tirto.id - Y. Thendra BP, penyair sekaligus wartawan asal Sijunjung, Sumatera Barat, menebar tampang sumringah saat bercerita soal film dokumenter pertamanya, Rimbo Paru Dilingkuang Adat (2023). Tahun lalu, film itu memenangi Kompetisi Video Lingkungan 2023 ‘A Journey of Sustainable Living’ yang diselenggarakan The Conversation Indonesia atas dukungan Ford Foundation dan Kementerian Dalam Negeri.
“Ongkos produksi film tersebut saya dapat lewat Dana Fasilitasi Pemajuan Kebudayaan Tahun 2023 dari Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah III Sumatera Barat (Sumbar). BPK sendiri berada di bawah Direktorat Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek),” ungkap Thendra kepada Tirto, Rabu (15/5/2024).
Jauh sebelum membuat film dokumenter, Thendra beberapa kali masuk-keluar Rimbo Paru untuk membuat liputan mengenai hutan hujan tropis berbasis adat, didanai Pulitzer Center. Ketika BPK Wilayah III Sumbar membuka bantuan pemerintah Fasilitasi Pemajuan Kebudayaan, Mei 2023, Thendra sontak mengirimkan proposal, mengikuti proses pendaftaran.
“Kebudayaan bukan melulu soal yang arkaik atau istilah lokalnya bukan ‘gulai cubadak kentang yang dihangat-hangatkan’. Kebudayaan harus kontekstual menghadapi isu yang berkembang. Dalam karya saya, isu yang diangkat itu soal perubahan iklim dan deforestasi. Keduanya berlangsung massif di Sumatera Barat,” ujar Thendra.
Rimbo Paru sendiri merupakan rimbo larangan (hutan adat) seluas 4.500 hektare yang menjadi hutan nagari (desa) di Nagari Paru, Kecamatan Sijunjung, Kabupaten Sijunjung. Menurut Thendra, cara masyarakat Nagari Paru memperlakukan rimbo bisa menjadi cerminan untuk mengatasi masalah deforestasi. Dalam hal inilah kebudayaan punya peranan konkret membereskan persoalan.
Eksistensi hutan adat di Minangkabau berlangsung sejak maso daulu, zaman baheula. Dalam bukunya, De Minangkabausche Nagari (1913) peneliti Belanda L.C. Westenenk menyebut hutan adat sebagai lembaga tersendiri yang melekat dalam hidup sehari-hari orang Minangkabau.
"Selain sebuah nagari, di Minangkabau juga terdapat sebuah lembaga yang dikelola dengan baik, yaitu hutan lindung dengan tujuan menghindari pantangan, sebagai akibat dari penambangan, dan melestarikan kayu untuk pembangunan rumah. Hutan terlarang atau rimbolarangan, begitu ia disebut. Rimbo larangan, hutan yang hampir tak tersentuh merupakan ekspresi murni dari persatuan dan semangat demokratis penduduk daerah sekitar hutan tersebut," ungkap Westenenk.
Fasilitasi Dana Pemajuan Kebudayaan yang didapat Thendra kini terlihat manfaatnya. Sebagai film dokumenter sekaligus arsip, Rimbo Paru Dilingkuang Adat dijadikan referensi dalam pengusulan Rimbo Larangan sebagai Warisan Budaya Takbenda yang diajukan BPK Wilayah III Sumatera Barat ke Direktorat Jenderal Kebudayaan.
“Dalam karya tersebut terkandung informasi tentang bagaimana kebudayaan lokal sanggup menjaga alam dan lingkungannya,” pungkas Y. Thendra BP, penulis kumpulan puisi Manusia Utama (2011) dan Botol Kosong (2017).
Cerita dari Hysteria Semarang
Senada dengan Thendra, pemerhati budaya urban, Khairudin alias Adin, sepakat bahwa kebudayaan mesti ambil bagian menyelesaikan persoalan, dan tak melulu bersinggungan dengan entitas-entitas yang sifatnya arkaik, kuno, atau adiluhung belaka. Bertolak dari pandangan demikian, Adin pun menggagas kolektif Hysteria pada 2004 silam.
“Pemantiknya tentu saja relevansi. Relevansi keberadaan kami di kota seperti Semarang yang tidak punya museum seni, tidak ada institusi pendidikan seni yang progresif, tidak ada pameran rutin yang ramai, tidak ada media alternatif, dan seterusnya,” ungkap Adin kepada Tirto, Kamis (16/5/2024).
Hysteria rutin membikin macam-macam kegiatan, termasuk riset menggali informasi mengenai lingkungan sekitar. Output kegiatan mereka beragam. Mulai dari katalog, buku, zine, festival, pameran seni rupa, video, seni instalasi, dan lain-lain.
Circa 2012-2013, Hysteria menggelar Unidentified Group Discussion Semarang. Pada 2014, gelaran itu berganti nama menjadi Pekakota, yang kemudian melahirkan Festival Kota Masa Depan pada tahun yang sama.
