tirto.id - Jeda internasional agaknya selalu dikeluhkan para pencinta sepak bola, terutama penonton liga-liga top Eropa. Pertandingan antarnegara di momen ini biasanya tak terlalu digubris.
Namun, ketika turnamen internasional tiba, persepsi akan pertandingan antarnegara berubah. Pasalnya, di turnamen-turnamen seperti Euro 2024 inilah muncul banyak permainan atraktif dan bahkan keajaiban. Entah bagaimana, ia selalu terasa lebih romantis dibanding apa yang sebenarnya juga acap muncul di pertandingan-pertandingan antarklub.
Bagaimana Rumania menghabisi Ukraina melalui dua tembakan roket jarak jauh, bagaimana Slovakia mempermalukan Belgia yang konon diisi generasi emas, bagaimana Turki menundukkan Georgia setelah melewati "adu mekanik" yang sengit, bagaimana Albania memaksa Kroasia bermain imbang berkat gol di pengujung laga, bagaimana Xherdan Shaqiri muncul kembali di turnamen antarnegara dan mencetak gol spektakuler, dan bagaimana Serbia sukses menggamit poin perdananya melalui gol injury time adalah contoh dari momen-momen ajaib yang sudah terjadi di sepanjang Euro 2024.
Dan perlu diingat, turnamen ini baru memasuki matchday kedua fase grup. Artinya, masih banyak kesempatan bagi momen-momen ajaib lainnya untuk terjadi.
Momen-momen itu pun bukan hak milik eksklusif Euro 2024. Sebab, turnamen internasional memang sarangnya kejutan. Di kala kompetisi antarklub mulai menjemukan dan makin mudah ditebak, turnamen internasional menawarkan rentetan plot twist yang, barangkali, takkan terpikir oleh M. Night Shyamalan sekalipun. Turnamen-turnamen ini memang panggung bagi sosok-sosok yang jarang terpantau radar sepak bola arus utama.
***
Harus diakui bahwa Premier League adalah liga sepak bola paling masyhur di muka Bumi. Tak ada sumber data yang benar-benar valid, tapi banyak yang menyebut bahwa kompetisi level teratas di Inggris itu saat ini disaksikan hingga 3,2 miliar orang dari seluruh dunia. Total, kompetisi ini ditayangkan di 188 negara.
Popularitas Premier League ini memang masuk akal. Ia memiliki pemain-pemain top dengan kualitas yang relatif merata antarklubnya. Mereka memiliki kualitas siaran yang bagus pula. Dan mungkin yang paling penting, karena berasal dari Inggris, akses segala informasi mengenai Premier League pun lebih mudah dijangkau karena tersedia dalam bahasa Inggris yang merupakan bahasa dengan penutur terbanyak di dunia.
Itu semua membuat Premier League digadang-gadang jadi pusat sepak bola dunia.
Namun, popularitas itu kemudian juga memunculkan bias yang menyebalkan. Ada anggapan di kalangan penggemar Premier League bahwa liga-liga lain tak ubahnya "liga petani". Seakan-akan, kualitas seorang pemain hanya bisa teruji apabila dia bermain di Premier League; bukan La Liga, bukan Serie A, bukan pula Bundesliga.
Padahal, seperti yang tampak dari kompetisi antarklub Eropa musim lalu, tak satu pun klub Premier League sukses menjejak partai puncak di tiga turnamen berbeda.
Dan Euro 2024 ini pun membuktikan bahwa yang bisa bersinar bukan cuma pemain Premier League. Malah, lebih banyak pemain non-Premier League yang mampu menunjukkan taringnya. Penggawa-penggawa Bundesliga macam Florian Wirtz dan Jamal Musiala, jagoan-jagoan Serie A seperti Riccardo Calafiori dan Stanislav Lobotka, pentolan-pentolan La Liga macam Toni Kroos dan Arda Guler, bahkan pemain-pemain dari liga di luar Big Five seperti Nicolae Stanciu (Saudi Pro League), Xherdan Shaqiri (MLS), Qazim Laci (Czech First League), serta Francisco Conceicao dan Morten Hjulmand (keduanya dari Liga Portugal) juga sanggup menorehkan tinta emas.
Turnamen internasional sendiri sebenarnya bukan ukuran paten akan kualitas seorang pemain karena sifatnya yang tak kontinu. Entah sudah berapa kali klub-klub besar kecele setelah membeli pemain yang bersinar di turnamen antarnegara. Juventus dengan Oleksander Zavarov pasca-Euro '88, Arsenal dengan John Jensen pasca-Euro '92, dan Manchester United dengan Karel Poborsky dan Jordi Cruijff pasca-Euro '96 adalah contoh bagaimana tidak disarankannya membeli pemain setelah turnamen internasional.
Pemain-pemain itu gagal bersinar, meski didatangkan dengan ekspektasi selangit dan hal ini bisa dijelaskan secara sederhana. Yakni, karena turnamen internasional memberikan sampel yang terlalu kecil untuk mengukur kualitas seorang pemain.
Namun, bukan berarti semua pemain yang sudah disebutkan di atas cuma bisa bersinar di turnamen antarnegara.
Mereka yang bermain di Serie A, Bundesliga, La Liga, dan Liga Portugal tentu memiliki kelas tersendiri. Ini bisa dibuktikan dengan kiprah mereka di kompetisi antarklub level kontinental. Hanya saja, kiprah (beberapa dari) mereka seakan tak terdengar di tengah riuhnya perbincangan tentang Premier League yang berlangsung sepanjang musim.
Soal Calafiori, misalnya. Rupanya, banyak orang yang tak awas akan kualitas bek Bologna tersebut. Padahal, Calafiori jelas-jelas salah satu alasan di balik kesuksesan Bologna lolos ke Liga Champions untuk kali pertama sepanjang sejarah. Dan atas alasan itu pulalah dia menjadi pilihan pertama Luciano Spalletti di Timnas Italia.
Setelah pertandingan melawan Albania, barulah para penggemar Premier League sadar bahwa Calafiori adalah pemain berkualitas. Sampai-sampai, akun resmi milik Bologna saja sampai menyindir, "Ke mana saja kalian selama sembilan bulan kemarin?"
Bahkan, kualitas pemain seperti Arda Guler sekalipun—yang saat ini berstatus pemain Real Madrid, meski masih jadi pemain cadangan—bisa menghadirkan kejutan. Setelah sembuh dari cedera, pemuda Turki itu langsung bisa nyetel dengan permainan El Real. Dia tampak tak canggung berada di tengah para bintang yang menghuni skuad Real Madrid.
Artinya, kompetisi seperti Euro 2024 ini adalah ajang sempurna bagi para pemain non-Premier League untuk memamerkan talenta sekaligus mempromosikan kompetisi tempat mereka bermain. Seharusnya, hal ini bisa mengurangi ketimpangan popularitas di antara liga-liga yang ada. Sayangnya, mendongkrak popularitas tidaklah sesederhana itu.
Ada kualitas-kualitas lain yang perlu ditingkatkan. Misal, di Italia, kualitas tayangan dan kualitas stadion harus ditingkatkan. Lalu, di Bundesliga dan La Liga, kompetisi perlu lebih egaliter lagi sehingga tak didominasi klub-klub tertentu.
Peningkatan kualitas seperti ini jelas membutuhkan dana dan upaya ekstra serta waktu yang panjang. Terkhusus Italia, diperlukan pula perubahan pola pikir pemerintah untuk memudahkan klub memugar stadionnya yang usang.
Namun, kekurangan-kekurangan itu sebetulnya bisa dikesampingkan. Bukannya tidak esensial, tapi kekurangan itu tidak banyak berpengaruh pada kualitas permainan yang ditawarkan liga-liga non-Premier League.
Percayalah, sepak bola bukan cuma Premier League dan liga-liga di luar itu bukanlah sekadar liga petani.
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadrik Aziz Firdausi