tirto.id - Claudio Ranieri, mantan pelatih Leicester City, pernah punya anekdot menarik soal N’Golo Kante. Ia menceritakan anekdot tersebut dalam tulisannya berjudul “We Do Not Dream” yang tayang di Players Tribune pada April 2016.
Suatu kali, dalam sebuah sesi latihan, Ranieri mendapati kalau Kante terus berlari, seolah sedang tampil dalam pertandingan sesungguhnya. Tak mau anak asuhnya itu kelelahan, Ranieri pun menegur Kante, menyuruhnya untuk berlatih agak santai.
“Hei, N’golo, kalem. Kalem. Jangan terus-terusan berlari mengejar bola, oke?” kata Ranieri.
Kante, yang menurut Ranieri seperti menyimpan baterai cadangan di dalam bajunya karena tak pernah berhenti berlari itu, lantas menjawab enteng, “Ya, Bos. Oke,” dan tampak akan menuruti perintah Ranieri. Betul memang, tapi hanya dalam hitungan detik.
“10 detik kemudian,” kata Ranieri, “aku sudah melihatnya kembali berlari.”
Ranieri pun geleng-geleng kepala setelah itu. Namun, alih-alih menegur, pelatih yang kini telah berusia 67 tahun tersebut justru memberikan pujian terhadap Kante: “Suatu hari nanti, aku akan melihatmu melakukan umpan silang, lalu kamu akan menyundul sendiri umpanmu itu ke gawang lawan.”
Itu pujian terbaik yang pernah ia lontarkan ke pemainnya.
Perebut Bola Ulung + Pengatur Tempo
N’golo Kante mulai muncul ke permukaan pada 27 Februari 2015. Kala itu, masih berseragam Caen, gelandang berkebangsaan Perancis tersebut secara mengejutkan berhasil membawa timnya menang 2-3 atas Marseille di Stadion Velodrome.
Kante tampil sebagai bintang dengan mencatatkan satu assist dan dan terlibat dalam proses gol penentu kemenangan Caen yang dicetak oleh Nicola Benezet pada menit ke-87. Namun, yang disoroti oleh publik justru kemampuannya dalam bertahan: bagaimana bisa Kante membuat Dimitri Payet, Gaunnelli Imbula, dan Jordan Ayew, tiga gelandang andalan Marseille, tak berdaya dalam laga itu?
Ouest-France lantas menulis, “Kante berhasil memakan mentah-mentah gelandang Marseille seorang diri.” Sementara itu, L’Equipe’s menyebut Kante sebagai “monster” karena “ia terus berlarian menembus setiap lini permainan Marseille seperti ikan yang sedang berenang di dalam air.”
Reputasi Kante sebagai gelandang dengan kemampuan bertahan kelas wahid semakin meningkat setelah ia bermain untuk Leicester City pada musim 2015-2016. Tampil dalam 37 laga, ia berhasil melakuan tekel sukses sebanyak 175 kali, sedangkan kemampuannya dalam melakukan intersep juga mencapai 156 kali.
Dan sejak secara mengejutkan menjadi salah satu aktor utama yang berhasil membawa Leicester City menjadi juara Premier League musim 2015-2016, kemampuan bertahan Kante dipuji secara hiperbolis.
Claudio Ranieri, misalnya, setelah Leicester berhasil mengalahkan juara bertahan Chelsea 2-1 di Stadion King Power pada Desember 2015, mengatakan: “Kante benar-benar luar biasa. Ia akan selalu merebut bola, di stadion ini, di stadion lain, di mana pun.”
Gary Lineker, mantan legenda Leicester, tak mau kalah lebay dari Ranieri. Pada April 2016, Lineker mencuit, “Jika meteor mengancam bumi, aku sepenuhnya yakin kalau Kante akan menggagalkannya.” Cuitan tersebut mendapatkan 13 ribu retweet hanya dalam waktu 24 jam.
Yang menarik, saat sebagian besar publik sepakbola Inggris memuji kemampuan bertahan Kante, Henri Winter, jurnalis The Times, ternyata tak luput mengamati kemampuan Kante dalam menyerang. Winter, yang menganggap Kante pantas meraih gelar pemain terbaik Premier League 2015-2016, menilai bahwa pemain kelahiran 29 Maret 1991 itu juga mempunyai kemampaun distribusi bola di atas rata-rata.
Pendapat Winter tersebut, salah satunya dilihat ketika The Foxes bermain imbang 2-2 melawan West Ham United pada 17 April 2016, di mana Kante berhasil mencatatkan assist untuk Jamie Vardy. Selain itu, Kante juga berkontribusi besar menjaga irama permaina Leicester saat Vardy diusir wasit pada babak kedua.
"Setelah Vardy diusir karena dua kartu kuning, para jurnalis yang berada di tribun media Stadion King Power lantas menyebut 'Leicester akan tetap bermain dengan 11 orang karena Kante dihitung dua orang.' Pandangan itu tak salah. Kante benar-benar membuat Leicester tampak bermain dengan 11 orang, tapi bukan dengan kemampuan berlarinya, melainkan lewat kemampuannya dalam mengatur tempo permainan,” tulis Winter.
Pandangan Winter sempat menjadi bahan perdebatan di Inggris, bahkan setelah Kante pindah ke Chelsea pada musim 2016-2017. Pasalnya, meski saat itu statistik sang pemain dalam melakukan distribusi mengalami peningkatan pesat--rata-rata ia melakukan percobaan umpan sebanyak 60,6 per laga dengan tingkat akurasi mencapai 88,8%--para pengamat sepakbola di Inggris tetap menilai Kante sebagai gelandang perebut bola.
Pandangan itu mulai berubah ketika Kante, yang kembali berhasil meraih gelar liga serta menyabet gelar pemain terbaik Premier League musim 2016-2017, dipasrahi tugas untuk menjadi porteur d’eaus alias gelandang pengangkut air Prancis dalam gelaran Piala Dunia 2018.
Bahagia menjadi Gelandang Pengangkut Air
Menurut Sam Walker, dalam The Captain Class (2016), istilah gelandang pengangkut air pertama kali muncul ketika Eric Cantona, mantan pemain Manchester United, mengomentari gaya main Didier Deschamps menjelang laga Liga Champions antara Manchester United melawan Juventus pada tahun 1996. Saat itu Cantona mengatakan bahwa pemain seperti Deschamps “banyak ditemui di jalanan”.
Penyebabnya, kata Cantona, Deschamps “tak punya kelebihan, di mana akan selalu berdiri persis di depan garis pertahanan, melakukan pekerjaan kotor, dan hanya mengumpan ke arah pemain yang berada di dekatnya.”
Deschamps, yang sering main bareng Cantona di timnas Prancis, langsung mempertanyakan komentar rekannya tersebut. Namun, alih-alih marah, setelah Cantona juga mengatakan bahwa ia tak serius dengan ucapannya, Deschamps justru menerima julukan itu dengan lapang.
“Tak masalah jika aku disebut sebagai gelandang pengangkut air,” kata Deschamps kepada para wartawan.
Di Piala Dunia 2018, ketika ia sudah menjadi pelatih timnas Perancis, Deschamps memasrahkan tugas gelandang pengangkut air kepada Kante. Itu artinya, tidak seperti saat bermain sebagai gelandang box-to-box, Kante setidaknya harus bisa beradaptasi dalam dua hal.
Pertama, Kante harus disiplin posisi, tak boleh terus-terusan berlari ke setiap jengkal lapangan. Lalu kedua, daripada merusak permainan lawan, ia harus mampu mengontrol permainan timnya.
Hasilnya luar biasa, bahkan ia nyaris sempurna melakukannya. Hal ini dikarenakan Kante lebih banyak bermain dengan otak daripada ototnya. Dalam bertahan, misalnya, prioritas Kante adalah melindungi garis pertahanan dan bukan lagi sekadar merebut bola.
Maka, tulis Paul Carr, jurnalis Sports Illustrated, “Kante cenderung mengganggu serangan lawan sebelum serangan itu mencapai daerah berbahaya. Hanya satu intersepnya yang berjarak sekitar 20 meter dari gawang Prancis, dengan 1 lainnya terjadi persis di zona operasinya.”
Padahal, tambah Carr, “Kante melakukan 20 kali intersep hingga babak semifinal.”
Sementara itu, kemampuan Kante dalam mengontrol permainan Perancis juga sangat menonjol di Rusia. Saat Pogba berhasil melejit ke depan sesuka hati dari depan garis pertahanan, itu karena Kante. Saat Prancis selalu berhasil mendikte permainan lawan, itu juga karena kante.
Kante, menurut Whoscored, bahkan menjadi pengumpan terbanyak Prancis di Piala Dunia 2018 dengan melakukan 361 umpan.
Yang menarik, setelah Prancis berhasil membawa pulang tropi Piala Dunia 2018, penampilan apik Kante tersebut lantas membuat Claude Makelele menarik kata-katanya. Bekas gelandang Real Madrid itu, yang sebelumnya menyebut Kante membutuhkan aura untuk bermain reguler bersama Perancis, bahkan rela seandainya orang-orang tak lagi merujuk dirinya saat membicarakan seorang gelandang bertahan.
“Orang-orang selalu bilang tentang ‘Makelele Role’, tapi aku sekarang sudah tua dan sudah saatnya orang menggantinya dengan ‘Kante Position’. Ia benar-benar pantas untuk mendapatkannya,” kata Makelele, dalam buku Michael Cox yang berjudul Zonal Marking (2018).
Makelele juga menambahkan: “Tak diragukan lagi bahwa ia adalah gelandang tengah terbaik di dunia... beberapa pemain memang ditujukan untuk menjadi superstar, tetapi sebagian lain, seperti aku dan N’golo, sudah merasa bahagia ketika berhasil membuat pemain lain tampil bagus.”
Bermain Lebih ke Depan
Penampilan gemilang Kante di Piala Dunia 2018 membuat pengamat sepakbola Inggris mengira ia akan bermain sebagai gelandang bertahan The Blues di Premier League musim 2018-2019. Namun, keinginan tersebut ternyata langsung mentah di tangan Maurizio Sarri, pelatih anyar Chelsea.
Pemikiran Sarri: ia akan memainkan pola 4-3-3, menempatkan Jorginho sebagai gelandang bertahan tunggal, dan akan memainkan Kante sebagai gelandang box-to-box yang lebih menyerang daripada sebelumnya.
Semula, ide Sarri tersebut memang terlihat konyol, Kante tampil melempem di posisi barunya, dan media-media Inggris mulai menyerang Sarri dengan kritik pedas. Pada September 2018, misalnya, Matt Dickinson dari The Times menulis:
“Bagi Chelsea, energi yang dimiliki Kante tentu saja sangat bermanfaat ketika mereka ingin merebut bola dari posisi yang lebih tinggi. Namun, 5 gol dari 150 karier senior Kante seharusnya jadi perspektif yang diperlukan untuk melihat dampaknya saat bermain lebih ke depan.”
Sementara itu, JJ Bull, analis sepakbola Telegraph, memberikan alasan yang lebih detil mengapa Kante tak efektif saat bermain lebih maju. Menurut Bull, statistik Kante justru jauh menurun saat bermain di posisi barunya itu.
“Musim lalu (2017-2018), Kante membuat 64,5 operan per pertandingan, 2,5 intersep, 9,4 kali recoveries, 3,4 tekel, 80,2 sentuhan, dan menciptakan 1,2 peluang,” tulis Bull. “Musim ini, Kante hanya membuat 57,4 operan per pertandingan, 1,4 intersep, 6 recoveries, 1,9 tekel, dan 70,2 sentuhan, dan 1,2 peluang.”
Namun, segala kritik tersebut pada akhirnya menguap begitu saja. Per Desember 2018, Kante mulai beradaptasi secara perlahan. Selain lebih sering menyentuh bola di daerah pertahan lawan, ia juga mencetak 3 gol tambahan hingga musim 2018-2019 bubar.
Alhasil kontribusi Kante berhasil melampaui ekspektasi orang-orang: ia mampu mencetak 4 gol dan 4 assist, terbanyak di sepanjang karier sepakbolanya.
Suksesnya adaptasi Kante juga membuat Frank Lampard, pelatih anyar Chelsea, tetap mempertahankan posisi baru sang pemain. Meski masih tampil setengah-tengah karena cedera, Kante ternyata sudah menunjukkan tanda-tanda makin nyaman bermain di posisi barunya itu.
Saat Chelsea kalah 1-2 dari Liverpool pada 22 September 2019, misalnya, terutama pada babak kedua, Kante berhasil menjadi wujud dominasi permainan Chelsea atas Liverpool. Ia mampu mencetak gol, menjadi pemain Chelsea paling banyak melakukan percobaan tembakan ke arah gawang, serta mampu melewati pemain Liverpool lebih sering daripada pemain Chelsea lainnya.
Hebatnya, meskipun ia menyerang lebih sering, kemampuan Kante dalam bertahan ternyata juga tidak berkurang sedikit pun.
Jonathan Wilson, analis sepakbola kawakan, bahkan sampai melontarkan pujian untuk Kante dengan menyebutnya sebagai “gelandang komplet” yang bisa mengubah “Chelsea dari tim tidak terstruktur menjadi sebaliknya.” Padahal, pada tahun 2009, Wilson pernah mempertanyakan eksistensi gelandang box-to-box seperti Kante.
Melalui kolom regulernya di Guardian, The Question, Wilson menganalis bahwa gelandang bertipe box-to-box mulai digerus oleh jaman. Alasannya bermacam-macam, dari kembali bangkitnya three bands fourmation (4-2-3-1, 4-4-2 berlian, hingga 4-1-2-3), perubahan aturan offside, perubahan tempo permainan, hingga peran para pemain spesialis.
Namun, mengutip dari pernyataan Arrigo Sacchi, alasan utama mulai punahnya gelandang box-to-box ialah karena mereka tidak bisa beradaptasi. Meskipun mempunyai kemampuan komplet, gelandang box-to-box, kata Sacchi, biasanya kurang pandai dalam mengambil keputusan, jelek dalam penempatan posisi, serta “tidak tahu bermain bola secara kolektif.”
Singkat kata: gelandang box-to-box adalah tipe pemain yang ingin menonjolkan dirinya sendiri dan tak mau beradaptasi.
Sampai kemudian Kante tiba-tiba muncul untuk membabat habis semua dogma tersebut.
FourFourTwo pernah menulis: “Saat berusia 10 tahun, Kante mempunyai kelemahan. Ia tidak bisa menggunakan kaki kirinya, tetapi ketika Piotr Wojtyna (pelatih junior Kante) mengingatkannya, Kante langsung melatihnya. Dalam hitungan dua bulan, ia sudah mampu menimang-nimang bola 100 kali dengan kaki kirinya itu.”
Kini, masihkah perlu diherankan kenapa Kante dapat menjadi gelandang serba bisa?
Editor: Eddward S Kennedy