“Untuk urusan pendanaan, kami sudah mencoba bermacam-macam model. Uang pribadi, uang Pemda–dalam arti mereka punya program dan kami mendapat bayaran karena menjadi vendornya–iuran warga, funding luar negeri, sampai Dana Abadi Kebudayaan,” papar Adin.
Pada 2022, program Pekakota mendapat fasilitasi Dana Abadi Kebudayaan dari Direktorat Jenderal Kebudayaan untuk kategori Kegiatan Strategis. Adin mengakui fasilitasi dari pemerintah pusat berdampak besar pada kegiatan yang ia kelola. Konkritnya, volume kegiatan menjadi lebih besar, durasinya lebih panjang, jangkauannya lebih luas, dan massanya lebih banyak.
Individu dan komunitas yang terlibat juga lebih unggul secara kuantitas. Terdapat peningkatan dibandingkan saat Hysteria menjalankan kegiatan yang sama tanpa sokongan Dana Abadi Kebudayaan.
“Adanya fasilitasi Dana Kebudayaan juga memungkinkan jangkauan isu tersebar lebih masif, sehingga nilai-nilai yang kami yakini bisa terdistribusi ke kelompok-kelompok yang lain,” beber Adin.
Lantas, apa nilai yang sebetulnya ingin dikemukakan Hysteria lewat platform Pekakota?
“Pada dasarnya, Pekakota itu ruang bagi para amatir untuk belajar tentang kota secara nonformal. Kota kan gak bisa didekati dengan satu disiplin saja. Pekakota biasanya digelar sebulan sekali, tapi kalau sedang ada kegiatan lainnya, jadwalnya bisa menjadi 2-3 bulan sekali,” lanjut Adin.
Pekakota, sambung Adin, dibangun agar mendorong warga supaya terlibat dalam proses pembentukan kota. Premisnya, kota hanya bisa memenuhi kebutuhan semua orang, jika kota dibangun oleh semua orang. “Karena itu, partisipasi menjadi keniscayaan.”
Disinggung soal Dana Abadi Kebudayaan Daerah, Adin menyebut hal tersebut masih terlalu jauh dari jangkauan.
“Di Jawa Tengah, jangankan Dana Abadi Kebudayaan Daerah, bahkan Perda Pemajuan Kebudayaan pun sampai sekarang belum ada. Jadi cita-cita itu masih sangat jauh. Pengalaman di lapangan, pembahasan soal isu kebudayaan belum merupakan isu penting bagi pemerintahan di daerah, bukan hanya di Jawa Tengah.”
Karena itu, Adin berpendapat bahwa di daerah keberadaan seniman dengan karya bagus itu penting. Tapi, keberadaan agen-agen perantara yang bisa menjembatani pegiat seni budaya dengan legislatif dan eksekutif juga tak kalah penting.
Lepas dari belum adanya Dana Abadi Kebudayaan Daerah, Adin menyebut mekanisme penyaluran Dana Abadi Kebudayaan via platform Dana Indonesiana merupakan sebuah terobosan, dan patut dicontoh oleh institusi plat merah lainnya. Dalam perkara publikasi dan transparansi, model dukungan pemerintah yang satu ini nyaris belum banyak tandingannya.
Efek Buruk Bergantung pada Dana Pokir
Pernyataan Adin diamini budayawan Sumatera Barat Edy Utama. Di Tanah Minang, ungkap Edy, absennya Dana Abadi Kebudayaan Daerah membuat kegiatan-kegiatan kebudayaan kerap disokong oleh Dana Pokok Pikiran (Pokir) anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Secara teknis, menjadikan Dana Pokir sebagai sumber pendanaan kegiatan kebudayaan pun dinilai Edy sangat berantakan. Alasannya, kecenderungan dan selera anggota dewan berbeda-beda, menyebabkan dukungan semacam itu tidak merata.
“Dukungan dari Dana Pokir menimbulkan kesenjangan sebab ada daerah yang menjadi konstituen anggota dewan, tapi sama sekali tidak mendapatkan dukungan di bidang kebudayaan. Dana Pokir-nya sudah dialokasikan untuk kegiatan dan lembaga keagamaan,” ungkap Eddy kepada Tirto, Jumat (17/4/2024).
Di sisi lain, Dana Pokir juga menyeret kegiatan kebudayaan ke ranah yang sangat politis, jika bukan destruktif. “Ini merusak ekosistem kebudayaan itu sendiri, karena pada akhirnya banyak seniman atau budayawan yang hanya menjadi pelayan aspirasi politikus lokal,” kata Edy.
Edy mengapresiasi adanya fasilitasi pemerintah pusat lewat Dana Indonesiana, termasuk yang disalurkan via instansi terkait semacam BPK. Fasilitasi tersebut dinilai Edy membuat aktivitas kebudayaan di Sumatera Barat lebih terasa geliatnya.
“Saat ini ada upaya menggerakkan ekosistem Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto (WTBOS) yang disebut Galanggang Arang. Sebelumnya, ada Silek Art Festival (SAF).”
Ditanya soal Dana Kebudayaan Daerah, Edy memberi jawaban pesimistis. “Menurut saya, untuk beberapa tahun ke depan Pemprov Sumbar belum memikirkan pendanaan yang berkelanjutan untuk program kebudayaan. Tragis memang.”
Angin Segar dari Jakarta
Senator asal DKI Jakarta, Fahira Idris, menyebut bahwa di Indonesia belum ada satu pun provinsi yang punya Dana Abadi Kebudayaan Daerah, termasuk DKI Jakarta. Namun, Fahira optimis bahwa di wilayahnya hal tersebut bakal terwujud dan diatur lewat Perda, sebagaimana amanat Pasal 31 UU Nomor 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta.
“Dengan adanya Perda, ada kepastian alokasi APBD Jakarta untuk kebudayaan, dalam hal ini pembentukan dana abadi kebudayaan daerah,” ungkap Fahira Idris kepada Tirto, (Jumat 17/5/2024).
Namun, Fahira menambahkan, APBD saja tidak akan cukup. Pemajuan kebudayaan bukan tergolong pelayanan dasar, sedangkan APBD harus ditujukan sebesar-besarnya untuk belanja pelayanan dasar, antara lain pendidikan, kesehatan, sarana air bersih, dan perluasan lapangan kerja.
Atas dasar itu, Fahira menekankan pentingnya Pemprov Jakarta untuk melibatkan badan usaha/korporasi terutama dari sisi pendanaan. Selain itu juga melibatkan lembaga pendidikan, lembaga adat dan kebudayaan, pelaku seni budaya, dan warga dalam sisi pemajuan kebudayaan.
“Saya yakin, dana abadi kebudayaan di Jakarta bisa terwujud, terlebih dalam UU DKJ, Pemprov DKI juga dimungkinkan mengusulkan dana tambahan kepada Pemerintah Pusat untuk pemajuan kebudayaan,” sambung Fahira.
Pada 2022, Pemerintah Provinsi DKI mengucurkan dana Rp28 miliar untuk aktivitas seni budaya di Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat. Anggaran sebesar itu terbilang terbatas untuk mendanai berbagai kerja-kerja pemajuan kebudayaan.
Fahira meyakini, model pendanaan yang paling sehat bagi ekosistem kebudayaan adalah lewat mekanisme Dana Abadi Kebudayaan Daerah.
“Pemajuan kebudayaan butuh pembiayaan yang stabil dan dijamin oleh Dana Abadi Kebudayaan, sehingga daerah bisa merancang dan melaksanakan program-program kebudayaan yang lebih inovatif dan berdampak jangka panjang.”
Perlu Diperluas ke Daerah
Urgensitas perluasan Dana Abadi Kebudayaan ke daerah telah dikemukakan Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek, Hilmar Farid, pada Oktober 2023 silam. Dirinya menyampaikan perluasan pengelolaan dana abadi kebudayaan hingga ke tingkat daerah menjadi salah satu rekomendasi dalam Rencana Aksi nasional Pemajuan Kebudayaan 2025-2029.
“Jadi untuk kegiatan-kegiatan yang katakanlah sangat lokal sifatnya, bisa diselesaikan di tingkat lokal,” ujar Hilmar di penutupan Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) 2023 di Jakarta, Jumat (27/10).
Hilmar menerangkan, rekomendasi tersebut akan didiskusikan lebih lanjut di tingkat Kementerian/Lembaga. Pihak Direktorat Jenderal Kebudayaan juga akan melihat kemungkinan ruang fiskal yang tersedia serta mencari mekanisme pengelolaannya.
Pada 2024, besaran dana abadi kebudayaan mencapai angka Rp7 triliun, naik angka Rp5 triliun pada periode sebelumnya.
“Tantangan sekarang saya rasa bukan soal besarannya. Tapi bagaimana memperluas tata kelola agar semua pihak bisa mudah mengakses,” sambung Hilmar.
Dalam tulisan panjangnya, "Dana Abadi Daerah untuk Kebudayaan: Seberapa Mungkin Jadi Kenyataan?", Koordinator Penelitian Koalisi Seni Ratri Ninditya menyebut langkah menuju pembentukan Dana Abadi Daerah untuk kebudayaan sungguh berlapis dan mungkin berliku, tapi tidak mustahil diwujudkan sepanjang kerja bersama antar pemangku kepentingan terus dibangun.
Untuk itu, ungkap Ratri, pemerintah pusat perlu segera mengesahkan peraturan turunan mengenai Dana Abadi Daerah–sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah–dan mensosialisasikan Dana Abadi Daerah sebagai solusi pendanaan alternatif yang berkelanjutan kepada pemerintah daerah dan masyarakat.
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis