar pertama kali dilantik sebagai Bupati Tubaba tahun 2014, lengser tahun 2022. Di awal masa kepemimpinannya, Umar membangun Islamic Center dan Balai Adat Tiyuh Panaragan di satu komplek yang sama.

“Saya menyebutnya komplek dunia-akhirat, sebab keduanya merupakan simbol dari ungkapan hidup dikandung adat, mati dikandung amal dan iman,” sambung Umar.

Islamic Center merujuk pada Masjid Baitus Shobur atau Masjid 99 Cahaya Asmaul Husna karya Andra Matin. Masjid ini punya daya tarik tersendiri lantaran fasad dan bentuknya jauh dari citra umum sebuah masjid. Tanpa kubah, Baitus Shobur lebih menyerupai sebuah monumen dengan bangunan segi lima menjulang, menyimbolkan Rukun Islam.

Di area Islamic Center dan Balai Adat, terbentang danau buatan yang menentramkan hati maupun pandangan. Warga Tubaba kerap menjadikan area publik itu sebagai tempat beraktivitas, selain di tempat lain seperti Las Sengok atau Taman Seribu Batu, Taman Kebaikan, juga Tugu Rato Nago Besanding.

Tahun 2016, Umar Ahmad mengundang 9 sastrawan Indonesia untuk datang ke daerahnya demi mengumpulkan dan menulis ulang berbagai cerita lisan dari para pinisepuh di sana. Hasilnya adalah sebuah buku bertajuk “Tubaba: Kerja Sastra dari Tulang Bawang Barat”.

“Kerja sastra dan budaya adalah pilihan yang kami tampilkan ke publik, karena kota kami tidak jualan garis pantai, perbukitan, atau pariwisata lainnya. Kami tidak punya itu semua. Jadi, (buku) Kerja Sastra Tubaba adalah pintu masuk,” ungkap Umar.

Umar menjelaskan, secara geografis wilayah Tubaba bukanlah daerah perlintasan, apalagi daerah tujuan wisata. Tubaba tidak punya gunung atau laut dengan panorama yang indah, juga tidak punya hasil bumi yang melimpah. Perkebunan karet adalah satu-satunya perkebunan yang dikelola masyarakat Tubaba–itu pun mesti bersaing saing dengan daerah lain.

“Tidak punya apa-apa bukan berarti tidak bisa berbuat apa-apa. Tatanan kehidupan yang baru bisa diciptakan. Bahannya adalah nilai-nilai yang terekam dalam tradisi lisan, serta tindak-tanduk yang terlihat dalam perilaku keseharian,” ungkap Umar.

Umar membayangkan Tubaba sebagai Uluan Nughik, awal kehidupan, ruang bagi semua makhluk hidup yang menawarkan harmoni dan kedamaian. Dalam hal inilah kerja-kerja kebudayaan mulai ambil peran.

“Tubaba bukan lagi semata singkatan. Sekarang ia punya makna sebagai masa depan,” sambung Umar.

Ikhtiar membangun masa depan itu dilakukan dengan banyak cara, salah satunya lewat Sekolah Seni Tubaba, lembaga informal yang menyediakan berbagai kelas dalam bidang kesenian.

“Di Tubaba, Sekolah Seni dilangsungkan bukan untuk mencetak seniman, tapi untuk menumbuhkan kesadaran sebagai seorang manusia Tubaba yang punya nilai nemen (gigih), nedes (pantang menyerah), nerimo (tulus hati), setara, sederhana, dan lestari,” kata Umar.

Untuk mengenalkan Tubaba kepada khalayak, Sekolah Seni Tubaba menginisiasi Tubaba Art Festival, digelar setahun sekali sejak 2016. Nama-nama sekelas Bimbo, Jason Ranti, Sandrayati Fay, dan Riri Riza pernah menjadi bagian dari keriaan ini.

“Tubaba Art Festival ke-8 akan digelar bulan Agustus. Seperti tahun-tahun sebelumya, tahun ini juga kami berencana menghadirkan seniman-seniman kenamaan untuk menginspirasi anak-anak muda Tubaba,” kata Kepala Sekolah Seni Tubaba, Semi Ikra Anggara, kepada Tirto.id, Selasa (11/6/2024).

Dua tahun sudah Umar Ahmad tidak lagi menjabat sebagai bupati Tubaba, tapi warisannya di bidang seni budaya masih terasa. Sekolah Seni Tubaba dan program-programnya masih eksis, sekalipun tidak lagi mendapat dukungan penuh dari Pemda.

Semi menerangkan, sejak awal berdiri Sekolah Seni Tubaba memang didesain agar bisa bertahan tanpa harus selalu mengandalkan anggaran Pemda. Tahun ini, Sekolah Seni Tubaba mendapat banyak dukungan dari eksternal, termasuk fasilitasi Dana Indonesiana dari pemerintah pusat.

Saat artikel ini dirilis, Sekolah Seni Tubaba tengah berkolaborasi dengan Jagad Gallery, Jakarta Pusat, melangsungkan pameran “Beyond Elasticity: Rubber and Materiality”. Pameran yang dikuratori Asmudjo J. Harianto ini menampilkan karya-karya Agus Suwage, Anusapati, Catur Nugroho, Dolorosa Sinaga, Elyezer Handiwirman, Iwan Yusuf, Maharani Mancanagara, Septian Harriyoga, Suvi Wahyudianto, Titarubi, dan Yuli Prayitno.

“Pameran tersebut terselenggara atas dukungan Pak Rambat, pemilik Jagad Gallery. Selain membiayai seniman-seniman peserta pameran untuk residensi di Tubaba, Pak Rambat juga mengalokasikan sebagian keuntungan penjualan lukisan dari pameran kepada Sekolah Seni Tubaba dan para petani karet di Tubaba,” terang Semi.

Akhir Mei lalu, sejumlah siswa Kelas Seni Rupa Sekolah Seni Tubaba juga baru selesai mengadakan pameran “Anasir” di Smiljan Space, Tangerang Selatan.

“Karya-karya anak-anak itu diapresiasi publik, dalam arti ada yang membeli, sehingga ada salah satu anak dengan percaya diri menyatakan ia sanggup membiayai UKT pakai uang lukisan,” pungkas Semi, seniman berambut gondrong keluaran STSI Bandung.

Tambah Anggaran

Ketua Koalisi Seni, Kusen Alipah, menyebut bahwa geliat seni budaya di kalangan masyarakat, di daerah-daerah pinggiran, bukanlah hal baru, dan karena itu tidaklah mencengangkan.

“Kalau negara atau industri terkaget-kaget karena festival dan kegiatan seni budaya di masyarakat banyak banget, wajar. Tapi bagi warga, itu hal biasa,” kata Kusen kepada Tirto.id. Senin (11/6/2024).

Orang Indonesia, sambung Kusen, memang dekat dengan peristiwa budaya, termasuk festival. Kegiatan seperti sedekah bumi, sedekah laut, bersih desa, helaran, dan sebagainya, adalah bentuk festival.

“Bahkan perayaan 17 Agustus dan momentum ibadah puasa sekalipun, oleh orang Indonesia bisa dikemas dalam bentuk festival, menjadi bagian dari aktivitas seni budaya,” ujar Kusen.

Sekarang, pemerintah punya Undang-Undang (UU) Pemajuan Kebudayaan, yang di dalamnya menyebutkan bahwa tugas pemerintah atau negara adalah mengatur tata kelola, bukan menentukan selera estetika. Dengan paradigma tersebut, Kusen menyebut UU Pemajuan Kebudayaan sebagai beleid yang progresif.

Salah satu amanat UU Pemajuan Kebudayaan adalah Dana Abadi Kebudayaan, diturunkan lewat Dana Indonesiana. “Dana Indonesiana penting dan bisa digunakan untuk meningkatkan kapasitas serta volume sebuah festival,” ungkap Kusen.

Meski pemerintah sudah memberikan dana abadi, dilihat dari nilai anggaran, Kusen menyebut dukungan pemerintah terhadap sektor kebudayaan masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan dukungan terhadap sektor lain seperti infrastruktur.

Sebagai gambaran, alokasi Dana Kebudayaan tahun ini sebesar Rp7 triliun, sedangkan dana infrastruktur yang sudah terserap per Maret 2024 baru mencapai Rp44,7 triliun.

“Kalau separuh anggaran bidang lain bisa diberikan kepada kebudayaan, kita bisa menguasai dunia, menjadi negara adidaya dalam hal budaya,” kata Kusen, praktisi antropologi dan manajemen seni.

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis